Surabaya (optika.id) - Para tokoh dan aktivis Nahdlatul Ulama (NU) dibuat geram dengan rumor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang ditarik-tarik ke gelanggang politik praktis untuk memenangkan pasangan calon (paslon) nomor 2 pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, Prabowo Subianto Gibran Rakabuming Raka. Pasalnya, tindakan tersebut bertentangan dengan khittah organisasi.
Meskipun Jaringan Nahdliyin Pengawal Khittah (JNPK) NU mengaku bahwa politik merupakan bagian dari tujuan NU sebagai jamiah, namun harus dikelola demi kemaslahatan umum bukan dengan mendukung kekuasaan atau kandidat tertentu. Dengan kata lain, tidak mungkin dan nirfaedah memisahkan urusan politik dari NU itu sendiri.
Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!
JNPK NU pun mneyebut bahwa khittah sendiri adalah posisi bahwa NU bukanlah parpol maupun organisasi sayap (underbow) dari parpol. Khittah merupakan rujuk moral dan formal tindakan politik NU dan menjadi bagian dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) organisasi.
JNPK NU menyebut bahwa NU tidak boleh digunakan sebagai alat pemenangan kandidat presiden dalam pilpres karena bukan merupakan partai politik serta bukan underbow partai politik. Maka dari itu, mereka mengimbau agar penyelenggaraan NU tidak boleh menyimpang dari khittah NU.
Menurut JNPK NU, langkah-langkah politik NU didasarkan pada nilai-nilai keulamaan untuk diabdikan pada kepentingan umat. Dengan cara tersebut, NU bisa terus memainkan peran sebagai bengkel kemanusiaan untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa.
Selanjutnya, JNPK NU mendorong agar seluruh jajaran nahdiyin mengevaluasi secara serius atas perilaku dan posisi organisasi saat ini di hadapan negara dan masyarakat, dalam konteks menjadi kekuataan civil society berbasis landasan moral ahlussunnah wal jamaah (aswaja) An-Nahdliyah.
Relasi NU-Pemerintah
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Menanggapi hal itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Sukron Kamil tak menampik bahwa NU dekat dengan kekuasaan sejak era Presiden Sukarno bahkan hingga kini meskipun sempat vakum pada zaman Orde Baru (Orba). Akrabnya hubungan pemerintah dengan NU ini nampak dari nahdliyin yang selama ini selalu memimpin Kementerian Agama (Kemenag).
Sukron menduga jika hal itu terjadi lantaran NU tidak memiliki kemandirian secara ekonomi. Berbanding terbalik dengan Muhammadiyah yang mempunyai rumah sakitnya sendiri hingga lembaga pendidikan dari berbagai jenjang yang tersebar di berbagai daerah.
"PBNU dekat dengan kekuasaan dan kekuatan NU karena ada ketidakmandirian secara ekonomi dari dulu," ucapnya, dalam keterangannya kepada Optika.id, Senin (5/2/2024).
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Maka dari itu, dirinya mengaku tidak heran dengan rumor structural NU yang dikerahkan untuk mendukung pasangan Prabowo-Gibran yang merupakan representasi dari rezim Jokowi pada Pilpres 2024. Tak hanya itu, dia juga mengakui bahwa ada kelaziman pada aliran Sunni, kecuali yang bermazhab Hambali, untuk cenderung menjadi agama kekuasaan.
Meskipun demikian, dia pasti akan menyesali apabila NU ke depannya mencari-cari dalil fikih sebagai pembenaran untuk mendukung pasangan urut nomor 02 tersebut. Pasalnya, mereka merupakan satu-satunya paslon yang tidak memiliki atau tidak mencerminkan representasi dari NU secara langsung.
"Jadi, mau enggak mau NU mendukung meski tidak terang-terangan," jelasnya.
Editor : Pahlevi