Debat Final Capres Bahas Isu Pendidikan, JPPI: “Semuanya Kosong”

Reporter : Uswatun Hasanah

Surabaya (optika.id) - Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai jika dalam debat pamungkas pilpres pada Minggu (4/2/2024) semua calon presiden main aman dan nihil terobosan. Jawaban yang diberikan pada topik pendidikan dinilai JPPI kurang greget, biasa saja, dan tidak menawarkan sistem pendidikan yang lebih berkeadilan.

Dalam keterangannya, Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menjelaskan bahwa hal tersebut terlihat dari jawaban para capres terhadap tiga persoalan. Pertama, anggaran pendidikan sebesar 20ri Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selama ini, ujarnya, keberpihakan anggaran tersebut masih belum jelas untuk apa dan untuk siapa.

Baca juga: Khofifah Effect di Pilpres 2024 Akan Berlanjut pada Pilkada se-Jatim

Anggaran pendidikan pada tahun 2023, berdasarkan Perpres Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN TA 2023 saja sudah mencapai Rp612,2 triliun. Sementara itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) hanya mengelola 13% saja atau Rp80,22 triliun. Sedangkan 50% lainnya ditransfer ke daerah-daerah dan dana desa. 37% sisanya dialokasikan ke kementerian/lembaga lain dan pembiayaan pendidikan.

Lebih lanjut, pada tahun 2024 ini, dari total anggaran pendidikan yang sebesar Rp664 triliun, Kemendikbudristek hanya mengelola Rp98,9 triliun atau setara dengan 14,8% anggaran saja. Sebanyak 52% atau Rp346 triliun adalah jatah transfer ke daerah atau dana desa. 33% atau Rp219 triliun merupakan anggaran di luar transfer ke daerah dan Kemendikbudristek.

Selama proporsi anggaran pendidikan seperti ini, ujarnya, maka program pendidikan dasar dan menengah atau Wajib Belajar 12 Tahun tidaklah menjadi prioritas. Alhasil, kualitas peserta didik pun akan terus jauh tertinggal dari negara-negara tetangga. Apalagi, di tengah arus perkembangan pesat teknologi dan informasi.

"Sayangnya, semua kandidat gagal menjawab pertanyaan ini dengan inovasi gagasan atau sistem baru yang lebih berkeadilan," ungkap Ubaid melalui keterangan tertulis, dikutip Optika.id, Selasa (6/2/2024).

Masalah kedua adalah, guru yang tidak sejahtera dan kompetensi guru yang masih terlalu rendah. Dia menilai jika masalah ini berpotensi berlanjut pada tahun-tahun mendatang dan sesudahnya.

Pasalnya, dalam menjawab pertanyaan terkait dengan masalah ini, semua kandidat capres menurut Ubaid masih belum memiliki tawaran yang cukup inovatif untuk menjawab masalah yang sayangnya sudah turun temurun menemui jalan buntu ini.

Menurut dia, capres nomor urut 01, Anies Baswedan yang mengatakan akan mengangkat guru honorer dinilai masih belum jelas secara sistem dan cara yang akan digunakan nantinya.

Baca juga: Ini Prediksi Pakar Soal Putusan MK pada Sengketa Hasil Pilpres 2024

Sedangkan capres nomor urut 02, Prabowo Subianto bahkan sama sekali tidak menyinggung perbaikan sistem. Alih-alih demikian, Prabowo malah menambahkan perihal kebocoran dana pendidikan.

Sementara itu, capres nomor urut 03, Ganjar Pranowo memang vocal menyoroti kesejahteraan guru serta menawarkan solusi yang diidam-idamkan sejak lama, yakni peningkatan gaji yang layak. Sedangkan untuk peningkatan mutu guru, solusi yang dia tawarkan adalah pemanfaatan teknologi.

Namun Ubaid menilai jika pemanfaatan teknolgi itu sejatinya tidak menawarkan apa-apa.

"Semuanya [kandidat capres] kosong. Hari ini guru kita sudah muntah-muntah soal kewajiban harus update aplikasi ini dan itu, dan ternyata memang, pelatihan guru melalui aplikasi ini gagal meningkatkan mutu guru," kata dia.

Baca juga: Yusril Buktikan Sengketa Pilpres AMIN Hanya Asumsi, Bukan Bukti

Yang ketiga adalah, para capres tidak memberikan solusi yang nyata terkait meroketnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri sehingga ada salah satu perguruan tinggi negeri yang malah bekerja sama dengan pinjaman online (pinjol) bunga tinggi sebagai salah satu opsi untuk mahasiswanya.

Kendati Ganjar dengan tegas menyerukan Hentikan liberalisasi pendidikan, dan Anies yang menyebut bahwa pembiayaan pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab negara dan orang tua, Ubaid melihat tidak ada satu pun capres yang sedang berdebat itu mempersoalkan isu krusial.

Yakni status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH) dan sistem yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Padahal, aturan inilah yang menjadi biang kerok mahalnya uang kuliah.

"Jika para kandidat itu menginginkan perubahan sistem yang kini dianggap sebagai liberalisasi pendidikan, maka ide terobosannya adalah harus berani menghapus status PTN BH," tegas Ubaid.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru