Jakarta (optika.id) - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati berpendapat adanya kritik dari sejumlah kampus menandakan ada sesuatu yang perlu dikoreksi.
Pernyataan Wasisto tersebut disampaikan dalam dialog Sapa Indonesia Malam, KompasTV, Kamis (8/2/2024), menjawab pertanyaan tentang apa yang dilihat oleh BRIN terkait kritik dari kampus atas demokrasi yang semakin meluas saat ini.
Baca juga: BRIN: Pilpres Akan Sulit Jika Hanya Terjadi Satu Putaran!
Tentunya kalau kritik dari kampus ini menandakan ada sesuatu yang perlu dikoreksi dan direvisi, kata dia.
Kalau kita melihat dari berbagai macam ekspresi kampus yang menjadi efek bola salju di berbagai macam daerah, itu menandakan bahwa kampus sebagai penjaga moral, sebagai penjaga peradaban, penjaga kehormatan, itu mulai bergerak, bebernya.
Jika kalangan kampus atau akademisi udah bergerak, lanjut Wasisto, berarti sudah menandakan adanya seruan-seruan yang harus diakomodasi oleh penguasa.
Saya mencatat ya, memang di sini yang paling krusial adalah dialog yang belum inklusif antara pemerintah dan para akademisi.
Kita harus ingat pula bahwa dosen adalah manusia merdeka, mereka pemikir, dan ketika ada sesuatu yang salah, maka mereka bersuara, karena prinsip kita sebagai akademisi adalah kita boleh salah tapi kita tidak boleh bohong, paparnya lagi.
Artinya, kata Wasisto, dengan semua realita yang ada sekarang ini kita tidak bisa bohong bahwa memang ada sesuatu yang perlu dikoreksi.
Menjawab pertanyaan apakah dirinya melihat ada sinyal bahaya dan demokrasi yang terancam, Wasisto mengatakan, berdasarkan berbagai kajian, demokrasi di Indonesia memang tersorot kurang baik.
Sebetulnya kalau dari berbagai kajian soal demokrasi Indonesia yang saya kutip dari publikasi nasional maupun internasional, demokrasi kita memang agak tersorot kurang baik.
Entah itu dalam istilah pemunduran, stagnasi, bahkan ada yang sampai bilang itu demokrasi yang cacat, tambahnya.
Baca juga: Peneliti BRIN Beberkan Kriteria Capres untuk Meneruskan Jokowi
Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa parameter-parameter demokrasi yang kita lihat, sebagaimana kebebasan berekspresi, transparansi hukum, kesetaraan, keadilan, mengalami penurunan makna dan kualitas.
Artinya yang kita lihat sekarang ini bukan masalah kuantitas tapi masalah kualitas demokrasi kita yang memang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja, tegasnya.
Merespons penjelasan Wasisto, staf khusus presiden, Billy Mambrasar yang juga menjadi narasumber dalam dialog tersebut, menilai itu adalah penyesatan.
Ini berbicara tanpa angka, tanpa referensi, ini penyesatan, sambung Billy.
Billy kemudian menjelaskan mengenai indeks demokrasi Indonesia yang disebutnya meningkat sejak tahun 2013, saat awal pemerintahan Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi.
Kalau dibilang Indonesia mengalami kemunduran demokrasi di bahwa pemerintahan Jokowi, buktinya angkanya naik, dari 2013 pertama memerintah itu 52, naik menjadi 54.
Baca juga: Peneliti BRIN: Langkah Politik Surya Paloh Sangat Dinamis!
Kedua, lanjut Blly, jika Jokowi otoritarian, ia akan dengan mudah mencabut surat keputusan (SK) pengangkatan para rektor.
Rektor itu SK-nya salah satu yang menunjuk adalah menteri. Menteri itu atas instruksi presiden.
Gampang kalau Presiden Jokowi diktator, rektor-rektor yang saat ini mengamuk, guru besar yang saat ini mengamuk, kan tinggal Pak Jokowi cabut SK nya, tambahnya.
Tapi, lanjut dia Jokowi tidak melakukan hal itu, bahkan mendengarkan dengan baik, menelaah, dan akan merespons saat waktunya tepat.
Jadi tolong jangan menyampaikan pendapat partisan atas data yang samplingnya kecil atau tidak ada refereni sama sekali, lalu membuat sentimen publik terbakar.
Editor : Pahlevi