Surabaya (optika.id) - Jelang Pemilu 2024 yang kian dekat, aktivitas Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam membagi-bagikan bantuan sosial (bansos) tanpa konteks dan urgensi yang jelas kepada warga tentu saja menuai kritik. Teranyar, mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menyebut bahwa aksi bagi-bagi bansos yang kerap dilakukan oleh Jokowi di ruangan terbuka bukanlah tindakan yang tepat.
"Memberikan bansos dalam keadaan rakyat susah itu benar. Tetapi, caranya juga harus benar. Jangan dikasih di pinggir jalan, di pasar, dan tempat umum," kata Jusuf Kalla, dalam keterangan tertulis, Rabu (7/2/2024) lalu.
Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?
Pemerintah sejak Januari lalu menggelontorkan bantuan pangan besar-besaran berupa beras 10 kilogram kepada puluhan juta keluarga penerima manfaat (KPM). Bahkan, belum lama ini Jokowi memberi instruksi agar bantuan tersebut diperpanjang masa penyalurannya hingga bulan Juni 2024 mendatang.
Seolah tidak habis, pemerintah juga memberi bantuan langsung tunai (BLT) kepada 18 juta KPM sebesar Rp200 ribu per bulan dari Januari hingga Maret 2024. Bantuan yang merogoh kocek negara hingga Rp11,2 triliun tersebut rencananya bakal dirapel pada Februari 2024 jelang hari pencoblosan.
Tak ayal, JK menilai jika ada aroma politisasi bansos yang kental sekali lantaran dibagi-bagikan menjelang pencoblosan pemilu pada 14 Februari.
"Kenapa tak tanggal 20 (Februari)? Jadi, bansos itu benar. Tetapi, dengan cara yang benar juga," ucap mantan Ketua Umum Partai Golkar itu.
Tindakan Jokowi yang mengumbar bansos tersebut sebelumnya juga menjadi bahan sindiran ketika debat terakhir Pilpres pada Minggu (4/2/2024) lalu. Capres nomor urut 01, Anies Baswedan dan capres nomor urut 03, Ganjar Pranowo dalam satu segmen menyinggungnya.
Ganjar bertanya pada Anies bagaimana caranya merancang tata kelola bansos agar lebih transparan sehingga tidak diklaim oleh kelompok tertentu serta menimbulkan kecemburuan. Anies pun menjawab bahwa seharusnya pemberian bansos didesain sesuai dengan kepentingan penerimanya. Bukan kepentingan pemberi.
Aksi menebar bansos kepada masyarakat oleh Jokowi ini sebelumnya diduga untuk mengerek elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Bansos, di daerah, kerap diasosiasikan sebagai bantuan dari penguasa. Tak ayal, Jokowi saat ini pun secara terang-terangan meng-endorse pasangan nomor urut 02 tersebut.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Kesejahteraan Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis menyebut jika seharusnya berbagai skema bansos yang disiapkan oleh pemerintah tidak dicairkan menjelang pencoblosan Pemilu 2024. Pasalnya, dia menilai jika pengucuran dana bansos jelang pemilu rawan politisasi.
"Kalaupun bansos mau tetap disalurkan, penyalurannya tidak boleh dilakukan oleh pejabat negara atau politisi yang mempunyai akses sebagai pejabat negara," ucap Rissalwan dalam keterangannya kepada Optika.id, Senin (12/2/2024).
Dirinya pun mengamini jika rangkaian penyaluran bansos oleh pemerintah saat ini bernuansa kepentingan politik. Menurutnya, politikus yang menjabat sebagai pejabat negara kerap menunggangi bansos sebagai alat menjaring suara rakyat ketika pemilu. Tindakan tersebut ditegaskan olehnya sebagai tindakan yang kurang patut, kurang elok dan sangat tidak layak untuk dilakukan oleh pejabat negara, apalagi sekelas presiden.
Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim
Maka dari itu, ia menyarankan agar penyaluran bansos ini dikelola oleh otoritas akar rumput itu sendiri supaya tidak dipolitisasi. Misalnya, ketua rukun tetangga (RT) atau ketua rukun warga (RW). Akan tetapi, perlu dipastikan agar otoritas pemerintahan terendah itu sebelumnya bebas dari afiliasi politik.
"Karena memang yang mendata di awal itu kan adalah ketua RT dan RW. Jadi, bansos tetap dibagikan, tapi oleh orang-orang yang memang berdekatan atau memang dapat memastikan bantuan tersebut tepat sasaran," ujar Rissalwan.
Kendati demikian, Rissalwan berharap agar Jokowi bisa menunjukkan sikap kenegarawanan serta berhenti mempolitisasi bansos. Media, di sisi lain juga wajib membangun kesadaran publik akan bahayanya politisasi bansos ini.
"Presiden harus punya political will untuk menghentikan politisasi dari bansos. Saya kira sulit untuk membuat masyarakat otomatis sadar bahwa mereka sedang dipolitisasi. Tapi, saya kira pemberitaan- pemberitaan yang dilakukan secara intensif juga bisa membantu," kata dia.
Penguatan Pengawasan
Dihubungi secara terpisah, Analis Politik dari Citra Institute, Yusak Farchan mengatakan jika bansos seyogyanya merupakan program pemerintah yang didesain untuk menyejahterakan rakyat. Maka dari itu, sangat tidak elok apabila program-program bansos itu dipolitisasi demi kepentingan elektoral semata.
Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada
"Rakyat hanya dijadikan sebagai objek politik. Padahal, program bansos itu sebenarnya punya banyak manfaat buat masyarakat. Tetapi, kalau digunakan untuk kepentingan elektoral, itu yang tidak dibenarkan," ucap Yusak, Senin (12/2/2024).
Penyaluran bansos jelang pemilu, ungkap Yusak, sebenarnya bisa dihentikan apabila fraksi partai koalisi pendukung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud di DPR menyuarakan protes secara lantang. Akan tetapi, hingga kini dia masih belum melihat suara-suara kritis dari anggota fraksi DPR yang jadi rival politisi di parpol anggota koalisi pendukung Prabowo-Gibran muncul ke permukaan.
"Mereka tidak bersuara lantang untuk menyuarakan hal ini karena mungkin mereka juga melakukan hal serupa pada program lain. Ketika mereka mengkritik bansos disetop sementara, mereka juga takut program yang lain ikut dihentikan," jelas Yusak.
Yusak menyarankan, agar tidak dipolitisasi oleh elite, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI harus memperkuat pengawasan. Bawaslu tidak boleh pandang bulu dalam memproses laporan penyalahgunaan bansos.
"Selain itu, masyarakat juga harus aktif melaporkan pelanggaran. Bawaslu juga harus aktif mengawasi ini dan tanggap kalau ada laporan dari masyarakat," ungkap Yusak.
Editor : Pahlevi