Tahun Bahaya Demorasi Indonesia, Siapa Salah?

Reporter : Uswatun Hasanah

Surabaya (optika.id) - Pemilu 2024 ini menunjukkan bahwa kualitas demokrasi elektoral memburuk secara tiba-tiba. Hal ini disebabkan oleh cawe-cawe berlebihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengintervensi proses elektoral. Apabila hal tersebut tidak disikapi secara serius, maka mimpi Indonesia Emas pada 2045 hanya akan menjadi angan semu belaka. Indonesia bahkan bisa perlahan mengalami regresi menjadi negara otoriter.

Dalam keterangannya, Siti Zuhro selaku pakar ilmu politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan bahwa indikasi memburuknya kualitas demokrasi elektoral Indonesia tergambar begitu jelas dari ketidakprofesionalan penyelenggara pemilu itu sendiri. Yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI. dia menilai jika kedua lembaga tersebut masuk angin karena sering tunduk pada tekanan penguasa dan partai politik (parpol) tertentu daripada mematuhi aturan terkait kepemiluan yang sesuai dengan undang-undang dan konstitusi.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

"Kalau penyelenggaranya sudah tidak dipercaya, tentu menimbulkan ketidakpercayaan dari seantero Indonesia. Tidak ada penalti (kepada penyelenggara), selain peringatan keras. Peringatan keras kok tidak ada penaltinya? Ini hukum betul betul ditekuk," kata Siti Zuhro, dikutip dalam keterangannya, Senin (12/2/2023). 

Bahkan, baru-baru ini, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberikan sanksi berupa peringatan keras kepada Ketua KPU, Hasyim Asyari, dan komisioner lainnya. DKPP menilai KPU melanggar etika lantaran menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres)

Pasalnya, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 Oktober lalu, Gibran secara mendadak memenuhi syarat sebagai cawapres. Putusan yang dikeluarkan oleh MK tersebut merevisi syarat usia bagi capres dan cawapres yakni usia di bawah 40 tahun boleh mencalonkan diri dengan syarat pernah menjabat sebagai kepala daerah. Ketika putusan tersebut diketok oleh Ketua MK sekaligus paman Gibran, Anwar Usman, saat itu Gibran masih berusia 36 tahun.

Melihat situasi saat ini, Siti Zuhro mengaku pesimis bahwa konsolidasi demokrasi Indonesia menuju demokrasi yang matang akan berjalan secara lancar. Bahkan, dia memprediksi akan terjadi krisis legitimasi apabila pasangan Prabowo-Gibran sukses menjadi pemenang pilpres di tengah polemik pelanggaran etika dan kuatnya indikasi keberpihakan penguasa terhadap pasangan nomor urut 02 tersebut.

"Tahun 2045, katanya, kita menuju Indonesia emas. Tapi, kalau kita semua tidak menggawangi, akan menjadi Indonesia perunggu. Saya diwawancarai, 'Kalau yang menang (pasangan nomor urut) 2, itu seperti apa legitimasinya?' Saya bingung. Langsung disimpulkan seperti itu. Inilah tahun vivere pericoloso (hidup penuh bahaya) bagi demokrasi kita," ucapnya. 

Dalam keterangan yang sama, Pakar Politik BRIN, Firman Noor mengutip kajian ilmiah dari ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Jeffrey Winters perihal oligarki Indonesia. firman menegaskan bahwa sejatinya kemunduran demokrasi yang diakibatkan menguatnya oligarki telah dicicil sejak lama. Dirinya menegaskan bahwa menguatnya oligarki di lingkaran Istana sudah terjadi sejak 9 tahun yang lalu ketika Jokowi mulai berkuasa.

"Winters sudah memperingati kita mengenai potensi oligarki dan dia betul. Tetapi, semua itu seolah tidak digubris oleh penguasa dan para loyalisnya (Jokowi) yang sebagian juga kalangan akademisi itu sekarang kena prank. Hampir satu dekade ini, kegelisahan kalangan akademisi itu tidak digubris dengan saksama," ungkap Firman. 

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Demokrasi di Indonesia, tegas Firman, jauh dari kata matang. Ada banyak kelemahan dalam demokrasi Indonesia menurut Firman. Misalnya, faktor budaya yang tidak terpelihara dengan baik, faktor institusional atau keberadaan lembaga demokrasi yang tidak dirawat, serta persoalan-persoalan yang terkait dengan demokrasi procedural aturan main.

"Itu semua sebetulnya akan baik-baik saja dan berjalan dengan mantap di konteks Indonesia kalau ditopang oleh faktor kepemimpinan nasional yang baik. Sayangnya, kita tidak memiliki itu. Dalam konteks indonesia, the prime factor-nya atau kelemahan yang paling utama ialah faktor kepemimpinan nasional," tutur dia. 

Tergelincir 

Lebih lanjut, Pakar Politik BRIN, Dewi Fortuna juga menganalisis situasi Indonesia dari sisi tren kemunduran demokratisasi di berbagai negara seluruh dunia. Dewi menyebut jika Indnesia bisa tergelincir mundur jika proses demokratisasi tidak berjalan dengan baik.

Dia mencontohkan, pada lingkup Asia Tenggara yakni adanya kegagalan total konsolidasi di Myanmar. Myanmar saat ini kembali dikuasai oleh junta militer pasca sebelumnya memperbolehkan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi berkuasa dalam periode 2016 2021.

Baca juga: 100 Guru Besar UGM Nyatakan Sikap, Ingin KPU Jaga Marwah Jelang Pilkada

Hal yang sama juga terjadi di negara tetangga, Thailand.

"Thailand yang dulu jauh lebih maju daripada Indonesia. Mereka punya konstitusi yang terbuka dan sebagainya... Tetapi, militer masuk lagi dan kita lihat Thailand yang tadinya sudah menjadi fully democracy sekarang ini turun menjadi hybrid," kata Dewi.

Dewi menyebut bahwa Indonesia dalam konteks konsolidasi demokrasi setipe dengan Filipina. Kedua negara tersebut dinilai gagal dalam mematangkan demokrasi lantaran terdapat banyak aspek dalam demokrasi yang justru mengalami kemunduran. Salah satunya yakni soal kebebasan berpendapat.

"Ketiga, yang established democracy. Di Amerika Serikat dengan terpilihnya (Donald) Trump dan di beberapa negara Eropa. Di Eropa, orang-orang yang sangat sayap kanan dan rasis itu menang secara elektoralnya. Padahal, mereka antidemokrasi. Itu yang kita lihat saat ini. Sistem demokrasi saat ini sangat tidak menyenangkan, pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru