Jakarta (optika.id) - Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar menilai akan sulit untuk mengubah hasil Pilpres 2024 dalam sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK).
Zainal menjelaskan, jika merujuk dari hasil sidang sengketa Pilpres di MK, rata-rata hakim konstitusi hanya mendalami sisi formalitasdibanding nilai sebuah demokrasi dan konstitusi yang sudah terganggu.
Baca juga: Pakar: Ini Bahaya Zat Natrium Dehidroasetat dalam Produk Roti
Sisi formalitas yang dianut MK semisal dalam pembuktian sidang sengketa Pilpres, MK akan memunculkan syarat formalitas seperti apakah dugaan kecurangan tersebut sudah dilaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga bukti kuat kecurangan yang terjadi dapat memengaruhi hasil Pilpres.
Padahal, jika berbicara kecurangan, imbuh Zainal, tentu tidak sebatas mengenai hasil rekapitulasi suara dari KPU. Bisa saja kecurangan terjadi sebelum pemilihan yang bisa memengaruhi hasil.
Sebagai contoh, dugaan adanya keterlibatan aparat dalam Pemilu. Kasus ini pastinya akan sulit dikonversi menjadi angka.
"Ini yang berbahaya, ketika MK mengikatkan diri kepada formalitas tetapi pada saat yang sama demokrasi terganggu secara substantif," ujar Zainal di program Kompas Petang KOMPAS TV, Sabtu (17/2/2024).
Zainal menambahkan, sisi formalitas dalam menangani sengketa Pilpres sangat berbahaya karena MK tidak menempatkan diri sebagai penjaga konstitusi, tetapi sebatas kalkulasi angka.
Baca juga: Pakar Ungkap Sudah Mulai Ada Indikasi Cawe-Cawe di Pilkada Jakarta!
Hal ini bisa dilihat dari sidang sengketa Pilpres sebelumnya, saat MK mempertanyakan apakah kecurangan berpengaruh signifikan terhadap hasil.
"Kalau bicara kecurangan kan ada pra-pencoblosan dan pasca-pencoblosan. Kalau pra-pencoblosan, parameter untuk mengetahui apakah berpengaruh kepada hasil, susah sekali. Misal keterlibatan aparat, bagaimana mengkonversinya?" ujar Zainal mempertanyakan.
Lebih lanjut, Zainal menilai akan sulit mengubah hasil Pilpres 2024 jika logika yang dianut oleh MK sebatas formalitas.
Jika melihat hasil hitung cepat, pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran mendapat 57 sampai 58 persen suara.
Baca juga: Khofifah Effect di Pilpres 2024 Akan Berlanjut pada Pilkada se-Jatim
Untuk mengubah hasil, para pemohon harus memiliki data yang bisa mengurangi angka hasil hitung cepat Prabowo-Gibran.
Menurut Zainal, setidaknya para pemohon memiliki data lebih dari 9 persen surat suara yang diduga dicurangi agar hasil perolehan Prabowo-Gibran dari hasil hitung cepat tersebut berkurang dan ditetapkan Pilpres berjalan dua putaran.
"Kita tidak bisa membayangkan kebisingan kecurangan itu harus dibuktikan betul-betul sampai ratusan ribu dulu, sampai mengubah hasil peringkat sehingga tidak memenuhi Pemilu satu putaran. Harus diingat, MK sendiri logikanya terlalu formalistik," ujar Zainal.
Editor : Pahlevi