Aksi Akrobatik Orang Narsis dalam Panggung Politik

Reporter : Uswatun Hasanah

Surabaya (optika.id) - Masa kampanye dan Pemilu 2024 bahkan sudah berlalu. Pada masa tersebut, para politisi dan caleg berlomba-lomba menggelar pameran citra dalam bentuk baliho, postingan di media sosial, dan lain sebagainya. Pun ketika pemilu usai, banyak politisi yang rajin nongol di media-media. Baik cetak, maupun digital. Aksi akrobatik tersebut bahkan menjurus pada narisisme di kalangan politisi.

Narsistik, menurut Psychology Today, ditandai dengan rasa mementingkan diri sendiri yang terlalu berlebihan, kekaguman yang berlebih terhadap diri sendiri, kurangnya empati terhadap orang lain serta keyakinan bahwa dirinya unik dan pantas mendapat perlakuan khusus.

Baca juga: Pengamat Sebut Elektoral Demokrasi Indonesia Sedang Bermasalah!

Narsistik dan Politik yang Tak Bisa Pisah

Zoltan Fazekas dari Copenhagen Business School dan Peter K. Hatemi dari The Pennsylvania State University mengungkapkan dalam risetnya yang berjudul "Narcissism in Political Participation" dan terbit di Personality and Social Psychology Bulletin, bahwa ada korerlasi antara narsisteik dan partisipasi politik.

Dalam riset tersebut mereka menyimpulkan bahwa semakin narsis seseorang, maka semakin mungkin mereka menjadi politisi, menyumbangkan uang, menandatangani petisi dan menjadi kontestan dalam pemilihan paruh waktu yang merupakan pemilu di Amerika Serikat untuk memilih anggota kongres, parlemen negara bagian dan beberapa gubernur.

Bagi saya dan rekan saya, Zoltan Fazekas, sulit untuk mengabaikan narsistik yang meluap-luap pada pemimpin terpilih kita dan hasil keputusan mereka. Dan tampaknya, narsistik publik yang lebih tinggi memiliki peran dalam instabilitas demokrasi kita yang semakin meningkat, kata Peter K. Hatemi kepada PsyPost, dikutip Optika.id, Selasa (20/2/2024).

Keduanya meneliti data dari dua survei di Denmark dan Amerika Serikat dengan masing-masing 2.450 dan 500 peserta. Sedangkan survei berbasis web di Amerika Serikat menggunakan sebanyak 2.280 peserta.

Seluruh suveri yang dilakukan mengungkapkan bahwa narsistik dan delapan jenis partisipasi politik antara lain melakukan boikot atau membeli produk untuk alasan politik, berpartisipasi dalam demonstrasi, menandatangani petisi, menghadiri pertemuan politik, mendonasikan uang, menghubungi politisim menghubungi media, berpartisipasi dalam forum politik serta kelompok diskusi.

Meskipun para peneliti tidak menemukan hubungan antara narsistik dan pemilu presiden, namun dalam bentuk partisipasi lainnya termasuk pemilih paruh waktu, mereka yang punya kepribadian narsis ini cenderung melaporkan lebih banyak keterlibatan politik.

PsyPost menyebut bahwa beberapa bagian dari narsistik ditemukan juga berhubungan secara diferensial dengan partisipasi politik. Rasa otoritas dan superioritas atas orang lain terkait dengan peningkatan partisipasi, sedangkan kemandirian berhubungan dengan penurunan partisipasi.

Individu yang percaya diri dan percaya mereka lebih baik daripada orang lain, lebih aktif dalam proses politik, kata para peneliti.

Apakah Orang Narsis Baik Menjadi Pemimpin?

Dalam riset yang berjudul "Organizational Power and Politics: The Narcissists Advantage? dan terbit di Personality and Individual Differences, Charles A. OReilly dan Jeffrey Pfeffer dari Stanford University menyebut jika orang narsis lebih cenderung menggunakan taktik politik yang lebih negatif dan kontra-normatif, termasuk di antaranya melanggar etika dan norma-norma sosial, menyembunyikan informasi penting dari orang lain serta meremehkan calon pesaing.

Di sisi lain, penulis buku Paradoxical Strategies in Psychotherapy and The Vision of Melville and Conrad sekaligus doktor dalam bidang sastra Inggris dan psikologi, Leon F. Seltzer menulis di Psychology Today bahwa individu yang narsis sudah cenderung memiliki pikiran bahwa dirinya lebih berhak untuk menang, bahkan sebelum memenangkan jabatan itu sendiri.

Baca juga: Gagal Maju Pilgub Jadi Hal Untung bagi Anies, Kok Bisa?

Ironisnya adalah, meski mereka berpegang teguh pada nilai-nilai etika, politisi seperti ini dianggap memiliki moral yang relative. Pasalnya, Seltzer menyebut bahwa apa yang mereka anggap sebagai tak bermoral bagi orang lain, justru bisa diterima oleh diri mereka sendiri.

Setelah mereka mendapatkan jabatan, mereka mungkin merasa bertanggung jawab hanya pada diri sendiribebas untuk bermain dalam permainan kekuatan kompetitif mereka dengan impunitas. Hasrat besar narsistik-politik terhadap pujian, pujian, dan pujian juga terpuaskan, tulis Seltzer.

Lebih lanjut, menurut Seltzer, mereka ini mengharapkan diperlakukan sebagai superior serta mudah menuntut untuk dihormati.

Jabatan hampir menjamin kebutuhan ego ini akan dipenuhi dengan cukup, tulis Seltzer.

Dengan kata lain, segala hasrat yang begitu besar ini membantu juga menjelaskan mengapa orang-orang narsis seperti itu justru banyak berkarir sebagai politisi. Sehingga, mereka berharap bisa mempertahankan kondisi seperti itu selama mungkin.

Dalam kasus seperti itu, alasan utama tetap menjadi petahana bukanlah untuk memenuhi aspirasi idealisme apa pun. Ini untuk menjamin harga diri mereka, yang terlalu berlebihan, kata Seltzer.

Seltzer menegaskan bahwa nyaris seperti lelucon bahwa janji-janji manis yang mereka buat ketika kampanye hanya sedikit saja yang ditepati setelah menjabat. Kampanye pun menurut Seltzer hanya mengukur seberapa baik mereka dapat mengecoh publik, bukan seberapa baik mereka akan memenuhi tanggung jawab begitu mereka dinyatakan menang.

Baca juga: Besok, PDI-Perjuangan Akan Usung Risma Jadi Kandidat Cagub Jatim

Tidaklah kebetulan bahwa berbohong patologis secara tradisional dianggap sebagai ciri narsistik, ujar Seltzer.

Hal tersebut, imbuhnya, hampir bisa diintuisikan dalam hal pemahaman tentang kecenderungan narsistik terkait sombong, meremehkan orang lain, megah, eksploitatif secara interpersonal, kompetitif serta sangat peka terhadap kritik, memanipulasi kesan orang lain terhadap mereka dan terobsesi dengan penampilan.

Sebaliknya, mereka tidak menggambarkan suatu karakter kejujuran dan ketulusan. Kendati demikian, dirinya menyebut bahwa narsistik mungkin saja merupakan prasyarat yang tidak disengaja untuk menjadi politisi sukses. Pasalnya, terpilihnya mereka nampaknya memerlukan ambisi yang terkait erat dengan dorongan narsistik.

Berkaitan dengan hal tersebut, sosiolog University of Washington, Pepper Schwartz mengatakan bahwa untuk menjadi politisi, diperlukan suatu keinginan dan kemampuan untuk mempromosikan diri sendiri tanpa henti.

Namun celakanya, keinginan tersebut tidak mempunyai titik akhir. Nafsu mereka yang tidak pernah terpuaskan untuk meraup pengakuan, pujian, kekayaan, pengaruh dan kekuasaan berakhir sebagai sebuah parodi. Tragisnya lagi, ketika mereka berhasil naik ke kekuasaan, seluruh kondisi penyakit hidup yang mereka bawa juga menginfeksi orang-orang awam.

Karena dengan mempersembahkan hidup mereka hampir secara ekslusif untuk tujuan egois, yang tak terpikirkan atau ditinggalkan adalah kebutuhan komunitas yang lebih besar di sekitar mereka. Tak terelakkan, kita semua menderita dari penipuan yang sepenuhnya melibatkan mereka tulis Seltzer.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru