Surabaya (optika.id) - Politikus Senior PDIP, TB Hasanuddin menyebut jika DPR dan MPR bisa mengakomodir adanya sejumlah aspirasi untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui hak angket DPR. Hanya saja, TB Hasanuddin menegaskan bahwa proses pemakzulan presiden tidak sederhana dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
"Namun tetap bisa dilakukan. DPR dapat mengusulkan hak angket pemakzulan presiden," kata TB Hasanuddin kepada awak media, Kamis, (22/2/2024) di Jakarta.
Baca juga: DPR dan Serikat Buruh Sepakat Tinjau Ulang Aturan Upah Minimum Pasca Putusan MK
Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, ucap Hasanuddin, usulan tersebut nantinya akan menjadi hak angket DPR jika sudah mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota DPR.
"Selanjutnya keputusan akan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir," ungkap Anggota Komisi I DPR RI ini.
Berdasarkan hitungannya, ada lima parpol yang bisa saja ingin mengusulkan hak angket untuk memakzulkan Jokowi dengan alasan merasa dicurangi dalam kontestasi Pilpres 2024 akibat dari ketidaknetralannya.
Adapun parpol tersebut antara lain PDIP yang menguasai 128 kursi di DPR, PPP 19 kursi, Partai Nasdem dengan 59 kursi, PKB 58 kursi, serta PKS 50 kursi. Apabila semuanya diakumulasi, maka 314 suara sudah cukup.
Sedangkan partai koalisi yang pro dengan Jokowi dan menolak hak angket hanya berjumlah 261 suara saja. Yakni Partai Gerindra dengan 78 kursi, Partai Golkar dengan 85 kursi, PAN 44 kursi dan Partai Demokrat dengan 54 kursi.
"Bila merujuk UU 17 tahun 2014, di mana keputusan yang diambil harus lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir, maka 314 suara sudah sangat mencukupi (untuk mengajukan hak angket)," beber dia.
Tiga Alasan Pemakzulan Presiden
Baca juga: DPR Setujui Naturalisasi Kevin Diks dan Dua Pemain Belanda untuk Perkuat Timnas
Hasanuddin menjelaskan jika ada tiga alasan seorang presiden bisa dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatannya. Misalnya, melakukan pelanggaran hukum atau pidana, tidak mampu lagi menjadi presiden atau melakukan perbuatan tercela.
Indikasi presiden cawe-cawe dalam Pemilu 2024, sambungnya, bisa saja dianggap sebagai perbuatan pidana atau perbuatan tercela karena melanggar netralitas. Pasalnya, sampai saat ini, belum ada informasi kapan Presiden Jokowi cuti selama masa kampanye.
Bisa juga pelanggaran presiden terakumulasi lantaran banyak pelanggaran yang dilakukan itu, dan cawe-cawe pemilu itu dapat dikatakan perbuatan tercela atau pidana," imbuh dia.
Setelah semua alasan atau syarat dari pemakzulan presiden itu terkumpul dan terpenuhi, DPR kemudian memutuskan dengan membentuk panitia khusus atau pansus, kemudian hak angket. Selanjutnya Pansus DPR itu akan melakukan penyelidikan sampai ke titik kesimpulannya.
DPR lalu mengeluarkan hak menyatakan pendapat yang menyebut bahwa presiden harus diberhentikan. Pendapat tersebut diteurskan ke Mahkamah Konstitusi utnuk diperiksa agar mendapatkan bukti pelanggaran.
Baca juga: Penerimaan Tenaga Ahli AKD di Lingkungan DPR RI TA 2024
Apabila dalam pansus penyelidikan hak angket ini ditemukan bukti-bukti dugaan kecurangan, kata Hasanuddin, maka proses selanjutnya dilanjutkan oleh MK.
Sebagai informasi, sejumlah organisasi masyarakat sipil sebelumnya mengusulkan pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seiring dengan adanya dugaan kecurangan usai hitung cepat hasil pemilihan presiden atau Pilpres 2024.
Beberapa di antaranya Petisi 100 Penegak Daulat Rakyat, Forum Komunikasi Purnawirawan TNI-Polri untuk Perubahan dan Persatuan (FKP3) serta sejumlah organ mahasiswa di Tanah Air.
Editor : Pahlevi