Optika.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan, yang sebelumnya menjadi pedoman dalam penetapan upah minimum, kini sudah tidak berlaku.
Pernyataan ini disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Cipta Kerja.
Baca Juga: RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas, ICW: Pukulan bagi Publik dan Pemberantasan Korupsi
Sesuai keputusan MK, DPR menyatakan bahwa PP 51 sudah tidak berlaku lagi, ujar Dasco di Gedung DPR RI, Rabu (6/11/2024).
Dasco menjelaskan bahwa ia baru saja bertemu dengan Presiden Partai Buruh Said Iqbal, Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli.
Dalam pertemuan tertutup ini, DPR bersama pemerintah dan perwakilan buruh membahas tindak lanjut dari putusan MK, khususnya mengenai pengaturan upah.
Kami sepakat untuk mengkaji dan membahas indeks upah buruh secara menyeluruh agar tidak ada pihak yang dirugikan, baik pekerja maupun pengusaha, ujar Dasco.
Sementara itu, Said Iqbal mendukung langkah pemerintah dan DPR yang berencana untuk membahas aturan pengupahan dengan lebih mendalam.
Kami dari Serikat Buruh mendukung usulan Bapak Dasco untuk melakukan pembahasan yang lebih cermat dan seimbang antara kepentingan pekerja dan pengusaha, sesuai arahannya, kata Said.
Namun, ia juga menekankan pentingnya adanya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) baru sebagai dasar hukum penetapan upah minimum untuk tahun 2025.
Baca Juga: MK Ingatkan Pembuat Undang-Undang Jangan Sering Ubah Syarat Usia Pejabat
Diperlukan Permenaker yang resmi untuk mengisi kekosongan hukum terkait penetapan upah minimum setelah keputusan MK. Tidak perlu ditetapkan pada 21 November 2024 asalkan disepakati bersama, ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa upah minimum sektoral (UMS) harus diberlakukan kembali. Hal ini tertuang dalam Putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian gugatan sejumlah serikat pekerja terkait isu ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja.
MK menyatakan bahwa Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, kecuali dimaknai sebagai kewajiban gubernur untuk menetapkan UMS di tingkat provinsi, serta opsional di kabupaten/kota.
Sebelumnya, aturan mengenai UMS diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang diterbitkan pada 2003, namun ketentuan ini dihapus dalam UU Cipta Kerja. MK setuju dengan argumen buruh bahwa penghapusan UMS mengurangi perlindungan pekerja, terutama mereka yang bekerja di sektor dengan karakteristik dan risiko yang berbeda.
Baca Juga: Jika Kotak Kosong Menang, Ada 3 Skenario yang Diambil
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli menyatakan bahwa pemerintah kini tengah menyusun penetapan upah minimum (UM) 2025 sesuai dengan putusan MK. Ia menjelaskan bahwa penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025 harus ditetapkan paling lambat 21 November 2024, sementara penetapan UM kabupaten/kota harus dilakukan sebelum 30 November 2024.
Saat ini, fokus kami adalah pada pengaturan upah minimum, dan masukan dari semua pihak akan kami sampaikan kepada Presiden untuk arahan selanjutnya, ujar Yassierli.
Meski begitu, terdapat perbedaan pendapat mengenai penetapan UM 2025 antara serikat buruh dan pengusaha. Serikat buruh menginginkan agar penetapan UM 2025 tidak menggunakan PP 51/2023 dan menggunakan survei kelayakan hidup dari Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota dengan waktu penetapan diperpanjang hingga 10 Desember 2024.
Di sisi lain, pengusaha mengusulkan agar PP 51/2023 tetap digunakan untuk memastikan kepastian dalam penetapan UM 2025 guna menghindari politisasi dalam prosesnya.
Editor : Pahlevi