Parpol Anyar Gagal Tembus Senayan: Dari Strategi Pemasaran dan Lemahnya Identitas

Reporter : Uswatun Hasanah

Surabaya (optika.id) - Di antara partai politik (parpol) pendatang baru yang berlaga di Pileg 2024, tak ada calegnya yang bakal lolos ke Senayan. Pasalnya, berdasarkan hasil rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan total suara nasional masuk sebesar 63,84%, menunjukkan bahwa raihan suara parpol-parpol anyar itu jauh dari ambang batas parlemen sebesar 4%.

Adapun parpol yang baru berlaga di Pileg 2024 di antaranya adalah Partai Gelora yang menjadi parpol dengan capaian suara terbanyak sebesar 1,02%. Disusul oleh Partai Buruh dengan 0,66% suara. Diekor oleh Partai Ummat dengan suara sebanyak 0,49%. Kemudian Partai Garuda dengan 0,36% suara dan terakhir ada Partai Kebangkitan Nasional (PKN) dengan perolehan 0,28% suara.

Baca juga: Penerimaan Tenaga Ahli AKD di Lingkungan DPR RI TA 2024

Demikian juga dengan parpol lama yang pada Pemilu 2019 terdepak dan tidak mampu menembus Gedung DPR. Sebut saja Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang dipimpin oleh anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep ini hanya memperoleh 2,76% suara. Partai Perindo mengekor dengan raihan 1,28% suara. Kemudian Partai Hanura dengan 0,76% suara. Dan Partai Bulan Bintang (PBB) dengan suara 0,36% saja.

Kalah Strategi Pemasaran

Menanggapi hal tersebut, Direktur Riset Indonesian Presidential Studies (IPS), Arman Salam menilai bahwa wajar jika tak ada satupun partai anyar yang lolos ke Senayan. Pasalnya, parpol-parpol tersebut menurutnya kalah dalam strategi pemasaran dan meraih simpati publik.

"Politik itu penuh persaingan. Sama seperti dalam dunia bisnis. Untuk mendapatkan simpati publik berupa dukungan, itu tidak mudah. Partai baru layaknya bayi yang baru lahir dan harus berhadapan dengan partai besar yang sudah kuat dalam berbagai hal," kata Arman kepada Optika.id, Rabu (28/2/2024).

Umumnya, parpol anyar ini tidak didukung dengan modal politik yang kuat. Selain itu, mereka juga tidak mempunyai figure yang kredibel, infrastruktur akar rumput yang solid, dan kesiapan finansial yang memadai. Sehingga, segmentasi pemilih yang sudah terkanalisasi kepada parpol lama juga menambah daftar panjang pekerjaan rumah parpol baru untuk bisa merebut suara dan simpati masyarakat.

"Frustasi publik akan politik dan bayang bayang oportunitas partai baru menambah publik enggan untuk bergeser," ucap Arman.

Adapun faktor figure dan kekuatan akar rumput menurut Arman perlu disiapkan jauh-jauh hari untuk mendongkrak elektabilitas. Selain itu, diperlukan kerja kolektif kolegial dari segenap kader parpol untuk bisa memperkuat citra mereka di depan publik.

"Tidak bisa berdiri sendiri karena variabel untuk mendulang suara itu kompleks. Perlu ada langkah extra ordinary untuk bisa masuk menarik simpati publik lagi lagi butuh keseriusan secara kolektif kolegial didalam tubuh partai baru," jelas Arman. 

Baca juga: RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas, ICW: Pukulan bagi Publik dan Pemberantasan Korupsi

Identitas Parpol yang Kurang Spesifik

Dihubungi secara terpisah, analis politik dari Universitas Padjajaran (UNPAD), Idil Akbar, menilai jika faktor utama penyebab kegagalan parpol baru untuk bisa melenggang ke Senayan adalah party id atau identitas partai. Apabila dibandingkan dengan parpol-parpol lawas, maka publik akan susah untuk mengasosiasikan diri dengan parpol-parpol baru yang berbasis ideology atau preferensi politik.

"Biasanya partai politik yang memiliki party id yang besar itu biasanya partai-partai lama. Publik punya kecenderungan untuk memilih partai yang memang sudah mapan dan sudah berpengalaman dalam kontestasi politik," kata Idil kepada Optika.id, Rabu (28/2/2024).

Misalnya adalah PDIP dan Partai Keadilan Sosial (PKS). Adil menyebut jika kedua partai tersebut mempunyai ikatan ideologis dengan pemilih mereka yang sama-sama militant di akar rumput. Berdasarkan rekapitulasi KPU sejauh ini, PDIP hampir dipastikan masih menjadi pemenang di Pileg 2024 ini.

"Berbeda dengan Golkar. Kalau Golkar, itu karena pengalaman sehingga mereka kemudian lebih banyak dikenal masyarakat. Selain itu, banyak tokoh dari Golkar sendiri yang memang sudah cukup malang-melintang dalam politik," ucap Idil.

Baca juga: MK Ingatkan Pembuat Undang-Undang Jangan Sering Ubah Syarat Usia Pejabat

Di sisi lain, dia juga mengkritik strategi beberapa parpol anyar dalam mendulang suara dan simpati rakyat. Misalnya, Partai Gelora yang cenderung berupaya untuk merebut ceruk suara PKS. Dan Partai Ummat yang mengincar segmentasi suara yang sama dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Dengan kata lain, imbuh Idil, parpol anyar tersebut tidak memiliki segmentasi spesifik, khas dan khusus.

Selain itu, kehadiran parpol baru tersebut tidak semata-mata karena tujuan ideologis saja. Kebanyakan parpol baru itu justru lahir karena adanya perselisihan di parpol induknya. Selain itu, Idil melihat jika parpol-parpol anyar itu didirikan demi mendekat ke kekuasaan saja, tidak hanya demi meloloskan calegnya ke DPR.

"Kehadiran mereka bukan tanpa hitungan. Mereka mungkin tahu raihan suaranya tidak bakal sampai 4%. Tetapi, bisa jadi yang dituju bukan kemenangan partai. Tapi juga ada hal lain. Kayak Gelora. Dengan Gerindra saat ini, itu mungkin ada sharing kekuasan sendiri nantinya di pemerintahan Prabowo-Gibran," tuturnya.

Adapun Partai Gelora yang dinakhodai oleh Fahri Hamzah masuk dalam barisan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 ini. Selain itu, PKN, Garuda dan PSI juga mendukung pasangan nomor urut 02 tersebut. Sementara itu, Partai Perindo dan Hanura berada di barisan pendukung Ganjar-Mahfud. Kemudian Partai Ummat ada di barisan kubu Anies-Muhaimin.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru