Surabaya (optika.id) - Rokok elektrik atau vape beberapa tahun belakangan memang populer. Orang-orang banyak yang beralih ke rokok elektrik ini baik laki-laki maupun perempuan karena dianggap sebagai alternative yang lebih sehat daripada rokok konvensional.
Namun, ada bahaya yang tidak disadari ketika menggunakan rokok elektrik ini. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada Februari 2020 lalu mencatat kasus lebih dari 2.800 rawat inap dengan 68 kematian yang disebabkan oleh penyakit EVALI. Adapun penyakit ini muncul berkaitan dengan penggunaan rokok elektrik.
Baca juga: INDEF: Kerugian Ekonomi RI Akibat RPP Kesehatan Tembus Rp103 Triliun
Mengutip laman Yale Medicine, Kamis (29/2/2024), EVALI adalah kondisi medis serius di mana paru-paru seseorang mengalami kerusakan akibar dari zat yang terkandung dalam rokok elektrik.
Sebagai informasi, vaping atau menghisap rokok elektrik, melibatkan mekanisme pemanasan sejumlah cairan dan mengubahnya menjadi uap yang bisa dihirup. Sebagian besr cairan ini mengandung zat seperti gliserol dan propilen glikol sebagai bahan dasar yang menghasilkan uap. Tak hanya itu, vape juga mengandung senyawa lainnya termasuk rasa buatan, minyak cannabinoid (CBD), nikotin dan tetrahydrocannabinol (THC).
Para peneliti tersebut kemudian menghubungkan bahwa vitamin E asetat dalam vape dianggap sebagai penyebab utama EVALI dan ketika dihirup, zat kimia itu dapat merusak paru-paru.
Sulitnya Mengenali Gejala EVALI
Diagnosis EVALI ini tidak mudah dan menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, gejala kondisi paru EVALI ini menyerupai penyakit pernapasan lainnya misalnya pneumonia dan virus flu musiman.
Dokter akan melakukan berbagai tes untuk mengidentifikasi gejalanya lebih lanjut serta memastikan tidak ada penyakit atau kondisi lain yang dapat menyebabkan gejala tersebut lantaran sifat EVALI yang menyaru dengan penyakit lain.
Baca juga: Ironi Industri Kretek yang Kian Sekarat Dibalik Moncernya Serial Gadis Kretek
Adapun untuk proses diagnosisnya biasanya dimulai dengan pertanyaan tentang penggunaan rokok elektrik dalam tiga bulan terakhir serta apakah menggunakan produk yang mengandung nikotin, THC, atau bahkan keduanya.
Selama melakukan prosedur pemeriksaan fisik, dokter nantinya akan menggunakan stetoskop untuk mendengarkan paru-paru, memeriksa detak jantung serta mengukur saturasi oksigen darah dengan oksimeter.
Selanjutnya, untuk mengamati bintik-bintik kabur (kekeruhan) di paru-paru penderita, juga diperlukan X-ray dada atau pemindaian computed tomography (CT). pasalnya, penyakit ini merupakan penyakit jenis baru dan sulit untuk memprediksi bagaimana nasib pasien setelah keluar dari rumah sakit usai perawatan intensif.
Seorang ahli paru pediatrik Yale Medicine, Pnina Weiss menyebut bahwa ada bebeapa pasien yang mengalami kekambuhan lagi setelah penghentian pengobatan steroid sehinga dia membutuhkan perawatan lebih lanjut.
Baca juga: Genosida Terselubung, YLKI Desak Pemerintah Serius Perkuat Upaya Pengendalian Tembakau
"Kami merekomendasikan agar pasien menemui ahli paru dalam waktu satu hingga dua minggu setelah dipulangkan untuk menjalani pengujian fungsi paru-paru dan oksimetri nadi (tingkat oksigen dalam darah)," ujar dokter Weiss.
namun, Weiss menyayangkan bahwa prognosis untuk mereka yang terkena dampaknya masih tetap tidak bisa dipastikan lantaran kurangnya data jangka panjang dan adanya kasus kematian akibat EVALI ini.
Hingga saat ini para peneliti berupaya keras untuk memahami lebih banyak tentang penyakit ini, penyebabnya, dan peluang untuk pulih sepenuhnya.
Editor : Pahlevi