Pengamat: Hak Angket Bukan untuk Barisan Tertentu, Tapi Mempertahankan Demokrasi

Reporter : Danny

Jakarta (optika.id) - Inisiatif partai-partai pendukung pasangan capres-cawapres nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD menggulirkan hak angket Pemilu 2024 terus mendapat dukungan dari masyarakat. Termasuk kalangan pengamat dan akademisi.

Hak angket harus didukung. Karena saya melihat memang ada kecurangan pra-TPS (sebelum pencoblosan) seperti dikatakan Pak Anies. Mobilisasi kementerian itu jelas dilakukan (untuk memenangkan paslon tertentu), jelas pengamat politik Ahmad Sahidah, Ph.D., Minggu, (3/3/2024).

Baca juga: Pengamat Politik Sebut Pilkada Bukan Pesta Rakyat, tapi Pesta Elite Parpol

Menurutnya keberadaan hak angket DPR ini penting untuk mengungkap berbagai dugaan kecurangan yang terjadi pada gelaran demokrasi tersebut. Namun, tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan masa depan demokrasi.

Karena itu pula, akademisi yang pernah menjadi dosen di Universiti Utara Malaysia (UUM) ini menepis anggapan bahwa hak angket ini disuarakan pihak-pihak yang tidak bisa menerima kekalahan pada Pilpres 2024 ini.

Memang itu langkah politik yang dianggap sebagai respons barisan sakit hati. Tapi sebenarnya tidak. Saya tidak sakit hati soal kekalahan itu. Jadi saya tetap menitipkan suara kepada legislatif untuk membawa ini ke publik melalui angket, ungkapnya.

Setidaknya (supaya) ketahuan (siapa yang terlibat). Siapa pun bisa melakukan kecurangan. Tapi terkait pilpres kemarin itu sangat kentara kecurangannya. Dan bagi saya penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan pasangan calon, itu adalah pembusukan pada demokrasi, sambungnya.

Makanya, dia tidak mempersoalkan kalau hak angket tidak bisa mengubah hasil pemilu. Karena yang lebih penting dari itu adalah meluruskan demokrasi agar pemilu berikutnya betul-betul berlangsung secara bersih, jujur, dan adil.

Sementara soal kemungkinan hak angket akan membuka celah bagi DPR menggunakan hak menyatakan pendapat yang bisa berimplikasi pada pemakzulan Presiden Jokowi, menurut pengajar program pascasarjana di perguruan tinggi swasta di Jawa Timur ini, mestinya itu disikapi biasa saja.

Karena menjatuhkan seorang kepala negara juga sah dan diatur dalam konstitusi selama sesuai prosedur. Apalagi, Indonesia juga memiliki pengalaman sebelumnya, Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur diberhentikan di tengah jalan.

Kalau mengangkat presiden itu adalah bagian dari demokrasi, dimakzulkan juga bagian dari demokrasi. Jadi terserah kepada rakyat apakah akan mendukung pemakzulan itu, ucap penulis produktif yang pada Pilpres 2014 mendukung Jokowi, pilpres 2019 golput, dan pada 2024 ini mendukung Anies Baswedan.

Kalau memang dianggap sesuai dengan demokrasi, bagi saya tidak ada masalah. Kita sudah mempunyai preseden, Gus Dur diturunkan di tengah jalan meskipun kami waktu itu menolak. Tapi kan proses demokrasi secara formal dilakukan, imbuhnya.

Sebagaimana diketahui, partai pengusung AMIN (NasDem, PKS, dan PKB) dan pendukung Ganjar-Mahfud (PDIP dan PPP) bakal mengajukan hak angket. Pihaknya langsung menggulirkannya begitu memasuki masa sidang DPR tanggal 5 Maret 2024, Selasa lusa.

Baca juga: Analis Sebut Wajar PDIP Tak Bersama Anies, Bukan Elektoral Penentu Utama

Ini sudah firm (tegas), tinggal tunggu sidang DPR. Justru makin keras pompanya nih, enggak akan digembosi ya, kata Mahfud kemarin.

DPR baru sidang tanggal 5 (Maret) mulai. Dan Hak Angket ini merupakan hak anggota dan fraksi-fraksi. Kita tunggu saja. Kabarnya masih pada menyusun draft untuk diajukan diajukan di sidang DPR yang pertama, jelas Muhaimin pada kesempatan terpisah.

Sementara itu, partai-partai pendukung Prabowo-Gibran, yaitu Gerindra, Golkar, Demokrat, dan PAN, menolak wacana hak angket tersebut.

Ya, kalau hak angket kan hak politisi DPR. Tapi Partai Golkar dan (partai) koalisinya itu pasti akan menolak, kata Ketua Umum DPP Partai Golar Airlangga Hartarto sebelumnya.

Sebagaimana diketahui hak angket ini mesti diusulkan paling sedikit 25 anggota dewan yang berasal lebih dari satu fraksi.

Usulan ini menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota DPR yang hadir.

Baca juga: Pengamat Sebut Anies Segera Gabung Partai, Tak Selamanya Bisa Independen!

Kalau pengusul hak angket solid, syarat tersebut akan terpenuhi. Mengingat, gabungan partai pengusung Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud menguasai 314 kursi atau sekitar 55 persen dari 575 kursi DPR RI periode 2019-2024.

Sementara untuk menggunakan hak menyatakan pendapat sebagai tindak lanjut hak angket yang menjadi celah untuk memakzulkan presiden, prosesnya lebih berat.

Karena usul HMP harus diputuskan dalam sidang paripurna yang dihadiri 2/3 anggota DPR dan keputusan yang diambil harus mendapat persetujuan paling sedikit 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir.

Belum lagi, hak menyatakan pendapat ini juga masih melibatkan lembaga lain, seperti MK yang akan mengadili apakah presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak.

Kalau dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran hukum, keputusan itu masih akan dibawa ke sidang Paripurna MPR yang harus dihadiri minimal 3/4 dari jumlah anggota. Sementara pemberhentian harus mendapat persetujuan minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR yang hadir.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru