Pengamat Sebut Indonesia Akan Cemas Jika Demokrasi Terus Mundur

Reporter : Danny

Jakarta (optika.id) - Cita-cita menuju Indonesia Emas 2045 seakan terkubur usai hasil Pemilu 2024 yang dinilai bermasalah. Pengamat Politik sekaligus Dosen Universitas Katolik Santo Thomas, Henrykus Sihaloho pesimistis bisa melihat Indonesia Emas.

Ia menilai, istilah Indonesia Cemas sangat pantas disematkan jika kondisi demokrasi semakin mundur. Kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam Pemilu 2024 menjadikan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia.

Baca juga: Pengamat Politik Sebut Pilkada Bukan Pesta Rakyat, tapi Pesta Elite Parpol

Henrykus melihat, agenda gugatan PHPU yang diajukan oleh kubu 01 Anies-Muhaimin dan kubu 03 Ganjar-Mahfud sebagai upaya untuk menyelamatkan demokrasi Indonesia. Upaya tersebut juga satu agenda untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Kedua pemohon dan mereka yang pesimis mengatakan, Alih-alih Indonesia emas pada 2045, yang terjadi malah Indonesia cemas, kata Henrykus melalui pesan whatsapp, Rabu, (10/4/2024). 

Lanjut Henrykus, saat ini adalah moment dimana hakim Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membuat keputusan yang bersejarah. Dimana sebuah lembaga berani mengambil langkah yang berseberangan dengan kekuasaan.

Baca juga: Analis Sebut Wajar PDIP Tak Bersama Anies, Bukan Elektoral Penentu Utama

Maka dari itu, MK mesti mengambil keputusan yang benar-benar bisa menyelamatkan demokrasi dan mewujudkan Indonesia Emas 2045.

Kini saatnya minimal 4 hakim MK termasuk hakim Suhartoyo membuat putusan bersejarah yang memastikan keberlangsungan Indonesia sebagai negara yang berdaulat yang keterpilihan kepala negaranya tanpa cawe-cawe asing dan penguasa petahana, ucapnya.

Namun ia juga takut para hakim MK sudah tersandera oleh rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi). Jika hal itu terjadi, maka Indonesia Emas 2045 dianggap hanya angan-angan kosong dan tidak akan pernah terwujud.

Baca juga: Pengamat Sebut Anies Segera Gabung Partai, Tak Selamanya Bisa Independen!

Henrykus meminta agar MK minimal berani untuk mendiskualifiaksi Gibran Rakabuming Raka yang dianggap lahir dari rusaknya konstitusi.

Sebaliknya, cukup dengan menebar ketakutan dan cuan yang jumlahnya wah pada 4 hakim MK (termasuk Suhartoyo), alih-alih membuat putusan  yang menjadi kado Idulfitri bagi bangsanya (minimal dengan mendiskualifikasi Gibran), malah hakim MK kini menyetop ketakutan diri dan keluarganya, namun menebar ketakutan pada jutaan orang, Penulis, dan mungkin anak cucu mereka di kemudian hari, pungkasnya.

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru