Optika.id - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan Indonesia akan mengalami fenomena iklim La Nina tahun ini. Hasil analisis dinamis atmosfer pada Dasarian II Oktober 2024 menunjukkan indikasi kuat yang mengarah pada perubahan iklim tersebut.
Berdasarkan pemantauan BMKG, indeks Indian Ocean Dipole (IOD) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) saat ini berada pada ambang La Nina. Data menunjukkan bahwa indeks IOD telah mencapai angka -1,11, yang melewati ambang IOD negatif. Namun, karena baru terjadi dalam satu dasarian, statusnya masih dianggap netral.
Baca juga: Cuaca Ekstrem: BMKG Ingatkan Masyarakat Jawa Timur untuk Waspada
"Anomali suhu permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) di wilayah Nino3.4 juga mengindikasikan ambang La Nina dengan indeks -0,64, tetapi karena hanya berlangsung satu dasarian, status ENSO tetap netral," jelas BMKG di laman resminya.
BMKG memprediksi kondisi ini akan berlanjut hingga awal tahun 2025, dengan kemungkinan besar La Nina lemah mulai terjadi pada Oktober 2024. IOD sendiri merupakan fenomena yang melibatkan perbedaan suhu permukaan laut antara bagian timur dan barat Samudera Hindia, yang memengaruhi iklim dan pola cuaca di wilayah sekitarnya termasuk Asia Tenggara dan Australia.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, juga mengonfirmasi bahwa tanda-tanda awal La Nina memang muncul, namun masih perlu waktu lebih dari sebulan untuk memastikan tren yang konsisten sebelum fenomena ini benar-benar dikonfirmasi.
Baca juga: Ahli BMKG: Semprot Jalan Pakai Water Canon Malah Bikin Polusi!
Dampak La Nina di Indonesia
BMKG memproyeksikan bahwa selama La Nina berlangsung, beberapa wilayah Indonesia akan mengalami peningkatan curah hujan sekitar 20 hingga 40 persen, khususnya pada bulan Juni hingga November. Pada musim hujan di Desember hingga Februari serta Maret hingga Mei, wilayah barat Indonesia diperkirakan akan mengalami peningkatan curah hujan akibat pengaruh angin monsun.
Baca juga: Hujan Awal Musim Kemarau, BMKG: Ada Dinamika Atmosfer
"Ini tidak berarti tidak ada musim kemarau, hanya saja curah hujan lebih tinggi dari biasanya, sehingga kondisi ini sering disebut 'kemarau basah'," tambah BMKG.
Dampak hidrometeorologis dari peningkatan curah hujan tersebut bisa menyebabkan berbagai bencana seperti banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, puting beliung, dan bahkan badai tropis.
Editor : Pahlevi