Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah
Optika.id - Saya sebetulnya enggan menulis artikel tentang hukum mengingat saya awam dalam soal hukum dan lagian saya bukan lulusan Fakultas Hukum. Namun melihat berita-berita soal hukuman ringan yang diterima suaminya selebriti Sandra Dewi sebagai masyarakat awam saya tergelitik untuk menulis artikel ini, namun tetap saya menghubungi sahabat-sahabat yang alumni Fakultas Hukum dan memiliki credential dibidang hukum untuk memperkaya wawasan saya.
Seperti diketahui suami Sandra Dewi, Harvey Moeis mendapatkan vonis ringan terkait korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah dimana uang negara yang dirugikan akibat ulahnya mencapai hampir Rp 300.000.000.000.000 (sengaja saya tulis dengan angka untuk penekanan begitu banyak nya uang negara yang dikorups itu). Vonis dibacakan saat persidangan pada Senin, 23 Desember 2024 yang mengatakan vonis lebih ringan dari 12 tahun penjara dari jaksa, namun vonis yang dijatuhkan hanya 6,5 tahun.
Hakim mengatakan vonis ringan tersebut dikarenakan Harvey Moeis berkelakuan sopan saat jalannya persidangan perkara berlangsung. Hal meringankan terdakwa sopan di persidangan, ungkap hakim saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin, 23 Desember 2024. Selain itu, hal yang meringankan vonis adalah, Harvey Moeis yang merupakan seorang suami, mempunyai tanggungan keluarga dan belum pernah dihukum.
Konsideran hakim meringankan putusan hukuman Harvey Moeis yaitu sopan dalam Persidangan dan mempunyai tanggungan itu yang saya tanyakan kepada sahabat-sahabat saya yang ahli ilmu hukum. Apakah itu merupakan konsideran hukum?; bukankah semua terdakwa tidak hanya Harvey Moeis itu sebagian besar bersikap sopan tatkala berada didalam ruang pengadilan, menyebut hakim dengan sebutan Yang Mulia; menundukkan kepala tanda hormat didepan hakim, berpakaian sopan malah seringkali memakai pakaian atribut keagamaan seperti baju koko dan topi haji dan sebagainya.
Baca juga: Kejutan Akhir Tahun
Lalu kenapa hanya Harvey Moeis yang dianggap sopan lalu meniadakan ulah korupsinya yang merugikan negara hampir Rp 300 trilliun itu. Tambahan pula pertimbangan mempunyai tanggungan itu juga seharusnya berlaku pada sebagian besar terdakwa selama ini. Malahan ada terdakwa yang miskin yang dituduh mencuri kayu, rumahnya gedek/bambu juga punya tanggungan banyak.
Baca juga: Dulu Musuhku, Sekarang Sahabatku
Sebaliknya Harvey Moeis itu meskipun memiliki tanggungan tapi rumahnya gede, elit, punya mobil mewah, istrinya mengumpulkan puluhan tas ber merek yang harganya ratusan juta yang semua hartanya itu bila ditotal nilainya ratusan milyar Rupiah.
Sebagai masyarakat kecil, kita bertanya kenapa konsideran dalam putusan sopan dalam persidangan dan mempunyai tanggungan itu tidak berlaku pada para terdakwa yang jumlah uang yang dikorupsi kecil, kondisi ekonominya miskin, tidak memiliki rumah tinggal yang layak dan memiliki tanggungan anak yang jumlahnya lebih banyak dari anaknya Harvey Moeis, dan selalu bersikap sopan kepada majelis hakim.
Keputusan hakim yang meringankan Harvey Moeis itu mendapatkan reaksi dari netizen dengan berbagai ragam kecaman termasuk dugaan bahwa hakim yang memutuskan keputusan ringan itu sudah mendapatkan uang setoran; atau ada pihak yang menekan hakim; ada yang menyindir hukum macam apa ini? dan sebagainya.
Para sahabat saya yang berlatar belakang hukum memberikan wawasan kepada saya bahwa memang betul seorang hakim itu memiliki kebebasan atau independen dalam memutuskan sesuatu perkara hukum, namun hakim itu juga harus mempertimbangkan Rasa Keadilan Dalam Masyarakat.
Baca juga: Uluran Tangan UNUSA Untuk Timor Leste
Hakim seharusnya memberikan pertimbangan yang memberatkan misalnya mengingat sekarang pemerintah lagi gencar-gencarnya ingin memberantas tindak pidana korupsi, banyak masyarakat yang hidupnya pas-pasan akibat PHK, banyak anak-anak kecil yang kurang gizi, menempati rumah yang tidak layak dan sebagainya maka tindakan seseorang yang melakukan korupsi uang negara yang berjumlah Rp trilliunan itu harus dinyatakan telah melanggar perasaan keadilan dalam masyarakat.
Editor : Pahlevi