Soal Perjanjian FIR Indonesia Singapura, Ini Respons Hassan Wirajuda

author Denny Setiawan

- Pewarta

Senin, 14 Feb 2022 16:07 WIB

Soal Perjanjian FIR Indonesia Singapura, Ini Respons Hassan Wirajuda

i

Dr. Hassan Wirajuda (foto: tangkapan layar/optika.id)

Optika.id - Mantan Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hubungan Luar Negeri/Internasional periode 2010-2014, Hassan Wirajuda menanggapi keputusan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dalam perjanjian yang dilakukan Indonesia dan Singapura soal FIR (Flight Information Regional) atau wilayah informasi penerbangan di Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna pada 25 Januari 2022 lalu.

Dalam diskusi yang diadakan Forum Guru Besar dan Doktor Insan Cita pada Minggu (13/2/2022), Hassan Wirajuda menjelaskan pemerintah harus segera menginformasikan secara lengkap terkait apa saja perjanjian yang dilakukan dengan Singapura. 

Baca Juga: Pekerjaan Rumah Abadi Perbaiki Transportasi Publik di Indonesia

"Saya mengimbau kepada pemerintah agar menjelaskan secara utuh selain perjanjian FIR yaitu ekstradisi dan DCA," kata Hassan.

Lebih lanjut, ia menambahkan membingkai tiga masalah dalam satu perjanjian bukan hal baru yang terjadi. Pada tahun 2006 perundingan perjanjian ekstradisi dan DCA (Dollar Cost Averaging). Hal itu akan membuat ruang gerak perundingan lebih luas, sehingga dapat mencegah terjadinya kebuntuan.

"Kelemahan dalam suatu perundingan dapat diminimalisir antara satu front perundingan dengan perundingan yang lain. Bukan hanya again and lost dalam perundingan tapi juga sesudahnya," sambungnya.

Dalam perjanjian ekstradisi 2007 Singapura secara sepihak membekukan perjanjian ekstradisi. Uniknya pembekuan itu tidak dilakukan secara resmi, melalui surat atau nota diplomatik tapi melalui pertemuan informal di Jakarta. Bukan melalui Menteri Luar Negeri tetapi antara pejabat tinggi Singapura dan Menteri Pertahanan Yuwono Sudarsono.

Tidak seperti yang diberitakan media pada akhir-akhir ini baik perjanjian ekstradisi dan DCA ditolak klarifikasinya oleh DPR. 

"Perlu saya klarifikasi baik perjanjian ekstradisi dan DCA ditolak DPR itu tidak betul, bahwa ada suara pendapat sebagian anggota komisi satu yang menangani masalah ini, ada benarnya. Dalam setiap rapat kerja pasti saya atau Menteri Luar Negeri menyampaikan perkembangan dan hasil dari negosiasi ekstradisi dan DCA, tetapi secara resmi pemerintah belum waktu itu atau meminta secara resmi kepada DPR untuk meratifikasi permintaan kepada DPR, karena memang belum ada keputusan resminya," terangnya.

Hassan juga mengapresiasi kerja pemerintah karena mampu menyelesaikan masalah yang telah lama terjadi. 

"Saya ingin menyampaikan penghargaan kepada pemerintah yang telah menyelesaikan pending masalah yang sudah lama. Sejak 1946 sampai Januari kemarin yang tidak terselesaikan hal ini juga sekaligus menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan," tuturnya.

Baca Juga: Dorong Penguatan UMKM, Khofifah Lepas Ekspor Test Market ke Singapura

Untung dan Rugi dalam Perjanjian 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hassan mengingatkan perundingan FIR, Ekstradisi, dan DCA jika dikaitkan ketiganya maka dalam menghitung keuntungan dan kerugian.

"Kita perlu menilainya bukan hanya FIR saja melainkan perjanjian DCA dan Ekstradisi. Tentang perjanjian FIR kita dapat mempertanyakan mengapa Indonesia memberikan wilayah yang begitu luas kepada Singapura untuk terus mengelola penerbangan dari ketinggian zero sampai 37 ribu kaki. Walaupun itu dibatasi semua penerbangan dari dan menuju ke Singapura," ungkap Hassan.

Selain itu, argumen Menteri Perhubungan tentang mencegah penerbangan PGP sebagai akibat pendelegasian yang begitu luas pada Singapura. Termasuk terkait penerbangan dari Jakarta atau daerah lain di Indonesia menuju atau dari Singapura.

"Memangnya adakah kalkulasi cost and benefit dari sisi keekonomiannya. Belum lagi dari sisi kalkulasi praktis pertahanan dan kepentingan nasional kita," katanya.

Baca Juga: Anies Baswedan Dapat Penghargaan Lee Kuan Yew Exchange Fellow ke-72 dari Pemerintah Singapura

Hassan menyesalkan terkait statemen yang dikeluarkan Menhub Budi Karya dalam rilisnya.

"Saya menyesalkan pernyataan Menhub (Budi Karya) soal pada tahun 1973 IKO menetapkan batas FIR Singapura melingkupi ruang di udara diatas perairan disekitar Kepulauan Riau dan Natuna. Hal ini dimungkinkan ruang diatas udara itu, perairan disekitar Kepulauan Riau dan Natuna sesuai dengan hukum internasional masih merupakan laut bebas," tandasnya.

Reporter: Denny Setiawan

Editor: Pahlevi

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU