Partai Gelora Gugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi

author Seno

- Pewarta

Jumat, 25 Feb 2022 23:28 WIB

Partai Gelora Gugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi

i

images - 2022-02-25T162521.125

Optika.id - Partai Gelora menggugat Undang-Undang Pemilu (Pemilihan Umum) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gelora berharap pada pemilu 2024 tidak digelar serentak. Lantaran dengan serentak, maka Partai Gelora tidak bisa mengusung capres.

Duduk sebagai pemohon yaitu Partai Gelora yang diwakili Anis Matta, Mahfuz Sidik dan Fahri Hamzah. Pasal yang diuji yaitu Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi:

Baca Juga: Indonesia Usulkan 5 Langkah Strategis untuk Kemerdekaan Palestina di KTT OKI

Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.

dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berbunyi:

Pemungutan suara Pemilihan Umum diselenggarakan secara serentak.

Menurutnya, pasal di atas bertentangan dengan: Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

"Menyatakan Pasal 167 ayat (3) sepanjang frasa 'Secara Serentak' dan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian petitum pemohon seperti dikutip Optika.id dari website MK, Jumat (25/2/2022).

Selain itu, pemohon juga meminta aga pemilihan umum untuk memilih anggota Lembaga Perwakilan (DPR, DPD dan DPRD) diselenggarakan sebelum pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Lalu apa kerugian Partai Gelora?

Baca Juga: Suhartoyo MK: Putusan Sengketa Pilkada Bisa Lebih Progresif!

Sebab berdasarkan penjelasan Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 sebagaimana diuraikan di atas, syarat prosentase dukungan minimal untuk pencalonan presiden 34 DPN Partai Gelombang Rakyat Indonesia dan wakil presiden 20 % perolehan kursi DPR atau 25 % perolehan suara nasional pada pemilihan umum anggota DPR RI terakhir harus dimaknai dari hasil pemilihan umum DPR RI tahun 2019.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Oleh karena itu meskipun Pemohon pada saat tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden kemungkinan besar telah dinyatakan sebagai peserta pemilihan umum tetapi tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden, serta Pemohon tidak memiliki nilai tawar di dalam mengusulkan calon presiden-wakil presiden untuk bergabung dengan partai politik lainnya," jelas pemohon.

Secara nasional, surat suara tidak sah untuk pemilu presiden sangat rendah jika dibandingkan dengan surat suara tidak sah pemilu DPR dan DPD. Surat suara tidak sah pemilu presiden hanya 2,38% atau setara dengan 3,7 juta. Sedangkan pemilu DPR mencapai angka 17,5 juta dan pemilu DPD sampai 29,7 juta.

"Salah satu dampak negatif dari keserentakan pemilu presiden dengan pemilu legislatif adalah pemilu legislatif tidak mendapat prioritas yang sama oleh pemilih, padahal sangat penting peranannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia," beber pemohon.

Jika merujuk pada survei yang diselenggarakan oleh LIPI sebanyak 77% responden mengaku memilih untuk mencoblos surat suara pemilu presiden terlebih dahulu dibandingkan surat suara pemilu legislatif (Pusat Penelitian Politik LIPI 2019).

Baca Juga: MK Sebut 106 Perkara Sengketa Pileg Akan Lanjut Pembuktian!

"Asumsinya bisa saja bagi pemilih yang kebingungan melihat surat suara pemilu legislatif dan belum memiliki pilihan cenderung mengabaikan surat suara pemilu legislatif," tukas pemohon. Permohonan itu sudah didaftarkan secara online dan kini masih diproses di kepaniteraan.

Reporter: Pahlevi

Editor: Aribowo

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU