Optika.id - Aksi damai sejumlah pegiat sejarah Surabaya dari beberapa komunitas, yang berusaha mempertahankan fasade-fasade bangunan di Koridor jalan Karet dari upaya pengecatan warna warni pada 2018, kembali teringat. Kala itu mereka membawa beberapa lembar banner bertuliskan imbauan agar koridor Jalan Karet tidak dicat warna warni seperti di jalan Panggung.
Sebenarnya paket pengecatan di jalan Panggung dan jalan Karet kala itu adalah wujud upaya revitalisasi sebagian dari kawasan Kota lama Surabaya. Tapi nampaknya revitalisasi itu dinilai gagal oleh pemerhati sejarah.
Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Pengecatan itu maksudnya baik, tapi tidak memakai dasar kearifan dan sejarah lokal yang ada. Mereka justru mencontoh sudut kota tua di Singapura, yang tidak ada kaitannya dengan Surabaya. Padahal, di Singapura sendiri, bangunan yang dicat warna warni itu hanya satu unit dan aplikasi pewarnaan nya bagus. Ada perpaduan warna yang serasi," terang pemerhati sejarah Kuncaraono Prasetyo, yang pernah melihat kota tua di Singapura itu, Senin (14/3/2022).
Selain pengecatan, masih ada lagi contoh kegiatan revitalisasi yang dianggap gagal, khususnya di Koridor jalan Karet. Perbaikan trotoar hanya sebagian, tidak menyeluruh di sepanjang jalan Karet. Trotoar yang mestinya menggunakan batu hias, ternyata dipasang keramik. Akibatnya keramiknya sudah banyak yang rusak. Pun demikian dengan PJU yang juga dipasang sebagian karena menyesuaikan trotoar yang diperbaiki.
Dulu, ada rencana bahwa peruntukan Koridor jalan Karet, yang berfungsi sebagai kawasan jasa ekspedisi akan diganti menjadi kawasan pariwisata, nyatanya hingga sekarang masih belum ada tanda tanda itu," tambah Kuncarsono, salah satu pendiri Begandring Soerabaia, sebuah perkumpulan pegiat sejarah Surabaya.
Tiga tahun telah berlalu yang terhitung sejak 2018 hingga 2022, jalan Karet hanya dibenahi sebatas perbaikan sebagian trotoar, pemasangan PJU dan pengecatan berwarna putih yang apa adanya, juga karena diingatkan para legist sejarah melalui aksi damai. Hingga sekarang, tidak ada perubahan dan perkembangan yang berarti.
Bangunan-bangunan, yang sudah dipakai usaha jasa ekspedisi, tetap berjalan sebagaimana biasanya. Bangunan yang kosong dan tidak terawat tetap saja teronggok dan menambah kesan angker yang natural jalan Karet. Tidak ada pihak yang berinisiatif dan berani mulai membuka usaha di bidang pariwisata sebagaimana diharapkan.
Jalan karet yang pernah dilabeli revitalisasi alias revitalisasi jalan Karet adalah semu, tidak sungguh sungguh. Ini karena tidak ada grand design tentang pengelolaan kawasan cagar budaya sebagai acuan kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang ruang publik dan bangunan di kawasan Kota lama.
Potensi Kota Lama
Sebagai suatu perbandingan bahwa kota Samarang dan Jakarta, yang sama sama memiliki kawasan Kota tua seperti Surabaya, berhasil mengelola dan memanfaatkan kawasan Kota lama mereka sebagai daerah tujuan pariwisata.
Luas kawasan Kota Lama Surabaya dibandingkan dengan Semarang dan Jakarta terhitung yang paling kecil, tidak seluas kawasan yang ada di Semarang dan Jakarta. Apalagi bangunan bangunan, yang ada di kawasan Kota lama Surabaya, relatif aktif yang umumnya sudah digunakan untuk berbagai kepentingan usaha. Bangunannya hidup. Tidak mati. Apalagi bangunan bangunan di kawasan yang dikenal sebagai eks kawasan Kampung Eropa, di barat sungai Kalimas, kondisinya terawat dengan baik.
Namun, bagaimana dengan bangunan bangunan yang ada di timur sungai, khususnya kawasan Pecinan?
Kawasan Pecinan, khususnya di Koridor jalan Karet, tidak seindah di eks Kampung Eropa. Tapi sesungguhnya jalan Karet memiliki daya tarik tersendiri. Lingkungannya eksotik. Suasannya lebih tenang. Tidak ramai lalu lintas, utamanya pada akhir pekan. Wajar kalau kawasan ini menjadi jujugan fotografer sebagai setting fotografi.
Banyak kegiatan yang memanfaatkan kawasan ini untuk mendukung penciptaan memorabilia. Sayang, jika kegiatan mereka sering berhimpitan dengan aktivitas jasa ekspedisi. Mereka harus mengalah jika kendaraan ekspedisi harus berlalu lalang. Belum lagi kendaraan umum yang melintas di jalan Karet. Mereka tidak memiliki tempat dan ruang untuk menikmati suasana klasik dengan nyaman dan aman.
Tidak satu pun bangunan bangunan yang ada di jalan Karet ini ramah pariwisata (tourism friendly). Akan sangat berbeda jika ada salah satu bangunan di jalan ini, yang menjadi ruang dan tempat publik yang bisa dimanfaatkan sebagai arena untuk menikmati kawasan lama.
[caption id="attachment_18786" align="alignnone" width="300"] Lorong jalan Karet dengan gesung kolonial dan aktivitas truk bongkar muat ekspedisi. (Nanang for Optika)[/caption]
Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Seorang pengunjung di jalan Karet, Heintje (19), menikmati eksotika jalan Karet melalui seni fotografi. Saya berandai andai. Misalnya ada sebuah kedai kafe yang dipadu dengan geleri seni yang bisa menjadi tempat kongkow kongkow inspiratif, ya, semacam co-working and socializing space lah. Niscaya tempat ini akan menjadi jujugan para pencari dan pecinta memorabilia dari dalam dan luar kota, kata Heintje.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jalan Karet secara alamiah sebetulnya adalah kawasan cultural. Kawasan ini adalah kawasan pecinan dimana cita rasa budaya Tinghoa juga masih kental. Disamping ada bangunan bangunan yang bercorak Tionghoa, seperti rumah rumah abu, di kawasan ini juga ada klenteng tua yang usianya sudah lebih dari 200 tahun. Namanya klenteng Hok An Kiong di jalan Coklat.
Jalan Karet secara fisik menyimpan perpaduan gaya arsitektur. Ada gaya Tionghoa dan Eropa. Dari sejumlah bangunan yang ada di jalan ini, ternyata ada satu bangunan bergaya kolonial yang sangat indah. Eksteriornya simetris dengan aksentuasi Arc yang mempertontonkan batu bata ekspos. Gaya arsitektur ini mirip dengan karya Bapak arsitektur moderen, HP Berlage, yang mendesign gedung De Algemene atau gedung Singa di jalan Jembatan Merah.
Bangunan kolonial di jalan Karet ini adalah bangunan yang beralamat di jalan Karet 72. Statusnya adalah bangunan cagar budaya sebagai mana terlihat dari plakard cagar budaya yang tertempel pada tembok depan bangunan.
Dengan status cagar budaya, maka secara ideal bangunan ini bisa dimanfaatkan untuk kepentingan publik, namun harus tetap bersifat ekonomis bagi pemilik dan pengelola bangunan. Siapapun itu.
Artinya, agar bangunan ini bermanfaat sebagai obyek yang menunjang dan bahkan meramaikan pariwisata kota lama Surabaya, maka dukungan pemerintah terhadap pemanfaatan bangunan ini harus nyata dan dapat benar benar dirasakan oleh pemilik atau pengelola. Misalnya intervensi terhadap pemberian insentif kepada pemilik dan pengelola bangunan.
Insentif
Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, diamanatkan pemberian insentif pada setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya. Pada Pasal 1 Butir 12 dinyatakan bahwa Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain bersifat nondana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Lebih lanjut mengenai insentif ini terdapat pada Pasal 22 yang menyebutkan bahwa: (1): Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya berhak memperoleh kompensasi apabila telah melakukan kewajibannya melindungi Cagar Budaya.
(2) Insentif berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan dan/atau pajak penghasilan dapat diberikan oleh Pemerintah atau Pemerintah aerah kepada pemilik Cagar Budaya yang telah melakukan pelindungan Cagar Budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Arif Afandi, mantan wakil walikota Surabaya, selaku pengelola sebuah gedung cagar budaya di kawasan Simpang Surabaya, berharap insentif itu seharusnya diberikan secara otomatis kepada pemilik atau pengelola bangunan cagar budaya yang sudah melaksanakan kewajikan dalam perlindungan asetnya yang telah diberi status cagar budaya.
Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi