Optika.id.Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Bambang Soesatyo, dalam pidato Tahunan MPR, 16 Agustus 2021, melontarkan rencana MPR untuk melakukan amandemen Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) secara terbatas. Dia menyebut amandemen konstitusi hanya akan terbatas dan hanya fokus pada pokok-pokok haluan negara (PPHN), tidak akan melebar pada perubahan pasal lain.
Sebelum berpidato di MPR, Bamsoet, panggilan Bambang Soesatyo, bersma pimpinan MPR lainnya menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara Bogor, 13 Agustus 2021.
Saat bertemu Presiden Jokowi, Bamsoet, politisi Partai Golkar itu, menyatakan bahwa MPR menjamin amandemen hanya untuk menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara. PPHN adalah konsep MPR saat ini sebagai pengganti konsep Garis Besar Haluan Negara (GBHN) MPR sebelum amandemen UUD 1945 (jaman Orde Baru).
"Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR mengenai pembahasan amandemen UUD NRI 1945 untuk menghadirkan PPHN, karena merupakan domain dari MPR RI. Beliau berpesan agar pembahasan tidak melebar ke hal lain, seperti perubahan masa periodisasi presiden dan wakil presiden, karena Presiden Jokowi tidak setuju dengan itu," urai Bamsoet menyampaikan pesan Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jumat (13 Agustus 2021).
Bamsoet getol melontarkan amandemen UUD 1945 terbatas tidak hanya saat bertemu Jokowi dan dalam Sidang Tahunan MPR RI, dalam berbagai kesempatan gagasan itu selalu dikemukakan secara pribadi. Menurut Bamsoet amandemen UUD 1945 merupakan kebutuhan untuk mengarahkan wajah Indonesia 50-100 tahun akan datang, urainya penuh optimis.
Kemunduran Demokrasi
Saiful Mujani, pendiri Saiful Mujani Reserch and Consulting (SMRC), menyatakan amandemen adalah langkah konstitusional, lebih dari itu apa tujuan dasar amandemen tersebut.
"Ukurannya adalah apakah amandemen yang dilakukan akan memperkuat sistem politik kita atau tidak? Memperkuat demokrasi atau tidak. Apakah amandemen yang dilakukan akan memperkuat demokrasi presidensial kita atau tidak?" kata Saiful saat dihubungi, Kamis, 19 Agustus 2021.
" Demokrasi parlementer sudah gagal. Demokrasi MPR-isme juga gagal dalam menciptakan stabilitas politik dan kemudian gagal dalam pembangunan," kata Saiful. Dia menjelaskan pengalaman gagalnya Demokrasi Parlementer 1945-1959. Pengalaman gagal MPRS-isme 1959-1966. Pengalaman MPR-isme otoritarian Orde Baru. Pengalaman MPR-isme demokrasi 2001. saat itu Gus Dur jatuh, tegasnya.
"Demokrasi presidensial 2004 - sekarang membuat politik cukup stabil, pembangunan lumayan berjalan," katanya dengan semangat. Saiful pun menolak keras rencana amandemen UUD 1945 dengan tujuan mengubah sistem demokrasi presidensial dengan alasan PPHN. Dia menjelaskan mengapa GBHN dapat memperlemah demokrasi presidensial, termasuk memilih presiden oleh MPR bisa memperlemah demokrasi presidensial.
Demokrasi presidensial adalah presiden dipilih langsung oleh rakyat. Presiden diberi mandat langsung oleh rakyat untuk menjadi pemimpin eksekutif, untuk membuat dan menjalankan program yang dijanjikan dalam kampanye, dengan masa berkuasa yang fixed. Menurut Saiful posisi presiden setara dengan DPR dan DPD karena sama-sama dipilih rakyat.
Ketiga Lembaga itu tidak boleh saling menjatuhkan," tegas dia. Dia menambahkan, kalau MPR membuat GBHN yang harus dipatuhi presiden, maka MPR di atas presiden dan itu menyalahi demokrasi. Karena mandat yang diberikan rakyat kepada anggota MPR setara dengan mandat yang diberikan kepada presiden.
"GBHN dan pemilihan presiden oleh MPR itu mengubur demokrasi presidensialisme, kita yang dalam sejarah terbukti lebih baik dari parlementarisme maupun MPR-isme. Amandemen untuk menghidupkan GBHN dan peran MPR memilih presiden harus dilawan," urainya secara tegas.
Mayoritas Fraksi Tolak Amandemen
Sebagian besar Fraksi dalam MPR menolak amandemen UUD 1945, meskipun direncanakan terbatas. Fraksi yang menolak adalah Fraksi Partai Golkar, PKS, PD, Nasdem, dan PAN. Fraksi yang menyetujui amandemen adalah Fraksi PDIP, Partai Gerindra, PPP, dan PKB.
Ketua Fraksi Golkar MPR RI, Idris Laena, menilai amandemen belum perlu dilakukan karena tidak mendesak. Salah satu sebabnya karena masih situasi pandemi.
"Soal amandemen ini belum mendesak. Sikap Partai Golkar sudah jelas bagian sikap partai yang tertuang dalam rekomendasi MPR sebelumnya," ujarnya saat mengomentari keinginan Bamsoet merencanakan amandemen.
Partai Demokrat juga menolak rencana amandemen. Alasannya karena khawatir akan merembet kemana-mana. Bahkan, menurut Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Benny K Harman, di MPR belum ada fraksi menyetujui amandemen terbatas. Fraksi-fraksi hanya baru memberikan sikap bahwa PPHN diperlukan.
"Belum ada kesepakatan bentuk hukum PPHN itu, apakah UU apakah bentuk Tap MPR atau dengan mengubah UUD, sama sekali belum ada. Masih dalam tahapan pengkajian di masing-masing Fraksi. Jadi kalau tadi Ketua MPR sudah katakan sudah ada kesepakatan di tingkat MPR, itu adalah kebohongan, belum ada itu," ujarnya kritis.
Partai oposisi seperti PKS juga menolak amandemen UUD 1945, apalagi jika sampai merembet pembahasan masa jabatan presiden.
"Jika saat ini membahas amandemen UUD 1945 seolah tidak peka dengan situasi ini, apalagi ketika yang dibahas adalah penambahan masa jabatan presiden," kata Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Habib Aboe Bakar Al-Habsy.
Sementara itu Fraksi Partai NasDem juga menolak amandemen terbatas hal itu dikemukakan dengan lantang oleh Ketum DPP Partai Nasdem, Surya Paloh.
"Jadi kita bicara sibuk amandemen terbatas misalnya. Ketua MPR mengusulkan amandemen terbatas. Kalau mau terbatas tanya dulu sama masyarakat kalau mau amandemen," katanya saat Hari Ulang Tahun Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Senin (23 Agustus 2021).
MPR ingin ada penambahan ayat di Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945. Penambahan satu ayat pada Pasal 3 yang memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara, serupa dengan GBHN sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945.
Sementara itu, penambahan satu ayat pada Pasal 23 mengatur kewenangan DPR untuk menolak Rancangan Undang Undang Aanggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) yang diajukan Presiden apabila tidak sesuai dengan PPHN.
Paloh mengingatkan jika publik tidak menghendaki amandemen terbatas UUD 1945 sebaiknya wacana tersebut ditutup.
Menurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasdem Bidang Hubungan Legislatif, Atang Irawan, mekanisme perubahan UUD 1945 membuka peluang untuk usul perubahan pasal di luar PPHN.
"Artinya, memungkinkan juga dengan pola perubahan pasal-pasal dalam Pasal 37 akan membuka ruang bagi pengajuan perubahan pasal-pasal lainnya. Tidak hanya satu pasal," kata Atang.
Sedangkan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan meyakini amandemen terbatas tidak akan dilakukan hingga Pemilu mendatang. Ia menjamin hal itu karena mengaku mengikuti perkembangan hari ini.
"Saya kira sampai Pemilu yang akan datang amandemen itu tidak akan terjadi. Oleh sebab itu tidak usah khawatir berlebihan," katanya.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyatakan belum memberikan sikap terhadap wacana amandemen terbatas. Namun, Wakil Ketua MPR RI Fraksi PKB Jazilul Fawaid, mengakui pada periode sebelumnya PKB menyetujui PPHN masuk dalam amandemen.
"Sekarang kita ikuti perkembangan nanti, arahan ketua umum, dskusi partai, begitu, tetapi ingin bahwa kalau memang amandemen itu terbatas tapi jangan membatasi yang lain," ujar Jazilul.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara PPP menyatakan terbuka untuk melakukan amandemen UUD 1945. Selama amandemen tersebut tidak sembarangan dan membuka partisipasi publik. "Jadi saya kira nanti kekuatan politik yang terpresentasikan Fraksi-Fraksi di MPR itu sepakat mengusulkan amendemen untuk PPHN tadi maka tetap partisipasi publik harus dibuka," ujar Wakil Ketua MPR Fraksi PPP Arsul Sani.
Adapun Partai Gerindra mendukung memasukan PPHN dalam amandemen terbatas UUD 1945. Wakil Ketua MPR Fraksi Gerindra Ahmad Muzani menilai PPHN untuk memastikan keberlanjutan pembangunan. Namun, Gerindra memberi catatan amandemen tidak melebar.
"Dari kajian kita kan kalau PPHN saya kira sebagai sebuah pilihan agar ada keberlanjutan pembangunan dari pemerintahan satu ke pemerintahan lain saya kira itu sebuah maksud yang bagus," ujar Muzani.
PDI Perjuangan merupakan partai yang memiliki gagasan untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang kini berubah menjadi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Hal itu sejalan dengan hasil Kongres PDIP Tahun 2019.
Anggota DPR Fraksi PDIP Junimart Girsang menyebut, amandemen terbatas untuk memasukan PPHN berdasarkan rekomendasi MPR periode sebelumnya. Hal ini, kata Junimart, sudah disetujui dalam rapat Badan Pengkajian MPR RI.
"Amandemen tersebut untuk menambah masing-masing 1 ayat di pasal 3 tentang kewenangan MPR sehingga dapat menetapkan PPHN dan pasal 23 tentang kewenangan DPR yang bisa mengembalikan RAPBN manakala tiadk sesuai PPHN. Proses menuju amandemen memang masih panjang dan harus mengacu pada tata cara serta mekanisme diatur pasal 37 UUD NRI 1945," kata dia.
Kepentingan Bamsoet Sendiri.
Fraksi yang menolak wacana amandemen terbatas terbilang lebih mendominasi. Anehnya partai yang menaungi Bamsoet, menolak wacana amandemen terbatas. Bamsoet yang ngotot dan gigih untuk melakukan amandemen pun dipertanyakan.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, curiga Ketua MPR RI Bambang Soesatyo punya kepentingan sendiri. Ia mempertanyakan motif kengototan Bamsoet itu.
"Muncul kemudian pertanyaan sebenarnya perjuangan Bamsoet Ketua MPR ini untuk kepentingan siapa atau atas nama siapa? Apakah atas nama pribadinya ataukah atas nama dirinya sebagai Ketua MPR atau atas nama Golkar?" selidik Lucius.
Sebab, ia melihat kegigihan Bamsoet tidak selaras dengan sikap partainya sendiri.
Lucius mencatat hanya tiga fraksi yang jelas mendukung amandemen yaitu PPP, PKB dan PDIP. Namun, ia memberikan catatan bahwa fraksi-fraksi di MPR sikapnya selalu berubah. Sulit untuk memegang sikap fraksi hari ini. Apalagi, saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo membahas amandemen tersebut, para pimpinan MPR yang mewakili masing-masing fraksi juga hadir.
"Fraksi-fraksi yang sudah menyatakan sikapnya menolak rencana amandemen ini itupun sulit untuk kita pegang saat ini. Fakta bahwa sejak awal rencana amandemen ini sikap fraksi-fraksi berubah saya kira membuat kita sulit percaya dengan mudah sikap yang ditunjukan fraksi-fraksi ini apalagi ini kemudian disampaikan ke publik," keterangan Lucius
Kepentingan Politisi
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengingatkan MPR agar tidak mewacanakan amandemen UUD 1945.
"Studi empirik menunjukkan apapun maunya politisi sekarang ini, itu bisa terjadi," kata Bivitri dalam sebuah acara diskusi daring yang ditayangkan di YouTube Integrity Law Firm, Kamis (26/8/2021). Pakar Hukum Tata Negara yang berhasil meraih gelar doktor dari University of Washington di Seattle, Amerika Serikat, merasa hapal sekali dengan perilaku politisi di DPR.
Susanti merespon pernyataan Asrul Sani, Wakil Ketua MPR RI dari PPP, yang menganggap amandemen UUD 1945 baru sebatas wacana.
wacana amandemen dan kemudian diteruskan dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2021 oleh Bamsoet menunjukkan ada agenda serius amandemen UUD 1945, katanya kritis. Menurut Susanti, saat ini justru yang urgen adalah bagaimana caranya memperbaiki kualitas demokrasi yang kian menurun.
"Itu tadi ya, kita masih pada soal pemburu pembuat meme dan mural buat saya itu masalah mendasar dalam pelaksanaan konstitusi, itu dulu diselesaikan ketimbang malah mengubah konstitusinya," catatan Susanti yang pernah menjadi staf ahli MPR RI dan DPD RI Tahun 2007-2009.
Pilpres 2024 Tak Bisa Diundur
Direktur Eksekutif Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Khoirunnisa Agustyati, menyatakan pilpres 2024 tak bisa diundur dengan alasan pandemi, karena UUD 1945 menghendaki setiap lima tahun sekali. Perludem menyatakan pengunduran Pemilihan Presiden 2024 ke tahun 2027 melanggar UUD 1945. Pandemi Covid-19 pun tak bisa dijadikan alasan karena masih ada cukup waktu untuk mempersiapkan pilpres sedini mungkin.
Isu perpanjangan jabatan presiden yang selama ini berkembang bermakna 2 hal yaitu (1) menambah periode jabatan presiden menjadi 3 periode sehingga UUD 1945 saat ini harus diamandemen atau (2) memperpanjang waktu jabatan presiden dengan alasan pandemi Covid 19 sehingga pemilu presiden diundur 2027.
"Memang tidak ada dasarnya kalau mau diundur ke 2027. Itu melanggar konstitusi karena harus lima tahun," kata Khoirunnisa Nur Agustyati saat dihubungi via telpon, Kamis (26/8). Dia mengatakan penyelenggaraan Pilpres sudah diatur pasal 7 UUD 1945. Pasal itu mengatur masa jabatan presiden dan wakil presiden hanya lima tahun.
Khoirunnisa menyampaikan, hal yang sama juga berlaku untuk Pemilihan Legislatif (Pileg). Merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019, ia menyebut pileg harus diselenggarakan bersamaan dengan pilpres pada 2024.
Dia menilai alasan menunda pilpres ke tahun 2027 karena alasan pandemi Covid-19 tidak tepat. Menurutnya, masih ada banyak waktu untuk mempersiapkan pemilihan. Terlebih, pada 2020 lalu, pilkada pun bisa terlaksana meski masih ada pandemi Covid-19.
"Dengan hasil pembelajaran pilkada, 2024 masih 2,5 tahun lagi, justru kita punya waktu untuk menyiapkan Pemilu 2024 seandainya masih pandemi. Sekarang harusnya mempersiapkan pemilu dalam pandemi seperti apa," ucapnya. Khoirunnisa berharap pemerintah serius menangani pandemi Covid-19. Dengan begitu, Indonesia sudah tidak lagi berhadapan dengan pandemi saat Pilpres 2024 digelar. (Aribowo)
Editor : Pahlevi