Optika.id - Dari Focus Group Discussion (FGD) Pembuatan Film Animasi Gubernur Jatim RMTA Soerjo, yang digelar oleh Disbudpar Propinsi Jawa Timur di Malang pada 17-19 Maret 2022 lalu, membuka tabir sejarah Jawa Timur yang harus diluruskan. Ada kejanggalan terhadap tahun kematian Gubernur Soerjo. Padahal sejarah sosok Gubernur Soerjo ini menjadi dasar penetapan Hari Jadi Provinsi Jawa Timur pada (versi) pasca Kemererdekaan.
Kejanggalan angkat tahun kematian Gubernur Soerjo ini disampaikan oleh Muries Subityantoro, juru bicara keluarga besar RMTA Soerjo yang sekaligus cucu RMTA Soerjo dalam diskusi yang dimaksudkan mencari konten untuk pembuatan film animasi tentang sejarah Gubernur Soerjo.
Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Saya atas nama keluarga besar RMTA Soerjo tidak ingin ada kesalahan dalam konten fim animasi yang diproduksi," pesan Muries dihadapan seluruh peserta diskusi.
Berikut catatan Muries Subiyantoro yang selama ini menjadi keprihatinan keluarga besar RMTA Soerjo terkait dengan kejanggalan pada angka tahun kematian Gubernur Soerjo yang terpahat pada nisan.
Gubernur Soerjo adalah Gubernur Jawa Timur pertama kali pasca kemerdekaan RI. Nama RMTA Soerjo yang tertunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur adalah satu nama diantara 8 nama Gubernur lainnya di Indonesia sesaat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Ketika semua Gubernur langsung menunaikan tugas sebagai Gubernur di daerahnya masing-masing setelah diangkat oleh Presiden Soekarno, Gubernur Soerjo masih menjalankan tugas sebagai Residen di Bojonegoro. Ia belum bisa meninggalkan tugas tugas yang dirasa penting di Bojonegoro. Sampai pada 12 Oktober 1945, Gubernur Soerjo tiba di Surabaya untuk menjalankan tugas barunya sebagai Gubernur Jawa Timur.
[caption id="attachment_20273" align="alignnone" width="278"] Monumen Soerjo di Ngawi. Foto: istimewa[/caption]
Tanggal 12 Oktober 1945 ini yang kemudian menjadi dasar pertimbangan penetapan Hari Jadi Provinsi Jawa Timur pasca kemerdekaan. Ketika sejarah Gubernur Soerjo menjadi dasar penetapan hari jadi Propinsi Jawa Timur, ternyata terdapat kejanggalan terkait dengan sejara tahun kematian Gubernur Soerjo.
Karenanya pihak keluarga yang diwakili oleh Muries Subiyantoro menyampaikan kejanggalan itu dalam FGD agar kebenaran sejarah Gubernur Soerjo diperhatikan.
Catatan Keluarga Besar RMTA Soerjo
RMTA Soerjo adalah Gubernur Jawa Timur pertama pasca kemerdekaan. Proklamasi memang diproklamirkan di Jakarta, tetapi Proklamasi RI itu sendiri diuji di Surabaya ketika meletus pertempuran 10 Nopember 1945, tepatnya ketika Gubernur Soerjo berpidato pada tanggal 9 Nopember 1945 pukul 23.00 WIB yang menyatakan "Lebih baik hancur daripada dijajah kembali, kita tolak ultimatum Inggris".
Bisa dibayangkan seandainya tidak ada "Komando Keramat" itu atau Gubernur Soerjo menyerah, maka Proklamasi RI akan sia-sia belaka, tidak bermakna apa-apa. RMTA Soerjo menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur mulai 1945-1947.
Setelah RMTA Soerjo menjabat sebagai Gubernur Jatim, selanjutnya pada tahun 1947, Presiden RI Soekarno mengangkat pak Soerjo sebagai Wakil Ketua DPA hingga menjelang kematian pada tahun 1948.
Jejak sejarah kematian Gubernur Soerjo sampai sekarang masih diselimuti versi dan kontroversi. Salah satunya adalah penulisan angka tahun pada nisan makam Soerjo. Disana tertulis 1947.
Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Padahal pada 1947, Soerjo masih hidup dan bahkan mendapat tugas baru dari Presiden Soekarno sebagai Wakil Ketua DPA selepas menjabat sebagai Gubernur Jatim.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kontroversi kematian Gubernur Soerjo yang tertulis di nisan makam juga pernah menjadi bahan kajian ilmiah (skripsi) salah satu Mahasiswi Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Universitas Negeri Surabaya, Leli Kurniawati, yang berjudul "Kontroversi Terbunuhnya Gubernur Soerjo Tahun 1948".
Jika dicermati ada hal yang mencurigakan dari penulisan pada nisan makam Gubernur Soerjo. Selain telah terpahat angka 7 untuk tahun 1947, pada bidang angka 7 ini terdapat guratan angka 8 yang terlihat seperti draft angka.
Kecurigaan pada penulisan angka tahun pada nisan RMTA Soerjo ini perlu ditelusuri dan dikaji mengapa tertulis 1947, bukannya 1948. Penulisan angka tahun ini, bukan hanya penting bagi keluarga, tapi juga bagi Provinsi Jawa Timur karena makam ini akan menjadi jujugan ziarah dan takziah. Jika ada kesalahan sejarah, maka wajib untuk diluruskan.
[caption id="attachment_20271" align="alignnone" width="300"] Inskripsi nisan dengan angka tahun yang kontroversi. Foto. Dok keluarga[/caption]
Selain itu pihak keluarga juga mempertanyakan tanggal kematian. Pihak keluarga meyakini bahwa peristiwa yang menewaskan Gubernur Soerjo itu terjadi pada 12 November 1945. Sementara pada informasi umum, tertanggal 10 November 1945.
Menurut catatan keluarga bahwa sebelum peristiwa nahas itu, Gubernur Soerjo berangkat dari Yogyakarta menuju Madiun pada tanggal 10 Nopember 1948, lalu menginap di Rumah Residen Surakarta Sudiro, kemudian melanjutkan perjalanan tanggal 11 Nopember 1948.
Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Pada tanggal 11 Nopember 1948 itu pula sekitar siang menjelang sore hari, di tengah perjalanan Soerjo dicegat dan ditangkap oleh Pasukan PKI di Desa Bogo Kedunggalar Ngawi. Selanjutnya pak Soerjo diinterogasi dan dibawa ke Hutan Sonde. Di sanalah ia dibunuh secara keji dan kejam. Jenazah Gubernur Soerjo ditemukan di sekitar Kali Klakah Dukuh Ngandu, Desa Bangunrejo Lor, Kedunggalar, Ngawi.
Logikanya, dibutuhkan waktu beberapa lama dari mulai dicegat dan ditangkap, lalu diinterogasi, dibawa ke hutan, dan dibunuh. Maka, tanggal 12 November adalah penanggalan kematian yang masuk akal.
Harapan keluarga adalah bisa dilakukan kajian sejarah mengenai tahun kematian Soerjo yang melibatkan stakeholders terkait seperti ahli sejarah, pamong budaya, pemerintah, keluarga dan para pihak yang konsen dengan sejarah. Dengan demikian jejak sejarah Gubernur Soerjo sebagai Pahlawan Nasional yang ditetapkan pada tahun 1964 menjadi realistik.
Pada gilirannya kebenaran sejarah ini bisa menjadi pelajaran buat para generasi muda. Karena esensinya: Membicarakan Sejarah Bukanlah Membicarakan Sebuah Kebesaran, tetapi Membicarakan Sebuah Kebenarannya.
Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi