Optika.id, Surabaya - Pagi itu, Selasa (26/4/2022) rentetan pesan singkat masuk melalui salah satu obrolan grup angkatan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA AWS). Salah satu anggota grup membawa kabar duka, Sang Penyeru Kebebasan Pers dan Jurnalisme Damai Itu telah Berpulang.
"Selamat jalan bu Ikit Sirikit Syah. Semoga husnul khotimah dan diberikan tempat terbaik di hadirat Allah SWT," ujar pesan singkat tersebut.
Hernani Sirikit atau lebih dikenal Sirikit Syah seorang penulis, pengajar, dan pengamat media, tutup usia di Rumah Sakit Haji, Surabaya pada Selasa (26/4/2022) pukul 06.30 WIB, setelah dirawat di rumah sakit selama sembilan hari melawan Kanker yang ia derita.
Cerita datang semasa ia mengampu mata kuliah di Stikosa-AWS, ia sering berbicara mengenai etika jurnalistik dan Jurnalisme Damai. Tak jarang ia membuka sesi diskusi mengenai fenomena dan permasalahan yang sedang terjadi di dunia pers
Saat itu mata kuliah Kode Etik Jurnalistik di Stikosa-AWS, Kelas dihadiri kurang lebih 20 mahasiswa Ilmu Komunikasi jurusan Jurnalistik, Termasuk penulis. saat sesi diskusi Syirik Syah menerima pertanyaan dari salah satu mahasiswanya
"Ada sebuah gudang tiner ilegal kebakaran. gudang itu tidak memenuhi standar keamanan bangunan, K3LH dan bahkan alat pemadam kebakaran tidak ada. Saat kebakaran tersebut ada korban meninggal dunia dan selamat. Korban selamat adalah satu-satunya saksi kejadian dan ada upaya disembunyikan," ujar mahasiswa itu.
Lalu mahasiswa itu melanjutkan, "saya Mau wawancara saksi tersebut sebelum disembunyikan, tapi dia baru saja selamat dari kobaran api? Mana yang saya dahulukan ekslusifitasnya dan kecepatannya atau etikanya?"
Sirikit Syah lantas tersenyum kepada mahasiswa itu dan memberikan pujian bahwa peristiwa yang ia gambarkan akan banyak ditemui saat jurnalis berada di lapangan.
"Memang hal itu akan menjadi pilihan yang sulit dalam kenyataannya. Redaktur dari tempat bekerja akan mendorong kecepatan dan eksklusifitas berita namun jangan lupa sisi manusiawi, rasa berduka, kehilangan itu yang sering dikesampingkan wartawan," ujar Sirikit menanggapi pertanyaan tersebut.
"Saya rasa ada banyak sisi berita yang bisa digali dalam peristiwa yang diceritakan, atau bisa saja memberikan waktu sejenak dan mendekatkan diri ke saksi tersebut, diberi minum. Sebisa mungkin bagaimana kita memanusiakan narasumber kita. Jangan bersikap arogan," tutur alumnus Universitas Negeri Surabaya itu.
Sirikit berpengalaman melatih Peace Journalism pada para wartawan di wilayah konflik di seluruh Indonesia (lebih dari 200 jurnalis dalam periode pelatihan tahun 2000-2002), bertempat di Jakarta, Surabaya, Ujungpandang, Manado, Ternate
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pesertanya para wartawan dari Timor Timur, Papua, Maluku Selatan, Maluku Utara, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, dan Surabaya.
Wartawan Senior yang pernah menjadi Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Timur tahun 2004-2006 itu juga dikenal sebagai dosen yang menjunjung tinggi jurnalisme damai. Ia selalu mengingatkan mahasiswanya untuk menghindari jurnalisme perang atau berdarah-darah.
"Memang benar menulis yang berdarah-darah yang daramatis akan meningkatkan pembaca. Namun itu akan menyebabkan kengerian di masyarakat. Lebih baik difokuskan pada Jurnalisme jalan tengah yang membingkai berita secara tidak berlebihan. Itu pesan beliau yang saya ingat saat dikelas," ujar Tania salah satu mahasiswi Sirikit Syah.
Wartawati Itu kini sudah kembali kepada Tuhannya. Ia sudah memberikan teori, pemikiran dan motivasinya kepada mahasiswa di kelasnya.
Selamat jalan Penyeru Kebebasan Pers dan Jurnalisme Damai!
Reporter: Jenik Mauliddina
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi