Optika.id - Rasanya ada saja yang bisa ditulis dari desa Bedanten di kecamatan Bungah kabupaten Gresik. Penulis baru dua kali ke desa yang namanya sudah diabadikan oleh Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit pada 1358. Adalah prasasti Canggu dimana nama Bedanten itu ditulis. Tertulisnya adalah Madanten.
Madanten adalah salah satu dari desa-desa di tepian Bengawan yang memberi jasa penyeberangan, yang selanjutnya secara klasik disebut naditira pradeca. Secara umum prasasti itu disebut sebagai piagam penyeberangan, yang secara global diartikan sebagai Ferry Charter.
Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Meski penulis baru kali kedua berkunjung ke Bedanten dalam rangka penelitian untuk agenda Ekspedisi Bengawan Solo 2022, di setiap kunjungan selalu menemukan fakta dan data yang menarik. Temuan temuan ini selalu menjadi pengantar akan potensi temuan temuan baru lainnya, sehingga menantang penulis untuk datang lagi dan lagi.
Menurut mantan kepala desa dua periode 1999-2013, Suyuti, terjadinya sedikit perubahan nama desa dari Madanten menjadi Bedanten adalah sejak adanya proyek besar benbelokan alur Bengawan Solo pada pertengahan abad 19. Semula Bengawan Solo bermuara ke selat Madura (Timur), akhirnya bermuara di Laut Jawa (utara).
Dulu pak, ketika ada proyek besar pembuatan kanal ke utara melalui Ujungpangkah oleh Belanda, di saat itulah warga setempat menjuluki desanya sebagai Bedahe Danten' (Bedahnya Danten) yang disingkat Bedanten," terang Suyuti dalam obrolan di warung kopi Pasar Pon yang tidak jauh dari Bengawan.
Perlu diketahui bahwa ada kebiasaan dari warga ketika menyebut nama suatu desa yang terdiri dari tiga suku kata atau lebih, yang sebut adalah dua suku kata yang terakhir. Misalnya Lowayu yang dilafalkan Wayu, Madanten dilafalkan Danten.
Mistis Bunyi Gamelan
Lebih lanjut Suyuti juga bercerita tentang sebuah folklore yang ada di desa Bedanten termasuk di seantero kecamatan Bungah tentang pembuatan pembendungan (penutupan) Bengawan Solo yang mengalir ke arah timur, ke selatan Madura. Akan tetapi upaya pembendungan atau penutupan aliran ke timur ini tidak mudah. Berkali kali mengalami jebolnya tanggung.
[caption id="attachment_25667" align="aligncenter" width="788"] Seni tradisional yang sudah kepaten obor di desa Bedanten. Wayang Kulit. (Nanang)[/caption]
Kegagalan di atas sangat masuk akal karena materialan yang pakai membendung sangat alami. Yaitu tanah. Materialan ini tidak kuat menahan desakan derasnya aliran dari bulu. Tanah baru untuk pembendungan itu belum padat sehingga rentan terkikis dan jebol.
Atas saran dari seorang supranatural (dukun), maka agar dilakukanlah upacara ritual yang puncaknya dengan mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk. Singkat cerita, datanglah dalang bersama sinden lengkap dengan peralatan galmelan dan panjak ke lokasi proyek pembendungan.
Sebelum rombongan tiba di lokasi, perahu yang ditumpangi terbalik yang dimungkinkan karena arus putar ketika alur Bengawan berkelok ke utara. Dalang, sinden para panjak gamelan beserta peralatannya tenggelam. Selanjutnya peristiwa ini disebut sebagai wadal proyek pembendungan aliran yang lama ( ke arah timur).
Setelah kejadian itu, pembendungan sungai berjalan lancar dan selesai. Akan tetapi, secara mistis di sekitar lokasi bendungan di malam malam tertentu sering terdengar suara klenengan gamelan wayang kulit.
Cerita cerita ini berdasarkan penuturan orang orang yang lewat di daerah ini," tutur Suyuti.
Cerita Kebakaran Desa
Cerita folklore lainnya adalah terkait dengan terbakarnya perkampungan Bedanten. Bahwa Bedanten pernah dilanda musibah kebakaran hebat. Api cepat melalap dan menghabiskan rumah rumah warga. . Usibah kebakaran terjadi dua kali.
Alkisah musibah ini dikaitkan dengan hilangnya seorang warga desa yang konon dikabarkan ldimangsa buaya di Bengawan Solo. Sang ayah, yang dianggap orang berada dan terpandang di desa, lantas mendatangkan seorang pawang dari Lamongan yang bisa menentukan dan menangkap buaya si pemangsa. Dimintanya sang pawang untuk menangkap buaya dengan imbalan uang senilai 25.
Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Dalam aksinya, sang pawang berhasil menangkap salah satu dari buaya-buaya penghuni Bengawan Solo. Dibawanya si buaya ke tepian Bengawan lalu dibedahnya perut buaya. Ternyata yang didapati dari perut buaya adalah binatang kambing. Tidak ada yang menunjukkan bagian dari tubuh manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sang ayah pun rada kecewa karena sang pawang tidak berhasil menangkap buaya pemangsa. Karenanya sang ayah tidak memberikan uang sesuai dengan jumlah yang dijanjikan. Hanya diberi separuh dari yang dijanjikan.
Atas fakta ini, pawang merasa kecewa dan berujar kelak ia akan membuat bencana atas desa Bedanten. Yakni kebakaran hebat. Pawang pun pergi meninggalkan Bedanten.
Usai kepergian pawang, sang ayah yang berpengaruh di desa itu meminta warga Bedanten untuk berjaga dan bersiap atas kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Warga melakukan penjagaan desa siang malam selama 40 hari. Lewat dari hari ke 40, ternyata tidak ada musibah yang dikuwatirkan. Warga pun berhenti berjaga dan bisa lelap tidur di rumah masing masing dikala malam.
Namun tiba tiba ada seorang warga yang berkabar sambil berlari bahwa desa mengalami musibah kebakaran yang dengan cepat si jago merah melalap perumahan warga. Cerita folklore ini disampaikan oleh sesepuh desa yang juga seorang pendekar desa, Miftah.
Ternyata cerita yang bersifat folklore dan terwariskan secara turun menurun ini memiliki kesamaan dengan peristiwa nyata yang ditulis oleh surat kabar di Hindia Belanda yang mengabarkan tentang peristiwa kebakaran besar. Berita koran ini seperti yang disampaikan oleh pegiat sejarah Bedanten Abhiseka Bashori.
File surat kabar yang diunduh dari sumber delpher.nl itu mengabarkan bahwa seorang kepala daerah Karesidenan Surabaya, yaitu Resident, memberitahukan bahwa di wilayah karesidenan Surabaya, tepatnya di Bedanten kabupaten Gresik, telah terjadi kebakaran pada 27 Juli 1905, yang menghabiskan 30 rumah. Kerugian atas musibah itu, khususnya aset kolonial adalah f 473 (empat ratus tujuh puluh tiga Gulden).
Bedanden memang pernah menjadi tempat peradaban bangsa Belanda. Bukti bukti peninggalan mereka di Bungah tidak bisa dibantah. Misalnya ada rumah loji yang sekarang menjadi kantor kecamatan Bungah. Ada Lak Mireng (rolak di kali Miring). Rumah rumah Belanda dari era 1980 an dan bahkan ditemukan sebuah rumah yang bahan bahan materialan bangunan menunjukkan era VOC (abad 18). Termasuk beberapa rumah kolonial di Mengare dan situs benteng Lodewijk di sebrang Mengare.
Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Kecocokan antara cerita tutur (folklore) dan berita koran (faktual) di era Kolonial ini patut menjadi perhatian warga Bedanten dan stakeholder kabupaten Gresik bahwa ada sejarah yang perlu di dokumentasikan sebagai wahana pendidikan sejarah lokal.
Folklore ini adalah salah satu obyek yang berhasil digali oleh Tim Ekspedisi Bengawan Solo 2022. Masih ada obyek obyek kebudayaan lain yang sudah dihimpun dan masih banyak pula kiranya yang perlu digali dari desa Bedanten ini. Penelusuran nilai nilai budaya di Bedanten ini pengacu pada pasal 5 Undang Undang 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Kekayaan Bedanten di bidang kesejarahan yang masuk dalam ranah Undang Undang 11/2010 tentang Cagar Budaya juga lumayan banyak mulai dari benda benda dan bangunan dari era lasik, kolonial hingga kemerdekaan banyak ditemukan disini. Benda dan bangunan bangunan yang tersebar di Bedanten ini diduga kuat sebagai Cagar budaya. Salah satu diantaranya rumah rumah khas Bedanten yang dirancang bangun dengan menggunakan kayu jati.
Menurut kesaksian Suyuti (66), bahwa di tahun 1960-an semua rumah rumah di Bedanden terbuat dari kontruksi kayu jati. Meski terbuat dari kayu namun design bangunan tak ubahnya bangunan loji yang terbuat dari bahan batu bata. Misalnya rumahnya simetris, memiliki teras. Pintu satu di tengah. Berbentuk kupu tarung dobel bukaan keluar dan ke dalam. Pintu diapit oleh jendela dengan daun pintu kupu tarung. Semua layaknya bangunan kolonial yang berbahan batu.
Atas dugaan ini, maka desa Bedanten yang kaya akan nilai sejarah dan budaya dengan didasari dengan bukti bukti nyata dan jelas baik berupa prasasti maupun babad babad, maka desa ini layak sebagai desa Sejarah di kabupaten Gresik.
Oleh: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi