Optika, Jakarta - Wacana mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas jasa pendidikan sebesar 5-7 persen dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Rencana ini akan diterapkan usai pandemi Covid-19 di Indonesia.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo menyampaikan, sementara ini pemerintah masih fokus dalam menangani pandemi serta fokus memulihkan ekonomi.
"Saat ini, kami tidak membicarakan sama sekali bagaimana menaikkan pajak apalagi memajaki jasa pendidikan. Tetapi, saat ini benar, sedang dibahas RUU KUP bersama DPR. Tetapi fokusnya adalah menyiapkan landasan pendidikan yang lebih adil dan menyiapkan administrasinya untuk diterapkan pasca pandemi," kata Yustinus dalam dalam acara Business Talk KompasTV, Selasa (7/9/2021).
Menurutnya, saat ini alih-alih untuk mengenakan pajak, pemerintah justru meningkatkan anggaran seperti infrastruktur digital, dukungan bos, dukungan pulsa dan lain-lain. Hal ini supaya kegiatan belajar mengajar dapat tetap diberikan selama pendemi Covid-19.
Yustinus menambahkan, penerapan pajak jasa pendidikan masih jauh dan akan dilakukan hati-hati juga mendengarkan masukan semua pihak. Sasarannya juga akan sangat fokus dan terbatas.
"Kita bukan ingin mengenakan perpajakannya tapi ingin mengadministrasi sekaligus mendorong dan menganfirmasi supaya lembaga pendidikan taat atau komitmen kepada misi pendidikan nirlaba tersebut," imbuhya.
Pada tahun 2021, pemerintah menganggarkan Rp550 triliun untuk sektor pendidikan. Selama ini, anggaran tersebut juga turut terpakai untuk fasilitas semua jenis pendidikan, termasuk pendidikan mewah.
Sehingga les privat berbiaya tinggi dan pendidikan gratis, sama-sama tidak kena PPN. Sehingga anggaran insentif menjadi tidak tepat sasaran karena pendidikan mewah dan pendidikan gratis sama sama bebas PPN.
"Sistem ini diharapkan bisa memenuhi rasa keadilan dengan mengurangi distorsi dan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif, sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pajak dan optimalisasi pendapatan negara" seperti dilansir dari laman bppk.kemenkeu.go.id.
Penolakan pajak jasa pendidikan
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Anggota Komisi XI dari Fraksi PDIP, Said Abdullah meminta pemerintah mengecualikan PPN atas sekolah-sekolah yang menjalankan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Misalnya, sekolah negeri, jasa pendidikan swasta dan sekolah-sekolah di bawah naungan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU).
Menurutnya, keduanya punya andil besar dalam pemertaan dunia pendidikan di Indonesia.
Said yang juga tergabung dalam Anggota Panitia Kerja (Panja) RUU KUP berharap, PPN jasa pendidikan hanya dikenakan kepada sekolah bertaraf internasional yang umumnya memungut biaya ratusan juta per tahun. Sehingga, azas ability to pay dalam perpajakan Indonesia bisa dirasakan antara sekolah negeri dan sekolah swasta internasional.
"Mayoritas sekolah internasional tak masuk dalam koridor undang-undang (UU) terkait Sisdiknas. Ini nanti tetap akan dibahas lewat Panja RUU KUP antara kami dan pemerintah," ujarnya.
Sementara itu, Pakar Ekonom Faisal Basri menolak pajak jasa pendidikan. Sebab menurutnya, pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah.
"Mau sekolah mewah, atau tidak mewah. Tetap no tax for education. Jangan karena pemerintah tidak sanggup (mengumpulkan pendapatan), maka upayanya diperluas ke private sector. Apalagi eksternalitas pendidikan tinggi," terangnya.
Ia menambahkan, untuk menambah pendapatan negara, baiknya pemerintah membidik barang-barang non esensial, seperti peningkatan tarif rokok. (Jen/zal)
Editor : Pahlevi