Optika.id - "Tanah adalah daging, air adalah darah, batu adalah tulang. Alam selayaknya manusia. Jika satu hilang, rusaklah tataran kehidupannya." (Wadon Wadas)
Baris-baris kalimat di atas menyiratkan sebuah makna bahwa manusia dan lingkungan bukan merupakan dua hal yang saling terpisah. Manusia menyemai benih, menyiangi, serta memanen hasil bumi untuk dijadikan sebagai sumber makanan.
Baca Juga: Solidaritas Akademisi Untuk Desa Wadas (Sadewa)
Batang-batang pepohonan menjadi bahan material yang digunakan manusia untuk membangun rumah-rumah sebagai tempat beristirahat maupun melindunginya dari berbagai ancaman. Sumber-sumber mata air juga berperan dalam menyuburkan tanaman serta menjadi penopang kebutuhan rumah tangga. Tanah, tumbuhan, air menjadi tiga di antara jutaan elemen yang menopang kehidupan manusia.
Begitu pula sebaliknya. Melalui aktivitasnya, manusia berperan dan bertanggung jawab atas perubahan bentang geografis maupun ekosistem di dalamnya. Bila aktivitas itu diilhami oleh upaya untuk pemenuhan kebutuhan dan merawat kehidupan, bukan semata-mata menumpuk kekayaan pribadi, akan membawa manusia terhindar dari kerusakan.
Namun, akan datangnya kerusakan di desanya menghantui kehidupan warga Wadas, Purworejo, Jawa Tengah.
Bermula dari penetapan Desa Wadas sebagai penyuplai material berupa batuan andesit untuk kebutuhan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener. Proses pengambilan batuan andesit dengan dikeruk dari dalam tanah yg menjadi ancaman besar warga, menggunakan 5300 ton dinamit yang diledakan untuk memecah batuan andesit tersebut dari dalam bumi Desa Wadas.
Pada tahun 2015, rencana pertambangan pertama kali bergulir di Wadas. Sejak itu pula warga Wadas telah melakukan berbagai upaya penolakan. Prinsip hidup berkelanjutan menjadi alasan utama penolakan mereka yaitu menjaga keutuhan desa dan merawat warisan nenek moyang dari rencana pertambangan di desanya.
Selama bergenerasi, warga hidup berkecukupan dari hasil pertanian yang mereka tanam di punggung-punggung bukit desa mereka, pun mengolah hasil bumi menjadi beragam kerajinan yang berperan menambah pemasukan ekonomi keluarga.
Pohon-pohon bambu yang tumbuh subur di lahan pertanian maupun pekarangan rumah menjadi bahan dasar pembuatan besek dan baki (anyaman bambu yang biasanya digunakan sebagai tempat makanan dan bibit tanaman). Menganyam adalah cerminan tradisi yang dijaga oleh perempuan Wadas dalam merajut kebersamaan dan perjuangan merawat alam, termasuk menjaga ketersediaan air.
Sana Ullaili, Ketua Solidaritas Perempuan Kinasih menyatakan bahwa, sebagai ibu bumi, perempuan sangat erat kaitannya dengan alam. Itu merupakan naluri alamiah mereka. Kedekatan perempuan dan alamlah yang begitu erat menjadikan mereka tampak serupa.
"Tidak berhenti di situ, 28 mata air yang tersebar di penjuru desa menjadi sumber air yang digunakan untuk menyuplai kebutuhan warga, juga bagi kebutuhan dasar perempuan (terkait fungsi reproduksi tubuh), keluarga maupun pertanian," kata Sanna pada Optika.id, Jumat (10/6/2022).
Praktis, katanya, selain tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk memperoleh pasokan air, warga juga mudah mendapatkan air bersih. Kemudahan akses air bersih itu tentu saja akan sulit dijumpai di daerah-daerah lain, khususnya di perkotaan.
"Warga Wadas tidak hanya memandang lingkungan hidupnya dalam kerangka ekonomi. Hubungan yang erat dengan lingkungan dimana mereka hidup itu telah berperan melahirkan pengetahuan, sejarah, serta budaya warga Wadas dari generasi ke generasi. Nilai-nilai yang terkandung di dalam ketiga elemen itu hingga saat ini masih hidup di dalam aktivitas keseharian warga," tuturnya.
Ke semua jejaring kehidupan itulah yang memotori perjuangan warga Wadas. Hingga hari ini, semangat perjuangan itu belumlah sirna meski gelombang kekerasan tak henti-hentinya menerjang.
"Kekerasan yang dilakukan negara dengan menurunkan ribuan aparat kepolisian pada 8 Februari 2022 tentu masih segar dalam ingatan kita. Aparat kepolisian dengan brutal menyeret, memukul, menendang warga dan kelompok rentan seperti; perempuan, ibu, anak, lansia karena mereka memperjuangkan ruang hidupnya," katanya.
Bukan pertama kalinya. Peristiwa itu juga pernah terjadi satu tahun silam, tepatnya 23 April 2021. Peristiwa itu berhasil meninggalkan luka dan trauma yang mendalam di benak warga Wadas, khususnya perempuan dan anak. Dan tanpa ada pemulihan yang semestinya menjadi tanggung jawab negara.
Menurut Dhanil Al-Ghifary Kadiv Advokasi LBH Yogyakarta, pembangunan saat ini sangat bergantung pada eksploitasi sumber daya alam. Kondisi ini kemudian melahirkan banyak sekali konflik perebutan ruang hidup. Negara seringkali berpihak pada korporasi dan menggunakan pendekatan represif dalam proses penyelesaian konflik. Di samping itu, banyak pejuang lingkungan hidup dan HAM dikriminalisasi karena mempertahankan kelestarian ruang hidup dan lingkungan.
"Namun, sekali lagi, perjuangan warga Wadas tidak pernah surut! Meskipun luka traumatik masih menganga, gelombang tak henti-hentinya menerjang, api perjuangan mereka makin hari justru semakin berkobar," tegasnya.
Semangat perjuangan mereka juga tidak berubah: menjaga kelestarian lingkungan, pengetahuan, sejarah, kebudayaan, serta sumber-sumber penghidupan yang telah terjalin dalam kehidupan mereka selama bergenerasi.
Nilai-nilai itu kembali mereka cerminkan dengan membawa kendi dalam aksi menyambut Hari LIngkungan Hidup sedunia kali ini. Kendi menjadi simbol penghormatan warga Wadas terhadap sumber air yang merupakan elemen penting bagi kehidupan dan menjadi elemen private bagi perempuan. Sumber mata air itu akan terancam rusak, bahkan hilang apabila aktivitas pertambangan berhasil masuk ke Desa Wadas.
Dalam momen aksi Lingkungan Hidup sedunia ini dapat menjadi momen untuk merefleksikan bahwa ancaman kerusakan lingkungan dan kehidupan sosial bukan persoalan yang menghantui kehidupan warga Wadas semata.
"Kita semua tahu, ancaman tersebut telah dialami oleh sebagian besar warga di berbagai penjur wilayah. Proyek infrastruktur, ekspansi industri ekstraktif, industri perkebunan, properti, maupun proses urbanisasi, telah menjadi mesin yang menghancurkan pemukiman, hutan, ladang, sumber mata air, serta keragaman hayati," tuturnya.
Baca Juga: Sidang ke-9 Warga Wadas Lawan Dirjen Kementerian ESDM, Warga Hadirkan 2 Orang Saksi
Viky Arthiando, WALHI Yogyakarta menambahkan, bahwa perampasan tanah dan pelanggaran hak atas lingkungan hidup, selalu disertai dengan pelanggaran HAM seperti yang dialami warga Wadas. Penambangan yang akan dilakukan akan turut merampas hak lingkungan hidup yang layak dan sehat. Sehingga tidak ada bedanya dengan penyingkiran dan pemusnahan manusia secara perlahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Krisis iklim dalam rupa pemanasan suhu global, krisis air bersih, naiknya permukaan air laut, hilangnnya beragam spesies hewan, menjadi beberapa di antara dampak dari semakin luasnya kerusakan lingkungan. Banjir rob yang menenggelamkan sejumlah wilayah di kawasan pesisir utara Jawa Tengah beberapa waktu silam, misalnya, menjadi cermin nyata dari krisis iklim tersebut," tukasnya.
Nahasnya, katanya, mesin-mesin itu tidak digerakan untuk memenuhi kebutuhan warga dan merawat lingkungan. Melainkan untuk memuaskan kepentingan segelintir orang.
"Tak jarang, warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya dari mesin-mesin perusakan itu mengalami kriminalisasi, teror maupun intimidasi," katanya.
Artinya, tidak semua manusia berperan dalam melakukan perusakan lingkungan. Manusia yang memiliki kekuasaan modal dan politik lah yang mestinya bertanggungjawab atas segala kerusakan yang hadir di muka bumi ini.
"Di samping itu, lingkungan (begitu pula manusia) dalam pandangan mereka semata-mata dilihat sebagai instrumen untuk memupuk kekayaan (ekonomi). Sementara, pada kutub yang lain, rusaknya kehidupan sosial dan lingkungan mesti ditanggung oleh sebagian besar orang," jelasnya.
Situasi tersebut adalah potret adanya relasi kuasa yang timpang antara manusia dengan alam. Air, tanah, udara, pepohonan tak lebih sebagai komoditas segelintir orang. Bumi yang merupakan organisme dan makhluk yang harusnya dihormati nyatanya tak lebih objek pembangunan.
Semangat yang mendasari perjuangan warga Wadas mungkin dapat menjadi refleksi bersama dalam menyambut Hari Lingkungan Hidup Sedunia kali ini. Warga Wadas tidak memandang lingkungan sebagai komoditas ekonomi untuk memupuk kekayaan pribadi.
Lingkungan dalam pandangan mereka ialah sumber kehidupan, pengetahuan, sejarah, dan kebudayaan.
Warga Wadas berkeyakinan bahwa rencana pertambangan di Desa Wadas adalah tindakan cacat hukum. Dalih atas nama pembangunan untuk kepentingan umum tidak bisa dibenarkan. Sebagaimana dalam ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum, tidak ada satu klausul pun yang menyebutkan bahwa pertambangan dapat dikualifikasikan sebagai pembangunan untuk kepentingan umum;
Karena itu, dalam aksi ini, Walhi Yogyakarta beserta LBH Yogyakarta menuntut:
Baca Juga: Gugatan Warga Desa Wadas terhadap Dirjen ESDM Masuk Tahap Pembuktian
1. Hentikan rencana pertambangan di Desa Wadas;
2. Hentikan kriminalisasi, intimidasi, dan represifitas yang dilakukan oleh aparat negara;
3. Cabut Izin Penetapan Lokasi (IPL) Pertambangan di Desa Wadas;
4. Hentikan segala bentuk kerusakan dan eksploitasi sumber daya alam;
5. Hentikan segala bentuk teror psikologis pelemahan perjuangan warga dalam mempertahankan tanah;
6. Hentikan manipulasi hukum yang membodohkan warga Wadas;
"Menjaga hubungan baik dengan Tuhan, menjaga hubungan baik dengan Manusia, serta menjaga hubungan baik dengan Alam," tutup LBH Yogyakarta dalam rilisnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi