[caption id="attachment_34017" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Nanang Purwono[/caption]
Optika.id - Bung Karno dalam kesempatan berpidato pernah memekikkan kalimat Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.
Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Sepuluh Pemuda saja. Bagaimana dengan sepuluh Pemuda ia bisa mengguncang dunia? Kiranya itulah kalimat semangat, yang dapat menuntun generasi muda (pemuda-pemudi) untuk merenung dan dan berbuat.
Ucapan Bung Karno, sapaan Presiden Republik Indonesia Pertama Soekarno, ini bukan isapan jempol. Ucapan itu sudah menjadi kenyataan bahwa ada memang ada pemuda-pemudi Indonesia yang sudah mengguncang dunia.
Misalnya ada sutradara muda usia 27 tahun asal Blitar Jawa Timur, Livi Zheng, yang mengguncang perfilman Amerika Serikat Hollywood. Contoh lain adalah Nadiem Makarim sebelum menjadi Menteri Pendidikan, ia mengguncang dunia di bidang start up online, pendiri Go-Jek. Masih dari Jawa Timur, ada Gamal Ali Bin Said, 27 tahun asal Malang, yang berhasil mencuri perhatian Pangeran Charles Inggris kala itu atas inovasi Asuransi Bank Sampahnya.
Dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, mereka adalah segelintir warga negara. Meski hanya segelintir, tapi mereka sudah mampu menggelontorkan kemampuannya sehingga dunia terguncang.
Jumlah sedikit, misal 10 Pemuda yang diharapkan Bunga Karno, tidak jadi masalah asalkan berkuitas dan berkapasitas. Jika direnungkan dengan seksama apa isi pidato Bung Karno itu, maka sejatinya jumlah demografi yang besar saja tidaklah cukup untuk bisa membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju dan diperhitungkan di kancah dunia. Bung Karno tidak perlu menunggu bonus demografi untuk bisa memberikan kehormatan yang layak bagi bangsa dan negaranya.
Bung Karno hanya membutuhkan pemuda-pemudi unggul yang memiliki kualitas dan visi yang besar dalam menatap dunia. Bagaimanapun, dengan demografi pemuda pemudi aktif yang besar sesungguhnya juga merupakan peluang (opportunity) yang sangat strategis bagi sebuah negara untuk dapat melakukan percepatan pembangunan ekonomi dengan dukungan ketersediaan sumber daya manusia usia produktif dalam jumlah yang cukup signifikan.
Ketika Bung Karno hanya membutuhkan 10 Pemuda saja, berarti ada pesan penting yang ia sampaikan kepada bangsa ini. Pesan penting itu, ciptakanlah Pemuda pemudi yang berkualitas, berkapasitas, tangguh dan bervisi besar dalam menatap dunia. Apalagi dalam percaturan dunia internasional seperti sekarang, pemuda Indonesia harus berwawasan global agar bisa menjadi pemain dalam percaturan itu. Bukan penonton.
Indonesia harus bisa menjadi jembatan dunia. Secara geografis, keberadaan Indonesia berada pada simpul persimpangan dua benua dan dua samudra. Maka sangat sayang, jika Indonesia tidak bisa mengambil peran strategis dalam percaturan dunia internasional itu.
Seminar Jejak Soekarno
Dalam seminar Jejak Soekarno, yang digelar oleh Pemerintah Kota Surabaya di ruang auditorium Museum Tugu Pahlawan Surabaya pada Sabtu, 27 Agustus 2022, diungkap pesan pesan Soekarno yang tersembunyi pada simbol-simbol di Kota Surabaya.
Simbol-simbol itu, salah satunya adalah Monumen Tugu Pahlawan. Selama ini, kebanyakan orang, warga negara Indonesia, mengartikan bahwa monumen Tugu Pahlawan adalah tetenger peristiwa heroik pejuang Surabaya pada Perang 10 November 1945.
Pemaknaan itu tidak salah. Secara fisik, bangunan monumen memang mengartikan peristiwa perang heroik yang pecah pada tanggal 10 November 1945. Misalnya angka 10 (tanggal) disimbolkan dengan jumlah lekukan (kurva) pada tubuh monumen. Angka 11 (bulan) diekspresikan melalui jumlah sap yang menyusun batang monumen. Angka 19 (tahun) diwaki oleh jumlah gambar gunungan yang menjadi ikat pada dasar batang monumen. Kemudian angka 45 (tahun) adalah ukuran tinggi monumen. Yaitu 45 yards.
Penanggalan 10 November 1945 ini adalah upaya bagaimana Presiden Soekarno mengingat para penerus bangsa agar tidak melupakan sejarah, ingat pada peristiwa sejarah pada 10 November 1945. Penanggalan itu adalah bentuk Refleksi agar kita senantiasa ingat perjuangan mereka. Jangan sekali sekali melupakan sejarah (Jas Merah).
Selain sebagai refleksi, Monumen Tugu Pahlawan ini juga sekaligus sebagai simbol proyeksi bangsa Indonesia. Nilai proyeksi inilah yang tidak diketahui publik. Soekarno, melalui Monumen Tugu Pahlawan, sesungguhnya mengajak generasi muda untuk menjadi manusia manusia tangguh guna meraih cita cita bangsa yang sekaligus harapan dari para pendahulu bangsa.
Proyeksi Cita-Cita Bangsa
Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Simbol proyeksi bangsa ini terpampang pada bagian pangkal Tugu yang berbentuk sabuk melinggari Tugu. Sabuk ini wujudnya seperti untaian gunungan besar dan kecil berwarna keemasan. Pada gunungan-gunungan ukuran besar terdapat relief, yang menyimpan makna upaya meraih cita-cita bangsa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
[caption id="attachment_38990" align="aligncenter" width="788"] Pesan masa depan Indonesia dari Soekarno itu ada di Tugu Pahlawan.[/caption]
Reliefnya menggambarkan rahim perempuan yang melambangkan Padmamula atau Yoni. Di atas rahim terdapat gambar alat vital laki laki, yang melambangkan Stamba atau Lingga. Pada bagian atas lingga, terlahir pusaka milik Krisna yang bernama Cakra. Di atas pusaka Cakra ada pusaka Dewa Wishnu yang bernama Trisula. Pusaka Cakra dan Trisula menggambarkan putera putera bangsa yang berkualitas, berkapasitas, tangguh dan bervisi besar dalam menatap dunia.
Pesan luhur dari Soekarno ini disampaikan oleh Nanang Purwono (penulis) yang menjadi pemateri dalam seminar Jejak Soekarno di Surabaya yang diselenggarakan oleh pemerintah kota Surabaya di auditorium Museum Sepuluh November pada 27 Agustus 2022 lalu.
Dalam seminar itu dihadirkan tiga pemateri termasuk penulis. Dua pemateri lainnya adalah Prof Dr. Purnawan Basundoro, sejarawan yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya. Dalam kesempatan itu Profesor Purnawan membeberkan peran Soekarno bagi bangsa ini, khususnya bagaimana Ia mendapat tempaan sehingga memiliki visi yang besar bagi bangsanya.
Surabaya, bagi Soekarno, adalah dapur kebangsaan. Ia yang di usia muda di Surabaya, yang sebenarnya mempunyai tugas belajar dengan bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS), tapi pada akhirnya ia mendapat ilmu kebangsaan di luar sekolah. Selama ia sekolah di HBS, Soekarno indekost di rumah Pak Tjokroaminoto, pemimpin Sjarikat Islam, yang kala itu anggotanya sudah mencapai 2,5 juta. Di rumah Pak Tjokroaminoto banyak dan sering didatangi para tokoh bangsa dengan segala ideologi. Di sanalah Soekarno mendengar dan akhirnya terlibat dalam diskusi diskusi kebangsaan," jabar Prof Purnawan Basundoro.
[caption id="attachment_38988" align="aligncenter" width="978"] Prof Purnawan Basundoro berkisah tentang kiprah Soekarno di Surabaya.[/caption]
Dari Surabaya, jiwa dan semangat nasionalisme Soekarno tumbuh. Soekarno memang tidak lama di Surabaya. Di usia balita (bayi lima tahun), Ia hanya tinggal di Surabaya selama 6 bulan yang terhitung sejak Ia dilahirkan pada 6 Juni 1901 hingga Desember 1901. Selanjutnya berpindah pindah mengikuti bapaknya Raden Soekeni Sosrodihardjo di beberapa kota seperti Jombang, Mojokerto, Tulungagung dan Sidoarjo. Soekarno muda kembali lagi ke Surabaya ketika bersekolah di HBS mulai 1916-1921. Soekarno remaja inilah yang menghantarkan menjadi Soekarno dewasa sebagai bapak bangsa, proklamator.
Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Jadi Soekarno memiliki hubungan erat dengan Surabaya," pungkas Prof Purnawan Basundoro menyudahi presentasinya.
Sementara itu, pemateri lainnya adalah Kukuh Yudha Karnanta, MA. Ia yang kebagian mengawali seminar itu menyajikan kisah Raden Soekeni Sosrodihardjo. Ini adalah kisah dimana Soekarno belum ada, belum dilahirkan.
Dalam seminar itu Kukuh, yang juga dosen di FIB Unair itu, memaparkan hasil penelusuran nya di Singaraja, Bali untuk mengangkat alur perjalanan karir Raden Soekeni sebagai seorang guru. Dari hasil temuan itu, yaitu berupa surat tugas kepindahan Raden Soekeni dari Singaraja, Bali ke Surabaya, maka diketahui bahwa Raden Soekeni setelah bertugas di Bali lalu berpindah ke Surabaya.
Waktu itu Raden Soekeni masih memiliki anak satu, bernama Soekarmini, yang tidak lain adalah kakak Soekarno. Keluarga Raden Soekeni berpindah ke Surabaya pada 1898. Selama tinggal di Surabaya Raden Soekeni mengajar di Inlandsche School Soeloeng, yang selanjutnya dikenal dengan nama SD Sulung. Ketika Soekeni di Surabaya, Soekarno dilahirkan, tepatnya pada 6 Juni 1906.
Meski Soekarno tidak lama tinggal di Surabaya, tapi sebagai arek Surabaya Soekarno seolah berdiam dan mendiami Surabaya hingga saat ini. Karena di-dan-dari Surabaya inilah, semangatnya masih menyala bagai api yang berkobar. Dari Surabaya, Soekarno berpesan kepada Indonesia agar terlahir pemuda pemudi tangguh, berkualitas, berkapasitas serta visionir bagai pusaka pusaka untuk meraih cita cita.
Penulis: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi