[caption id="attachment_34017" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Nanang Purwono[/caption]
Optika.id - Sebuah paguyuban budaya di kota Surabaya tengah dipersiapkan untuk hadir sebagai garda dan tanggul budaya Nusantara, utamanya budaya Jawa. Bukan tidak mungkin bahwa derasnya arus budaya asing yang cepat atau lambat akan menenggelamkan budaya dan kearifan lokal.
Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Tanda tanda tenggelamnya budaya dan kearifan lokal ini sudah nampak di depan mata, mulai gaya hidup, pola pikir, pola rasa dan pola pola (way of life) lainnya yang tidak sesuai dengan kearifan lokal dan budaya lokal. Gejala gejala itu sebagai bukti dari sebuah ramalan yang berbunyi kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange sebagaimana telah diprediksi oleh Jaya Baya. Kali ilang kedunge (sungai hilang kedalamanya dan menjadi dangkal) dan pasar ilang kumandange (pasar tidak bergemuruh lagi karena sekarang transaksi jual beli hampir tidak ada lagi karena sudah dibandrol dengan harga pas di supermarket-supermarket.
Pesan tersebut di atas adalah gambaran bahwa kearifan lokal sudah mulai terkikis. Karenanya diperlukan tanggul tanggul budaya atau benteng benteng budaya demi penyelamatan budaya itu sendiri.
Sebuah paguyuban baru di Surabaya yang tengah disiapkan, Paguyuban Kusuma Handrawina (PKH) Surabaya, sempat bertemu dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Paku Buwono XIII di ndalem Kraton Kasunanan Surakarta Hadinibgrat pada 28 Agustus 2022 lalu.
Dari hasil pertemuan dengan GKR PB.XIII, ditemukan 5 Tata yang akan menjadi koridor dari pergerakan benteng budaya PKH Surabaya. Yakni: Tata Rasa, tata pikir, tata krama, tata bahasa dan tata busana. Ke lima tata yang selanjutnya dirangkum menjadi Tata Panca Karsa ini akan dipakai sebagai dasar dan arah berkegiatan. Sehingga jadilah Tata Panca Karsa Paguyuban Kusuma Handrawina Kota Surabaya.
[caption id="attachment_39874" align="aligncenter" width="982"] Pergelaran tradisi wayangan di Keraton Surakarta.[/caption]
Masing masing Karsa yang memiliki nilai universal ini dijabarkan oleh budayawan Surabaya Christ Wibosono dalam tulisan berseri.
Tata Rasa Emotion Quotients (EQ)
Steiner (1997) menjelaskan pengertian kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dapat mengerti emosi diri sendiri terekspresikan untuk meningkatkan maksimal etis sebagai kekuatan pribadi.
Senada dengan itu, Davis, Stankov dan Robert (1998) mengungkapkan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk memantau dan mengendalikan perasaannya sendiri dan orang lain, dan menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memadu pikiran dan tindakan.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Patton (1998) mengemukakan kecerdasam emosi sebagai kemampuan untuk mengetahui emosi secara efektif guna mencapai tujuan, dan membangun hubungan yang produktif dan dapat meraih keberhasilan.
Merupakan kemampuan seseorang untuk mengenali, mengerti, mengendalikan, dan menata emosi serta perasaan, baik itu perasaan sendiri maupun orang lain. (Daniel Goleman, 1999)
Sementara itu Bar-On (2000) menyebutkan bahwa kecercasan emosi adalah suatu rangkaian emosi, pengetahuan emosi dan kemampuan-kemampuan yang mempengaruhi kemampuan keseluruhan individu untuk mengatasi masalah tuntutan lingkungan secara efektif.
Dari beberapa pengertian tersebut ada kecenderungan arti bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, kemampuan mengolah emosi dengan baik pada diri sendiri dan pada orang lain.
Dalam hal menata emosi, orang Jawa memang sudah sangat piawai. Ada Quote yang mendarah daging pada orang Jawa narima ing pandum, dan sing sabar jembar wekasane, diringkas menjadi sabar lan narima dan beberapa kalimat bijak lainnya. Menandakan bahwa dalam kesadaran ke-Jawa-annya orang Jawa sudah mendapat injeksi batiniah sejak lahir. Garis tegas dadiya priyayi sing utama sejak usia kanak-kanak merupakan doktrin kehidupan yang sudah mengalir dalam darahnya. Kata utama, didalamnya sudah mencakup kebaikan atas banyak hal secara menyeluruh, juga termasuk pengendalian diri (self control), tata rasa.
Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang sangat menjunjung nilai-nilai moral dalam praktek kehidupan sehari-hari.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tidak saja tuntutan untuk beretika terhadap Tuhan, tetapi juga tuntutan beretika kepada manusia, khususnya para leluhur dan orang-orang yang dituakan.
Bukan hanya itu, etika moral masyarakat Jawa juga mengatur pada tindak-tanduk perilaku masyarakatnya dalam merespon keutamaan-keutamaan moral tercermin pada ungkapan sepi ing pamrih, rawe ing gawe. Maksudnya manusia harus bersikap ikhlas, sabar dan mau mendahulukan kepentingan publik da atas kepentingan pribadinya.
[caption id="attachment_39875" align="aligncenter" width="788"] GKR PB III (bermasker) yang didampingi kerabat keraton (kiri kanannya) menerima pegiat budaya Surabaya: Christ Wibisono (paling kiri), Nanang Purwono (dua dari kanan) dan Wulan Handayani (paling kanan) di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat (28 Agustus 2022).[/caption]
Tata hubungan itulah yang oleh leluhur kita juga disebut sebagai ajaran Tri Satya Brata atau Tiga Ikrar Kesetiaan Pengendalian Diri:
1.Rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa, yang berarti bahwa kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman rasa.
2. Darmaning manungsa mahanani rahayuning negara, yang berarti bahwa tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara.
3. Rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane, yang berarti bahwa keselamatan manusia itu tergantung pada kemanusiaannya sendiri.
Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Tiga ikrar Kesetiaan Pengendalian Diri yang hendaknya menjadi pedoman hidup bagi kita agar tercipta keselaran dunia dan alam semesta. Dengan pedoman itulah diharapan agar semua penghuni dunia merasa aman, nyaman, damai, tenteram dan bahagia lahir-batin, sekaligus selamat dunia-akhirat.
Ajaran itu hendaknya menjadi rahmat bagi semesta, karena leluhur kira pun sudah meyakini bahwa segenap tubuh kita, baik jasmani maupun rohani, raga dan jiwa saling berhubugan dan berkaiitan secara seimbang dengan energi alam semesta. Membawa energi hawa dan nafsu yang ada di dalam jiwa kita, dan keduanya diyakini tak dapat dipisahkan satu sama lain selama manusia masih hidup di dunia.
Itulah falsafah Jawa yang tak lekang oleh waktu, bisa ditempatkan di segala jaman, dan oleh sebagian orang disebut sebagai sustainable development, sebagai keselarasan Vertikal dan Horisontal yang tak terputus.
(BERSAMBUNG)
Penulis: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi