Optika.id - Beredar wacana pemerintah akan mengkonversi LPG (Liquefied Petroleum Gas) 3 kilogram (kg) ke kompor listrik 1.000 watt. Kementerian ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) menyebut wacana ini sudah dilakukan uji coba.
Salah seorang ibu rumah tangga (IRT) di Surabaya bernama Siti Qomariyah memberikan responsnya terkait wacana tersebut. Dirinya menakutkan hal tersebut akan makin memberatkan rakyat kecil seperti dirinya. Dia takut kompor listrik sebesar 1000 watt itu tak kuat di rumahnya yang listriknya hanya 900 VA.
"Listrik di rumah saya cuman 900 VA. Kira-kira njegglek (mati) nggak itu mas? Kalau LPG melon (LPG 3 kg) kan enak mas murah juga cuman Rp 18 ribu. Uang berapapun saat seperti ini sangat berarti bagi saya mas, sudah BBM naik, sembako juga naik. Jangan bikin kebijakan yang aneh-aneh lah mas, tambah soro ngkuk (makin susah nanti)," tutur wanita berusia 53 tahun ini pada Optika.id, Minggu (18/9/2022) malam.
Hal berbeda dikatakan Umi Khoiriyah, warga Kabupaten Mojokerto ini setuju dengan wacana Pemerintah tersebut.
"Untuk saya sendiri sih setuju mas. Mungkin lebih praktis. Negara maju sudah menerapkan itu juga kan, seperti Jepang dan Korea gawe (pakai) listrik kabeh loh. Nggak repot mas ganti-ganti tabung," tutur wanita beranak satu ini.
Kurniadi Saputra, suami dari Umi juga mendukung langkah pemerintah mengkonversi LPG 3 kg ke kompor listrik.
"Saya kalau kerja luar kota kadang-kadang kasian istri saya. Kalau kehabisan gas. Harus ganti, apalagi waktu tengah malam. Nggak mungkin juga kan ada yang ngirim. Kalau subuh-subuh butuh urgent masak contohnya buat sahur. Terus kehabisan gas? Gimana coba? Kalau listrik kan enak mas," tuturnya pada Optika.id.
Apakah Pemerintah Siap?
"Tetapi juga harus dipastikan dulu mas. Pemerintah siap nggak? Dengan kondisi masyarakat yang ada si kaya dan si miskin. Apakah yang si kurang mampu ini mendapatkan subsidi apa nggak? Kita kan belum tahu. Kan bisa saja subsidi tabung gas 3kg dialihkan ke listrik. Kalau ditanya saya setuju tidak? Ya jelas setuju karena masyarakat negara maju sudah pakai listrik. Sebagai rakyat jelas saya juga pengen maju dong, tapi balik lagi kesiapan pemerintah seperti apa? Mekanismenya seperti apa? Jangan ujug-ujug (tiba-tiba) tanpa melihat kondisi masyarakat terus keputusannya dipukul rata," kata Umi yang juga buka usaha catering makanan ini.
"Jadi menurut saya pribadi yang dikritisi bukan mengalihkan ke kompor listriknya mas, tapi kesiapan pemerintah, sudah siap tidak dengan kondisi sekarang, apalagi dengan kompor tenaga listrik 1000 watt. Saya yakin rumah dengan golongan kurang mampu kesulitan untuk membayar, boro-boro bayar mas, kompornya nyala saja belum tentu bisa kalau kapasitas dayanya cuma 900 VA," tambah ibu rumah tangga berusia 29 tahun ini.
Hal senada dikatakan Linda seorang ibu rumah tangga lainnya. Warga Sidoarjo ini mengaku setuju bila nantinya LPG 3 kg dikonversi ke kompor listrik.
"Kemarin sih ada edaran dari RT yang meminta warganya mendaftar dengan nge-list nama dan alamat melalui WAG (WhatsApp Grup) warga soal pemasangan kompor listrik induksi dari RT. Kalau menurut saya kalau pindah ke listrik tambah enak lebih murah dan kalo habis nggak perlu lepas-pasang ribet nunggu pak bakul (penjual) gas yang masangin," katanya pada Optika.id.
"Lebih murah juga kalau pakai kompor listrik per bulan mungkin sekitar Rp 30 ribu, denger-denger dari warga perumahan di Tropodo yang sudah beralih ke kompor listrik tahun lalu, tapi belum tahu juga watt-nya, moga aja nggak terlalu besar," imbuhnya.
Tambah Banyak Masalah
Sementara itu, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengungkapkan rencana konversi dari LPG ke kompor induksi akan menambah banyak masalah.
"Pertama dari daya listrik, kelompok bawah harus migrasi paling sedikit ke daya 1200VA, artinya biaya pemakaian listrik pasti akan naik, jauh lebih besar dari biaya LPG 3 kg," kata Anthony dalam keterangannya, Minggu (18/9/2022)
Selanjutnya kompor gas dan peralatan masak yang lama banyak yang tidak bisa dipakai lagi, masyarakat harus beli peralatan masak yang sesuai dengan kompor listrik induksi.
Anthony menduga kebijakan ini ditempuh untuk membantu permasalahan keuangan PLN, agar pemakaian konsumsi listrik meningkat, karena saat ini PLN mengalami oversupply.
"Hal ini berarti sama saja rakyat miskin, rakyat kelompok bawah, diminta menambal defisit PLN. Permasalahan PLN seharusnya ada di hulu, atau pembangkit, ini yang harus diefisienkan, bukan malah mengalihkan permasalahan ini ke rakyat miskin," jelasnya.
Menurutnya, gas LPG 3 kg juga masih dipakai oleh banyak pedagang kecil, mereka tidak mungkin pakai kompor induksi.
Kompor Listrik Untuk Kelas Atas
Direktur Riset CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan penggunaan kompor listrik lebih tepat ditunjukkan kepada kalangan menengah atas, karena daya listrik yang dibutuhkan relatif besar.
"Coba dicek saja, jangan sampai konsumsi kompor listrik bisa lebih boros dari LPG. Ujungnya tergantung pemakaian per rumah tangga dan UMKM," tukasnya.
Menurut dia, kecuali pemerintah melakukan diskon secara signifikan tarif listrik pada kelompok rentan yang menggunakan kompor listrik.
"Tapi ini akan butuh survei yang detail, berapa banyak kelompok rentan beralih ke kompor listrik, dan berapa subsidi listrik yang ideal per rumah tangga," jelasnya.
Menurutnya, di sisi lain kritik terhadap penggunaan kompor listrik adalah inkonsistensi pada sumber energi primer listrik yang sebenarnya sama-sama berasal dari fosil yakni 70% gabungan BBM dan Batubara.
Meski tujuan akhirnya mengurangi beban subsidi LPG 3kg atau ketergantungan pada fosil, tapi di sisi energi primer PLN harus dengan signifikan mengurangi pembangkit batubara dan BBM.
"Kalau dibarengi dengan upaya pensiun dini PLTU, dan stop bangun PLTU baru misalnya, itu langkah yang bagus. Atau PLN berkomitmen semua rumah tangga yang menggunakan kompor listrik akan dialiri listrik dari EBT," ujarnya.
Kurang Tepat Untuk Masyarakat Miskin
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov menilai jika program konversi yang menyasar masyarakat miskin kurang tepat lantaran kebutuhan daya listrik sangat besar untuk penggunaan kompor induksi.
"Masih banyak hal yang perlu dipersiapkan kalau program ini menyasar ke masyarakat miskin. Ini kan kebutuhannya daya listrik menggunakan kompor listrik dua tungku minimal 2.200 VA," katanya, Minggu (18/9/2022)
PLN mengeklaim jika program kompor listrik ini menggunakan jaringan listrik (Miniature Circuit Breaker/MCB) yang berbeda dengan jaringan eksisting, sehingga tidak akan membebani terutama bagi pelanggan 450 VA.
Nah pertanyaannya ketika mereka dapat jaringan baru untuk bisa mendukung pemanfaatan kompor induksi, biaya listriknya berapa per kWh (kilowatt per hour), apakah lebih mahal yang mereka gunakan saat ini," jelas Abra.
Abra menambahkan, PLN juga mengeklaim jika pengeluaran memasak secara bulanan memakai kompor listrik bisa lebih hemat dari menggunakan LPG 3 kg. Namun, dia menilai jika penghematan juga harus dilihat dari pandangan makroekonomi.
Dia menjelaskan, program ini memang ditujukan sebagai pengalihan subsidi LPG 3 kg kepada listrik. Namun di sisi lain, pemerintah harus bisa memastikan pengurangan subsidi LPG 3 kg bisa lebih besar dari anggaran program konversi.
"Kalau satu ditambah berarti satu harusnya berkurang, itu harus dihitung jangan sampai anggaran dikeluarkan untuk program konversi tapi subsidi LPG masih tinggi, jadi tambahan beban untuk APBN. Mestinya harus sinkron antara satu kebijakan ke kebijakan lain," papar Abra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Program Tak Efektif
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebutkan program konversi kompor listrik PLN bisa mengurangi beban impor LPG, karena sebagian besar kebutuhan LPG nasional masih impor di tengah harganya yang terus melonjak
Meski begitu, Mamit menilai jika program ini tidak akan efektif menjangkau masyarakat di semua daerah karena rasio elektrifikasi di Indonesia masih belum mencapai 100 persen.
"Untuk masyarakat miskin juga harus ada program tambah daya gratis dan dengan tetap tarif subsidi. Hal ini akan mendorong masyarakat miskin mau dikonversi ke kompor induksi. Kompor dan peralatannya juga harus diberikan secara gratis," tukasnya.
Ekonom LPEM FEB Universitas Indonesia Teuku Riefky mengatakan, konversi ke kompor listrik tentu akan memberi ruang penghematan APBN dari sisi subsidi. Namun, ia belum bisa dapat menghitung penghematan uang negara dari kebijakan ini.
Alokasi subsidi untuk LPG 3 kg mencapai Rp 134,8 triliun atau seperempat dari total subsidi dan kompensasi energi tahun ini. Anggaranya bahkan lebih besar dibandingkan alokasi untuk subsidi dan kompensasi listrik yang mencapai Rp 100 triliun.
Riefky menyebut, bukan tidak mungkin pemerintah justru menanggung beban tambahan selama proses transisi karena harus tetap memberi subsidi di samping membiayai pengadaan kompor listrik.
"Karena tidak semua masyarakat beralih dari LPG 3 Kg ke kompor listrik, degree of substitution enggak besar. Walaupun subsidinya dialihkan belum tentu membuat masyarakat langsung beralih karena berbagai faktor, salah satunya karena kecenderungan pemakaian," katanya.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi menilai konversi ke kompor listrik menjadi langkah yang efektif menghemat APBN. Mayoritas kebutuhan bahan untuk LPG subsidi Indonesia saat ini perlu diimpor. Hal ini membuat besar kecilnya subsidi sangat terpengaruh kondisi pasar global.
Di sisi lain, konversi kompor ini bisa mendorong pemerintah fokus pada pemberian subsidi listrik yang notabennya lebih tepat sasaran dibandingkan susbdi LPG. Masyarakat miskin yang sebelumnya menggunakan daya 450 VA bisa dinaikan ke 900 VA seiring akan dibagikannya kompor listrik. Meski demikian, subsidi tetap diberikan kepada mereka yang daya listriknya dinaikkan menjadi 900 VA.
"LPG itu hampir 80hanya impor. Ini jelas menjadi pembengkakan APBN. Belum lagi subsidinya tidak tepat sasaran, Sementara kalau pindah ke kompor listrik yang disubsidi adalah listrik, itu cenderung sudah tepat sasaran," ujarnya. Data Susenas 2021 menunjukkan subsidi listrik termasuk kategori progresif dibandingkan LPG maupun Solar yang cenderung regresif. Artinya, subsidi listrik yang diberikan lebih tepat sasaran. Rumah tangga miskin terutama 40% terbawah menikmati hampir separuh dari subsidi listrik, berbeda dengan LPG yang mayoritas justru dinikmati kelompok mampu.
Kurangi Peredaran LPG 3 kg
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah akan mengurangi peredaran LPG 3 kg yang selama ini masuk dalam barang subsidi. Pengurangan jumlah tabung gas melon akan dilakukan secara bertahap.
Arifin menuturkan, saat ini pemerintah bersama PT PLN (Persero) sedang menggencarkan program konversi kompor gas menjadi kompor listrik atau induksi untuk rumah tangga. Konversi ini jadi salah satu upaya mengurangi subsidi LPG 3 kilogram.
Walaupun begitu, Arifin belum bisa memastikan apakah LPG 3 kg akan dihapus seiring banyaknya produk alternatif. Dia hanya berharap beban subsidi LPG 3 kg yang mayoritas masih diimpor bisa terus ditekan tahun demi tahun.
"Diminimalkan, tapi ini kan it takes time (butuh) beberapa tahun. Mau nggak kita impor barang luar terus? Kan nggak mau," kata Arifin di kantor Kementerian ESDM, Jumat (16/9/2022).
Selain konversi ke kompor listrik, pemerintah juga mengandalkan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) menjadi produk substitusi impor LPG. Menurut Arifin, proyek tersebut juga bisa mengurangi beban keuangan negara.
Meski begitu, proyek DME baru saja mulai di tahun ini sehingga belum berproduksi. Sementara itu, saat ini pemerintah masih mengandalkan proyek jaringan gas (jargas) rumah tangga untuk mengurangi LPG 3 kg.
"Tapi jaringan gas juga ke depannya ini sustain apa enggak sumbernya (batu bara)? Untuk itu yang paling gampang kan listrik, matahari kan gratis," katanya
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan jika saat ini sedang dilakukan uji coba terkait hal tersebut.
Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengungkapkan peralihan itu dilakukan uji coba di tiga kota.
"Saat ini masih uji coba di 3 kota, masih dipelajari respons masyarakat serta juga aspek teknis dari kompor induksi tersebut," katanya seperti dilansir detik, Minggu (18/9/2022).
Dia mengungkapkan proses uji coba ini juga akan melihat kapasitas kompor yang tepat. Sehingga masyarakat akan lebih nyaman dalam memasak.
Dadan juga menjelaskan saat ini yang sedang diuji coba adalah kompor listrik 2 tungku dengan kapasitas 1000 watt. "Uji coba ini dilakukan oleh PLN, jadi dibuatkan jaringan khusus di rumah untuk kompor," jelas dia.
Sebelumnya, pada bulan Juli 2022 Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan program konversi kompor ini dilakukan PLN sebagai salah satu upaya mengurangi beban negara atas impor LPG yang tiap tahun naik. Apalagi, lanjutnya, selama ini khususnya LPG 3 kilogram merupakan barang subsidi yang masih dijual bebas sehingga tidak tepat sasaran dan menjadi beban APBN.
"Melalui konversi kompor ini langsung bisa menyelesaikan tiga persoalan sekaligus. Mengurangi ketergantungan impor LPG dengan energi berbasis domestik, yaitu listrik dan juga mengurangi beban APBN yang selama ini untuk mensubsidi LPG ini," paparnya.
Selain itu, Darmawan menambahkan langkah konversi kompor ini sejalan dengan misi KTT G20, yaitu transisi energi. Dengan menggunakan kompor induksi maka emisi gas buang yang dihasilkan dari kompor induksi ini jauh lebih rendah dibandingkan kompor LPG.
"Proyek migrasi tersebut akan dimulai di Solo dan Bali. Untuk itu kami melakukan 2 lokasi uji klinis yaitu di Solo 1.000 kompor induksi dan 1.000 lagi di Bali," katanya.
Dia mengatakan program konversi kompor listrik untuk rumah tangga bisa menghemat APBN hingga Rp 16,8 triliun untuk 15,3 juta keluarga penerima manfaat (KPM) per tahun.
Darmawan menjelaskan, angka tersebut didapat dari proses uji klinis yang sedang dilakukan PLN mulai tahun ini hingga tahun 2025. Adapun tahun ini, program konversi kompor induksi ditargetkan menyasar 300.000 KPM.
"Saving ini dari fakta bahwa per kilogram LPG, biaya keekonomiannya adalah sekitar Rp 20.000 sedangkan per kilogram listrik ekuivalen biaya keekonomiannya adalah sekitar Rp 11.300 per kilogram listrik ekuivalen," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi