[caption id="attachment_34017" align="aligncenter" width="150"] Oleh: Nanang Purwono[/caption]
Optika.id - Tidak kurang dari 160 bangunan cagar budaya (BCB) di kota Surabaya. Dari semuanya, ada yang dalam kondisi bagus dan terawat. Ada pula yang memprihatinkan. Semuanya, rata rata telah beralih fungsi dan kememilikan. Hanya ada sedikit, dapat dihitung jari dari satu tangan, yang masih asli mulai dari fungsi, kepemilikan, koleksi dan arsitekturnya. Yaitu BCB Rumah Abu Han di jalan Karet Surabaya.
Baca Juga: Peringatan 100 Tahun Perjalanan HP Berlage ke Surabaya
Rumah Abu Han di kawasan Wisata Pecinan Surabaya ini bak seorang primadona. Banyak orang tertarik untuk memasukinya dan melihatnya dari dekat dan dari dalam. Apalagi sejak Kya Kya Kembang Jepun terlahir lagi (Kya Kya Reborn) dengan nama Wisata Pecinan Kembang Jepun. Peresmiannya dilakukan Walikota Surabaya, Eri Cahyadi, pada 10 September 2022.
Selama ini Rumah Abu Han telah menarik perhatian jutaan pasang mata, yang melewati jalan Karet. Selama itu tidak mudah publik mengakses untuk masuk. Maklum Rumah Abu Han, yang sudah berusia ratusan tahun, bersifat privat dan apalagi sebagai tempat sembahyangan keluarga. Tidak semua orang bisa masuk kecuali keluarga, kerabat dan mereka yang dengan tujuan khusus dengan dilengkapi surat permohonan ijin masuk.
Ketika dalam rangkaian kegiatan pembukaan Kya Kya Reborn (10-11/9/2022), Rumah Abu Han sempat dibuka dan ternyata rumah ini bagai mutiara yang terselip diantara hiruk pikuk modernisasi kota.
Disebut sebagai Rumah Abu Han, karena rumah ini milik keluarga Pecinan Peranakan bermarga Han. Selain luas, fisik rumahnya menjadi representasi keluarga Pecinan, khususnya di Surabaya. Ornamen dan arsitektur bangunan sangat bercirikan Pecinan (Cina Peranakan).
Memperhatikan gaya bangunan dengan membandingkan bangunan bangunan tua semasanya di jalan Karet, diduga beberapa bangunan Pecinan yang masih ada dan bisa diidentifikasi ini dibangun di abad 18 atau pada tahun 1700-an di era VOC. Misal pada bangunan Pecinan di ujung selatan jalan Karet, terlihat pada bagian terasnya, terdapat tegel tegel terakota yang umum digunakan pada masa VOC.
Angka tahun 1700-an ini ternyata terungkap ketika memasuki Rumah Abu Han. Di dalam rumah, terdapat sebuah silsilah keluarga bermarga Han. Silsilah ini berpigora dan tergantung pada dinding di salah satu kamar. Orang paling tua dari marga Han adalah Han Siong Kong, yang lahir di Tiongkok pada 1673, lalu bermigrasi ke Lasem dan mendirikan keluarga Han di sana.
Pada titik pusat silsilah inilah nama Han Siong Kong ditulis beserta tahun kelahirannya (1672-1743). Eksistensi bangunan, fungsi dan kepemilikan tidak berganti. Dari abad ke 17 hingga 21 ini, rumah ini tetap lestari. Masih dimiliki dan dikelola oleh keluarga Han. Adalah Han Robert Rosihan, keturunan Han Siong Kong ke 9, yang selama ini merawatnya sebagai Rumah Abu Han.
Siapakah Marga Han ?
Dari nama nama keluarga Han, yang paling dikenal adalah Han Chan Piet, seorang Mayor China (Majoor der Chinezen), yang lahir di Surabaya pada 1759 dan meninggal juga di Surabaya pada. Namanya juga dieja Han Tjan Piet atau Han Tian Pit. Ia adalah keturunan ketiga dari Han Siong Kong, orang pertama dari Marga Han yang mulai tinggal di Lasem.
Menurut Han Robert, keturunan ke 9 dari Marga Han yang bermula di Lasem bahwa Han Siong Kok adalah imigran dari Tiongkok.
Saya ini generasi ke 9 dari Marga Han di Lasem. Kalau diurut ke belakang hingga ke Tiongkok, saya sudah generasi Han ke 30, jelas Robert yang dihubungi lewat Whatsapp pada Rabo siang, 22 September 2022. Han Robert tinggal di Surabaya.
Keluarga Han adalah keluarga yang sangat disegani dan berpengaruh di era kolonial. Han Chan Piet, generasi ke tiga, dikenal sebagai pejabat pemerintah di era pemerintahan kolonial dan sebagai tuan tanah di Jawa Timur. Ia dikenal dan dikenang karena telah membeli distrik Besuki dan Panarukan pada tahun 1810 dari pemerintah kolonial. Bagi pemerintah kolonial, Han Tjan Piet telah berjasa membantu menambah kas negara di bawah pemerintahan Daendels.
Rumah keluarga Han ini berada di kawasan Pecinan, yang di era kolonial di kenal dengan jalan Chinese voor Straat (kini jalan Karet). Ketika itu ia diketahui lahir di Surabaya pada 1759. Ini berarti bahwa rumah keluarga Han ini sudah ada sejak tahun 1700-an.
Han Chan Piet (1759-1827) adalah anak ketiga dari dua belas bersaudara dari Han Bwee Kong (1727 1778). Mereka adalah cucu dari Han Siong Kong (1672-1743), imigran asal Tiongkok yang kemudian datang dan tinggal di Lasem. Han Siong Kong adalah pendiri keluarga Han di Lasem.
Berturut turut dari Han Siong Kong ke Han Chan Piet adalah 1) Han Siong Kong (1672-1743), 2) Han Bwee Kong (1727-1778), 3) Han Chan Piet (1759-1827)
Kuat di Ujung Timur Jawa (Java van den Oosthoek)
Dari Lasem, keluarga Han berekspansi ke wilayah Ujung Timur Jawa (Java van den Oosthoek) yang ber ibukota di Surabaya. Maka di ibukota Ujung Timur Jawa, Surabaya, inilah keturunan Han mulai menapakkan kakinya.
Mulai kapan keluarga Han masuk Surabaya?
Sebelum Han Chan Piet lahir di Surabaya pada 1759, ayahnya Han Bwee Kong (1727-1778) dikenal memegang posisi pemerintahan sipil dengan pangkat Kapitein der Chinezen, yang bisa memberi otoritas hukum dan politik atas komunitas Tionghoa di Surabaya. Kebijakan Kapitein der Chinezen adalah sebagai bagian dari kebijakan kolonial Belanda.
Baca Juga: Menyongsong Hadirnya Badan Pengelola Cagar Budaya (BPCB) Kota Surabaya
Diduga keluarga Han berekspansi ke Surabaya bermula dari putera Han Siong Kong (1672-1743), yaitu Han Bwee Kong (1727-1778). Jika Han Siong Kong mengawali di Lasem. Han Bwee Kong mengawali di Surabaya. Keduanya hidup di masa VOC.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari deretan nama nama keluarga Han, adalah Han Chan Piet (1759-1827) yang sangat terkenal. Ia juga seorang Kapitein, yang juga dikenal sebagai penyewa distrik Besuki dari tahun 1768 dan Panarukan dari tahun 1777. Di era gubernur Jendral Daendels, kedua distrik ini dibeli oleh Han Chan Piet. Sebagai putra seorang perwira Cina, Han Chan Piet menyandang gelar turun-temurun Sia. Anggota keluarganya yang menonjol lainnya termasuk adik laki-lakinya, Han Kik Ko, Majoor der Chinezen (1766-1813).
[caption id="attachment_41201" align="aligncenter" width="788"] Rombongan jelajah sejarah Subtrack berkunjung ke Rumah Abu Han.[/caption]
Keluarga Bangsawan
Multikulturalisme sudah lama ada di Surabaya. Sebelum kolonialisasi masuk Surabaya, seiring dengan hadirnya VOC di Nusantara di abad 17, kehidupan antar entnis di Surabaya sudah tercipta. Mereka yang beragam etnis ini berdiam di kawasan di antara dua sungai: Kali Surabaya (Kalimas) dan Kali Pegirian.
Mereka sudah berbagi ruang untuk sandaran kehidupan. Mereka sudah terlibat pada satu kebutuhan bersama yang saling menguntungkan dan membantu. Mereka terlibat dalam satu kegiatan sosial budaya dan ekonomi. Mereka berdagang. Di sana berbaur keragaman etnis mulai dari Jawa (lokal) dan pendatang termasuk China.
Bangsa Eropa, yang mulai masuk Surabaya pada awal abad 17, menempati kawasan yang terpisah dari penduduk lokal dan bangsa asing yang sudah ada terlebih dahulu. Bangsa Eropa ini menempati lahan di barat Kali Surbaya (Kalimas) tetapi langsung berseberangan dengan komunitas Pecinan dan lokal.
Tercatat secara resmi: de fakto dan de jure, bangsa Belanda menerima kekuasaan atas Ujung Timur Jawa (Java van den Oosthoek) pada 11 November 1743 dari Mataram. Sejak itu pula pengaruh Mataram bersama VOC dapat leluasa mengatur dan menata Surabaya. Termasuk menata sistim politik dan pemerintahan.
Keluarga Han ini sangat berpengaruh di era kolonial karena alasan strata sosial ekonomi, dan kekuasaan. Keluarga Han, utamanya Han Chan Piet, ternyata memiliki paman, seorang mualaf dan raja Jawa Ngabehi Soero Pernollo (1720 1776). Han Chan Piet juga memiliki sepupu bangsawan dan birokrat Jawa, Adipati Soero Adinegoro (1752 1833) dan Raden Soero Adiwikromo. Keluarga bangsawan ini memainkan peranan penting dalam konsolidasi dengan pemerintahan Belanda serta administrasi di kemudian hari termasuk dalam pembangunan ekonomi Jawa Timur.
Sampai sekarang jejak keluarga Han, yang berupa makam, masih ditemukan di Prajekan, Situbondo. Secara lokal disebut Kiai Cekong. Cekong adalah sebutan lokal yang merupakan pergeseran dari kata Engkong (kakek). Jejak keluarga Han juga ada di Surabaya.
Puncak Ketenaraan
Baca Juga: Badan Pengelola Cagar Budaya Masuk Perda Cagar Budaya Kota Surabaya
Puncak dari ketenaran Han Chan Piet ketika dia diangkat menjadi Majoor der Chinezen oleh pemerintah Belanda. Han Chan Piet pertama kali diangkat ke birokrasi kolonial ketika ia diangkat menjadi wakil ayahnya di Surabaya, Han Bwee Kong.
Ketika Han Chan Piet diangkat sebagai wakil ayahnya, ia diberi jabatan Luitenant der Chinezen. Namun ketika ayahnya, Han Bwee Kong, yang bergelar sebagai Kapitein der Chinezen dari Surabaya meninggal pada 1778, ia diberi gelar Kapitein.
Jadi, jabatan Han Chan Piet berganti dari Luitenant der Chinezen naik ke Kapitein der Chinezen. Hubungan antara Han dan pemerintah berjalan baik.
Pada tahun 1796, Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) selanjutnya memberikan hak eksklusif kepada Kapitein untuk kedua distrik itu seumur hidup. Yakni Besuki dan Panarukan.
Selama berlangsung pemerintahan Perancis dan Inggris (1806 1815), Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memutuskan untuk mengisi kas negara dengan menjual tanah pemerintah, termasuk pada tahun 1810 menjual distrik Besuki dan Panarukan.
Disaat pemerintah membutuhkan kas negara, lalu Kapitein Han Chan Piet berkenan membeli aset itu dengan harga 400.000 dolar Spanyol. Atas jasa pembelian asetnya di Besuki dan Panarukan, Han Chan Piet kemudian dipromosikan oleh Daendels ke jabatan yang lebih bermartabat. Yaitu Majoor der Chinezen.
Jadi, karir Han Chan Piet beranjak naik dari Luitenant der Chinezen kemudian menjadi Kapitein der Chinezen. Terakhir dinaikkan Daendels menjadi Majoor der Chinezen. (bersambung)
Penulis: Nanang Purwono (Pegiat Sejarah Surabaya/Begandring Soerabaia)
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi