Optika.id - Apa anda pernah mengunjungi Museum Surabaya, Gedung Siola lantai satu, Jalan Tunjungan, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya? Di situ terdapat di deretan foto Wali Kota Surabaya dari tahun 1916 hingga terkini, terpampang di pintu masuk Museum Surabaya. Namu ternyata, adu dua nama yang fotonya sengaja tidak dicantumkan, loh.
Di antara deretan foto-foto itu, terdapat dua Wali Kota Surabaya yang sengaja dihilangkan karena sampai kini tidak diketahui rimbanya. Mereka adalah Dr. Satrio Sastrodiredjo dan Moerachman SH, masing-masing menjabat pada 1958-1963 dan 1964-1965.
Baca Juga: Jangan Sampai Keliru ya! Ini Bedanya Hari Kesaktian Pancasila dengan Hari Lahir Pancasila
Nasib Nahas menimpa kedua mantan orang nomor satu di Kota Pahlawan yang hidupnya berakhir tragis usai dinyatakan hilang karena dituduh berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
1. Wali Kota Dr. Satrio Sastrodiredjo
Menurut Arya Wirayuda dalam artikel Peran Partai Masjumi dalam Dinamika Perkembangan Demokrasi di Kota Surabaya 1945-1960 dijelaskan, Dr Satrio Sastrodirejo adalah seorang dokter lulusan Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), atau kini dikenal sebagai Universitas Airlangga.
Dr Satrio Sastrodirejo kemudian menjadi orang nomor satu di Surabaya menggantikan Raden Istidjab Tjokrokoesoemo, yang telah pensiun. Ia dipilih secara aklamasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada 11 Juni 1958. Dan merupakan calon tunggal yang diusung PKI bersama Baperki, Partai Katolik dan Parkindo dengan perolehan 20 kursi anggota dewan.
Sidang secara aklamasi menetapkan Dr R Satrio Sastrodiredjo sebagai Walikota Surabaya periode 1958-1963, tulis Arya.
Sayangnya sampai sekarang belum ditemukan sumber informasi jelas, yang bisa menceritakan tentang sepak terjang Dr Satrio selama memimpin Kota Pahlawan.
Setelah lima tahun menjadi Walikota Surabaya, Dr Satrio kemudian ditunjuk langsung oleh Presiden Soekarno berdasar usulan SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dan PKI, untuk menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur mendampingi Mochamad Wiyono pada 31 Januari 1963.
Jabatan Walikota Surabaya yang ditinggalkan lantas diisi oleh tokoh non partisan, Moerachman SH, pada November 1963.
Satrio Sastrodiredjo juga fotonya tak dipasang, duiduga karena pertimbangan politik. Sebab sejak zaman Orde Baru, semua hal yang berbau PKI harus dilarang dan dihapus.
2. Wali Kota Moerachman, SH.
Sementara menurut tulisan Pradipto Niwandhono berjudul Palu Arit di Kota Pahlawan Peran Sosial-Politik PKI di Surabaya Masa Demokrasi Terpimpin 1957-1966 dijelaskan, Moerachman adalah seorang walikota yang paling singkat memerintah Kota Surabaya serta paling kabur sejarahnya.
Sebab, informasi atau rekaman sejarah terhadap tokoh ini juga sangat minim. Sama hal dengan pendahulunya, Dr Satrio Sastrodiredjo. Diduga, minimnya informasi tentang mereka berdua karena pemerintahan masa orde baru waktu itu sengaja menghapus jejak para pejabat negara yang diketahui sebagai kader maupun simpatisan PKI.
Moerachman tercatat, lahir pada 25 November 1929 di Desa Benculuk Kecamatan Cluring Kabupaten Banyuwangi. Dia sempat mengenyam pendidikan SMA bagian B.
Baca Juga: Pancasila Sakti atau Sakit?
Pada masa revolusi kemerdekaan, Moerachman bergabung dengan Polisi Militer (1946), komandan Batalion 400 Tentara Pelajar di Besuki (1946/1947), komandan Operasi di Sektor TRIP daerah Gunung Argopuro dan Komandan Operasi Sektor III/a. Kes. Co. Kawi Selatan. Tepatnya pada masa agresi militer Belanda I dan II.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Moerachman kemudian kuliah di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Di kampus itu, ia sempat menjabat sebagai ketua senat mahasiswa kemudian sekretaris I dewan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Dia aktif dalam satu organisasi CGMNI dan pernah memimpin delegasi Indonesia saat Konferensi Mahasiswa Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Dalam pemilihan anggota DPRD propinsi Jawa Timur pada tahun 1958, Moerachman dicalonkan oleh PKI sebagai anggota dan berhasil terpilih. Meskipun secara resmi bukan anggota PKI, pengangkatan Moerachman adalah berdasarkan rekomendasi partai tersebut yang waktu itu begitu dominan di kota Surabaya sehingga presiden menyetujui rekomendasi tersebut dan mengangkatnya sebagai walikota.
Berbeda halnya dengan proses pemilihan walikota Dr Satrio yang melalui sidang DPRD, proses pemilihan penggantinya tersebut tidak melalui parlemen, melainkan ditunjuk sendiri oleh presiden Sukarno atas usulan dari pihak PKI.
Moerachman (kemudian) menghilang dan tidak lagi diketahui keberadaannya, meski secara umum ia diduga ditangkap dan dibunuh oleh militer seperti halnya banyak orang-orang lain yang disinyalir sebagai simpatisan komunis," tutup Pradipto.
Situasi Politik Saat itu
Situasi politik usai G30S di Jakarta juga berpengaruh ke daerah termasuk di Surabaya. Sejumlah kantor-kantor PKI diserang oleh ormas-ormas Islam. Tak hanya itu, toko-toko milik orang China juga diserbu.
Puncaknya, sebuah pertemuan organisasi anti-komunis digelar di Tugu Pahlawan pada 16 Oktober 1965. Pertemuan itu menyerukan untuk mengganyang dan menumpas PKI yang dituding sebagai dalang G30S.
Baca Juga: Dikenal Sebagai Pemimpin Partai Komunis, Sisi Lain D.N Aidit Seorang Taat Islam dan Muazin
"Salah seorang tokoh militer setempat yang hadir dan ikut berpidato pada kesempatan tersebut adalah Kolonel Soekotjo Sastrodinoto, salah satu perwira Divisi Brawijaya di Surabaya. Dengan demikian, situasi aman dan hati-hati di Surabaya menyusul upaya kudeta, seketika berubah menjadi gelombang kekerasan dan para simpatisannya," jelasnya.
Kekerasan semakin meluas setelah pada 22 Oktober 1965, seluruh organisasi massa yang bernaung di bawah PKI juga turut dilarang. Sejak saat itu eskalasi kekerasan semakin meningkat di Surabaya. Penangkapan, penahanan disertai pembunuhan marak terjadi.
Tak terkecuali Moerachman. Ia ditangkap dan sempat ditahan di penjara Kalisosok karena terindikasi sebagai pendukung PKI. Sejak saat itu, Moerachman tak pernah diketahui rimbanya hingga kini.
"Beberapa hari kemudian tersiar kabar bahwa Wali Kota Surabaya (Moerachman) telah ditahan bersama tujuh orang bupati di Jawa Timur yang diindikasikan sebagai pendukung PKI," terang Pradipto.
Reporter: Jenik Mauliddina
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi