Gaya Marah-marah Risma Dikritisi Banyak Pihak !

author Seno

- Pewarta

Minggu, 03 Okt 2021 13:43 WIB

Gaya Marah-marah Risma Dikritisi Banyak Pihak !

i

images (61)

Optika, Jakarta - Pengamat politik mengkritisi gaya marah-marah Menteri Sosial Tri Rismaharini di depan publik. Menurutnya, gaya marah-marah Risma tidak membuat publik simpatik.

Dosen dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam mengatakan, gaya komunikasi Risma tidak cocok untuk kepemimpinan tingkat nasional. Menurut Umam, ada cara lebih baik dibandingkan marah-marah.

"Gaya komunikasi Mensos Risma yang eratik, tidak mudah ditebak, meledak-ledak, suka marah-marah, tidak cocok untuk dibawa dalam kepemimpinan politik nasional," ujar Umam seperti keterangan tertulis, Minggu (3/10/2021).

"Sebagai pemimpin, ekspresi marah memang terkadang diperlukan untuk menegaskan sikap, posisi, dan arahan kebijakan. Namun jika sikap itu dilakukan hanya untuk menunjukkan 'ego' dan 'keakuan' seorang pemimpin, yang seharusnya dengan statemen tegas saja sudah cukup tanpa harus menunjuk-nunjuk dan mempermalukan orang lain, maka sejatinya itu sikap itu tidak pantas dilakukan," imbuhnya.

Umam menuturkan, komunikasi marah-marah Risma bisa menimbulkan konflik. Hal ini jelas terjadi dalam peristiwa Gubernur Gorontalo Rusli Habibie.

Umam meminta agar Risma mengelola emosinya. Hal ini disebut baik untuk kerja-kerjanya ke depan.

"Upaya mengelola emosi itu bukan hanya untuk kebaikan dirinya sendiri, tetapi juga untuk efektivitas dan optimalisasi kinerja pemerintahan yang ia jalankan," katanya.

Gubernur Gorontalo Tersinggung

Sikap Mensos Tri Rismaharini marah-marah ke salah seorang warga di Gorontalo membuat Gubernur Rusli Habibie tersinggung. Gubernur Gorontalo itu menilai sikap Risma, seperti dalam video yang beredar, tidak patut dilakukan.

"Saya saat melihat video itu sangat prihatin. Saya tidak memprediksi seorang Ibu Menteri, sosial lagi, memperlakukan seperti itu. Contoh yang tidak baik," kata Rusli

"Pangkat, jabatan, harus kita jaga. Tidak ada artinya pangkat ini, semua kita tinggalkan. Kalaupun, toh, dia salah, ya dikoreksi, di depan umum lagi," imbuh Rusli.

"Dalam ruang politik masyarakat yang plural Indonesia, gaya komunikasi Mensos Risma justru berpotensi kontraproduktif, membelah masyarakat, dan menciptakan kegaduhan yang tidak sepatutnya terjadi. Terlebih jika hal itu sampai memunculkan ketersinggungan masyarakat, seperti yang disampaikan Gubernur Gorontalo belakangan ini," katanya.

Model Komunikasi Politik Drama

Sementara itu, Peneliti dari KedaiKOPI, Hendri Satrio menyampaikan, model komunikasi politik dari Risma adalah politik drama. Model seperti ini akan menarik pada awal-awal kemunculan.

"Model gaya politik drama ini akan menarik, tapi lama kelamaan yang lihat bingung dan mempertanyakan efektivitas," kata Hendri.

Kemudian, Hendri menyampaikan, dengan gaya politik seperti ini, Risma akan kesulitan untuk menang jika ikut dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta, atau pemilihan presiden.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Level kepemimpinan dan kedewasaan jadi sedang ditakar ada di mana. Marah-marah nggak wajar, meledak-ledak. Kalau Bu Risma nyaman dengan gaya gitu, nggak apa-apa," katanya.

"Kalau gaya begitu, sulit menjadi Gubernur Jakarta, apalagi presiden. Ini yang meski dipertimbangkan oleh tim komunikasi dan tim branding-nya Bu Risma," katanya.

Menteri Harus Bisa Jadi Teladan

Selain itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang marah-marah saat melakukan kunjungan rapat kerja bersama Pemerintah Provinsi Gorontalo terkait distribusi bantuan sosial tidak sesuai dengan etika pemerintahan dalam Tap MPR Nomor VI Tahun 2001. Menurutnya seorang menteri harus bisa menjadi teladan dalam menjalankan etika kehidupan berbangsa.

"Mensos sudah pernah marah-marah di depan publik, setidaknya kepada pejabat pemerintah di Jember, Bandung, Riau, dan kini Gorontalo. Memang data bansos bermasalah di daerah perlu diperbaiki, tapi tidak dengan marah-marah yang tidak menyelesaikan masalah. Bisa dengan cara yang lebih elegan, apalagi yang harus bertanggung jawab bukan hanya Pemda, melainkan juga Kemensos," kata Hidayat dalam keterangannya, Sabtu (2/10/2021).

"Mestinya Mensos membimbing dan memberikan teladan terbaik bagaimana menyelesaikan masalah dengan komprehensif, tanpa marah-marah yang malah menambah masalah, dan mengurangi hormat dan marwah," lanjutnya.

Hidayat mengungkapkan permasalahan data bantuan sosial harus diselesaikan. Namun, diperlukan kerja sama yang kondusif. Sebab tanggung jawab ada pada pemerintah daerah (Pemda) dan Kementerian Sosial (Kemensos). Berdasarkan UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, Pemda menyampaikan pendaftaran atau perubahan data kepada Kemensos. Kemudian data tersebut akan diverifikasi dan divalidasi oleh Kemensos untuk selanjutnya ditetapkan oleh menteri serta menjadi tanggung jawab menteri.

Kemensos juga dinilai belum maksimal dalam melakukan verifikasi data Pemda. Ia mencontohkan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi yang menemukan Kemensos menggunakan data lama untuk Bansos pada Rabu (28/7/2021), serta Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI yang menemukan data ganda Kemensos sebanyak 99 ribu pada Sabtu (31/7/2021).

"Seharusnya Mensos Risma tidak merasa solusinya adalah dengan marah-marah kepada pejabat Pemda atau pendamping Bansos dalam menerima aduan masyarakat atau pelaksana di daerah. Mensos perlu melakukan koreksi silang karena selain Pemda, Pusdatin Kemensos juga bisa saja melakukan penghapusan data," terangnya.

Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini meminta agar Risma memperbaiki cara berkomunikasi dengan tidak mengumbar amarah di depan publik. Dalam TAP MPR 6/2001 bagian Etika Pemerintahan, penyelenggara negara diamanatkan untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan agar tercipta suasana harmonis antar pemangku kepentingan.

Ia mengatakan Mensos seharusnya memiliki keteladanan dan rendah hati sehingga program bisa dilaksanakan dan perbaikan juga bisa dikerjakan. Dengan begitu diharapkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa tercapai.

"Sikap marah-marah di depan publik justru rawan memperuncing hubungan antara pusat dan daerah. Terbukti, Gubernur Gorontalo misalnya sampai tersinggung dan minta presiden mengevaluasi sikap Mensos. Padahal dalam konteks pendataan fakir miskin, sinergi pusat dan daerah adalah kunci utama menuju data yang lengkap dan tepat, berdaya guna, dan efektif menjauhkan dari penyimpangan termasuk korupsi," pungkasnya. (Zal)

Editor : Pahlevi

Tag :

BERITA TERBARU