Etika Akademisi Vs Komersialisasi Pendidikan Tinggi

author Seno

- Pewarta

Minggu, 12 Feb 2023 18:01 WIB

Etika Akademisi Vs Komersialisasi Pendidikan Tinggi

Penulis: Adam A. Bahar (Postdoc Reasercher BRIN)

Optika.id - Baru-baru ini, media-media di Indonesia banyak menyoroti dan memperbincangkan etika para akademisi Indonesia. Akademisi Indonesia, mulai dari mahasiswa sampai dengan guru besar, dinilai telah menurunkan derajat etika mereka dan dinilai rela melakukan apa saja untuk dapat menghasilkan dan mempublikasikan karya ilmiah mereka ke dalam jurnal bereputasi sebagai syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar.

Investigasi harian kompas pada Jumat 10 Februari 2023 dengan judul Calon Guru Besar terlibat perjokian karya Ilmiah, mengungkapkan bahwa telah terjadi praktik perjokian besar-besaran di berbagai kampus di Indonesia, baik kampus negeri ataupun kampus swasta. Modusnya ada dua yaitu melibatkan internal kampus dan luar kampus.

Modus perjokian pertama adalah dengan membentuk tim khusus yang menyiapkan artikel untuk diterbitkan di jurnal internasional bereputasi. Tim menyematkan nama dosen-dosen senior yang ingin menjadi guru besar atau naik pangkat, sebagai daftar penulis di karya ilmiah.

Sementara modus pejokian kedua ialah para akademisi mencari sendiri para penyedia jasa yang dapat membantu mereka mempublikasikan karya ilmiahnya pada jurnal bereputasi.

Meskipun cukup mengagetkan, perbincangan tentang masalah etika para akademisi ini pada dasarnya bukan kali ini saja mengemuka. Isu serupa telah beberapa kali menjadi tajuk utama dalam media nasional, misalnya saja dalan tajuk majalah tempo edisi 30 Januari 2021 yang mengangkat topik Wajah Kusam Kampus.

Pertanyaannya, apakah derajat etika para akademisi di Indonesia telah merosot? Kalau iya, bagaimana mengatasi masalah ini? Apakah dengan diberikannya sanksi tegas dapat menyelesaikan masalah ini? Ataukah, justru ini bukan sekedar masalah etika semata?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, kita perlu melihat sedikit secara umum beban kerja dari para akademisi di Indonesia. Dosen, misalnya, tidak saja mempunyai beban kerja untuk mengajar. Mereka juga harus mempersiapakan bahan ajar, membimbing skripsi, tesis, atau disertasi, memeriksa ujian, belum lagi beban bagi dosen yang sekaligus merangkap pada jabatan struktural di kampus.

Belum lagi kewajiban lain terkait penelitian dan pengabdian masyarakat. Sementara bagi mahasiswa, mereka tidak saja diwajibkan mengikuti perkuliahan, mereka juga wajib mengikuti kegiatan yang diadakan kampus, mengerjakan tugas kuliah, mengikuti organisasi mahasiswa, praktik lapangan, dan yang cukup berat ialah melakukan penelitian dan menulis laporannya baik dalam bentuk skripsi, tesis atau disertasi.

Jika memahami kondisi itu, waktu yang tersisa untuk menulis jurnal ilmiah, apalagi mempublikasikannya dalam jurnal bereputasi tinggi, yang membutuhkan waktu yang tidak cepat, sangat terbatas. (Tulisan ini tidak menolak pentingnya penulisan jurnal ilmiah sebagai alat komunikasi ilmiah).

Terlepas dari beban kerja para akademisi yang sudah cukup besar, ada masalah lain yang lebih penting diperhatikan daripada sekedar melihat masalah moral para akademisi Indonesia, yaitu masalah struktural. Bagi para pembelajar berlatar belakang pendidikan sosial dan politik, terutama mereka penganut teori-teori strukturalisme kritis, masalah etika hanya diniali sebagai efek dari masalah sruktural. Menurut mereka bahwa etika itu bersifat relatif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Karena itu, masalah etika hanya sedikit menjadi perhatian mereka, bahkan dikatakan sebagai mitos. Sebaliknya, perhatian mereka berpusat pada masalah struktural. Asumsinya bahwa masalah sosial dan politik itu, termasuk masalah etika, ditentukan oleh aspek struktural.

Kita semua tahu dan sadar bahwa problem struktural yang ada di balik praktik perjokian jurnal ilmiah yang terjadi belakangan ialah komersialisasi pendidikan tinggi. Komersialisasi pendidikan tinggi merupakan konsep yang cukup luas yang menyangkut banyak aspek di pendidikan tinggi.

Namun, secara umum ini terkait dengan praktik menjadikan banyak aspek dari pendidikan tinggi sebagai komoditas. Bersamaan dengan bangkitnya ide neoliberalisme di awal 1980an, pendidikan tinggi menjanjikan akumulasi kapital yang sangat besar.

Salah satu yang melihat potensi dan mendapat manfaat besar dari itu ialah industri yang bergerak di bidang publikasi jurnal ilmiah. Konsekuensinya lebih lanjut ialah munculnya stuktur-struktur yang kemudian mencengkeram para akademisi.

Puncak dari masuknya jebakan struktural itu di Indonesia setidaknya dipicu oleh dua hal, yaitu kebijakan mendorong kampus di Indonesia untuk masuk dalam world class university, dan syarat publikasi ilmiah untuk kenaikan jabatan para dosen dan syarat kelulusan bagi mahasiswa.

Konsekuensinya, publikasi di jurnal bereputasi selalu menjadi prasyarat atas banyak hal yang menghantui dunia akademik Indonesia. Bagi mahasiswa, misalnya, sebagai syarat kelulusan, sedangkan bagi dosen sebagai syarat promosi jabatan sampai dengan standar kinerja.

Bagi para pengkritik etika, sebagaimana banyak opini dilontarkan selama ini, hal ini bukanlah problem utama dan perlu dipersoalkan. Sebaliknya, mereka fokus pada bagaimana akademis harus memenuhi semua itu dengan cara-cara yang jujur, selain itu para akademisi jangan sampai terobsesi berlebihan dalam mengejar promosi jabatan dan insentif.

Berbekal pada kejujuran semata, apakah para akademisi Indonesia akan terlepas dari tekanan struktural dalam dunia akademis yang ada saat ini? Persoalan ini akan semakin kompeks jika melihat meningkatnya berbagai tekanan struktural lain pada para akademisi Indonesia, seperti: meningkatnya biaya hidup, harga properti yang melonjak tinggi, kebutuhan pendidikan bagi anak-anak mereka, dan lain sebagainya.

Karena itu, kita seharusnya tidak tergiring oleh problem etika ketika mengamati fenomena yang terjadi wilayah akademis belakangan ini. Sebaliknya, kita perlu secara kritis melihat problem struktural yang mendasari masalah yang ada. Pembentukan tim investigasi tidak akan membawa banyak perubahan.

Sebaliknya, hal itu hanya akan semakin menekan para akademisi di Indonesia dan mendorong mereka menjadi akademisi yang pragmatis. Pragmatisme pada prinsipnya merupakan bencana terbesar dalam dunia akademis kampus.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU