Sosialisasi UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Ini Kata Pakar Hukum Ubaya!

author Danny

- Pewarta

Selasa, 21 Mar 2023 20:52 WIB

Sosialisasi UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, Ini Kata Pakar Hukum Ubaya!

Optika.id - Menjelang pelaksanaan Pemilu tahun 2024 yang seringkali dianggap kontroversional, tidak sejalan, tidak sesuai dan lain sebagainya membuat Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu harus melakukan sosialisasi, baik itu kepada kalangan masyarakat umum maupun para generasi muda.

Baca Juga: Perludem Tuding Sosialisasi Parpol hanya Dalih dan Siasat Licik Parpol

Sosialisasi perihal UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum menghadirkan narasumber antara lain, Lucia Martina Dewi, Kepala Bagian Hukum Humas dan Data Informasi Bawaslu Jawa Timur, Titi Anggraini dari Perludem, Totok Hariyono selaku Anggota Bawaslu RI, Dr Hesti Armiwulan Dosen FH Ubaya serta Rofi Aulia Rohman selaku Dosen Laboratorium Hukum FH Ubaya. Sosialisasi dilaksanakan pada hari Selasa, (21/3/2023) berlokasi di Auditorium FH Ubaya, dimulai pukul 09.00-12.00 WIB.

Dalam proses Sosialisasi tersebut, narasumber seringkali menyebut perihal peran generasi muda dalam mewujudkan pemimpin negara yang tegas, adil, serta tidak mengedepankan hak-hak lain selain rakyat. Baginya, kepentingan rakyat harus diutamakan sebagai wujud keberhasilan pemimpin tersebut, karena rakyat dalam Pemilu 2024 tidak hanya memilih Presiden, tetapi juga Anggota DPR, DPD dan lain-lain.

"Hak Konstitusional warga negara dalam proses pemilihan umum, kalau kita bicara tentang UU nomor 7 tahun 2017 tidak bisa dibahas secara keseluruhan, karena pasal tersebut sudah diutus oleh Mahkamah Konstitusi untuk tidak diberlakukan. Hal esensi yang perlu dipahami adalah, pendekatan yuridis konstitusional, ini menjadi salah satu acuan kenapa kita semua harus berada disini membahas pemilu tahun depan, ini adalah amanat dari konstitusi. Pertama, pasal 1 ayat 1 menentukan bahwa negara Indonesia adalah negara kesatuan berbentuk republik, mekanisme kepemimpinan nasional itu tidak turun temurun, tidak kemudian lahir, bisa memikirkan dia sudah dihormati. Negara kita negara republik, dimana pemimpin nasional ditentukan oleh rakyatnya, kalau kita bicara tentang republik ini semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk membela republik ini, terutama generasi muda sekarang, harus bangga dan optimis untuk menjadi pemimpin negara," ungkap Hesti Armiwulaningrum dalam sesi Acara Sosialisasi UU Pemilu kepada Optika.id, Selasa, (21/3/2023).

Seperti dikutip Optika.id, Hesti mengatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dengan mengedepankan Undang-Undang yang sudah dibentuk dan disepakati bersama. Hal ini sebagai bagian untuk memaknai negara Indonesia sebagai negara Republik yang berkeadilan.

"Selanjutnya, kedaulatan itu ada di tangan rakyat untuk mengedepankan undang-undang, jangan mengeluh, karena ini adalah hasilnya, bagaimana kita bisa memaknai bahwa republik milik kita semua. Kemudian ayat 3 membahas bahwa Indonesia adalah negara hukum, bahwa negara ini bukan kekuasaan, semua ada aturannya, tidak bisa begitu dia terpilih menjadi wakil kita mereka bisa seenaknya sendiri. Negara kita berbasis ada hukumnya, hukum dipakai untuk melegitimasi kekuatan, jadi ketika dia terpilih pemilu maka sesungguhnya yang harus melaksanakan undang-undang dasar," tuturnya.

Masih dikatakan Hesti, untuk mengawal Pemilu 2024 agar partisipatif, harus melihat bahwa sistem penyelenggaraan ini ditentukan oleh rakyat. Pemilu anggota DPR mempunyai kewenangan lebih dalam membuat UU. Ini berarti bahwa Indonesia harus benar-benar memanfaatkan momen Pemilu tahun depan untuk memilih Pemimpin yang sesungguhnya.

"Sehingga, rasanya kalau membahas ini tidak tuntas itu gemes, sama-sama bisa mengawal pemilu 2024 untuk partisipatif, ketika mau bicara tentang pemilihan umum 2024. Kedua, kita melihat bahwa penyelenggaraan negara ini ditentukan oleh rakyat, pemilu anggota DPR, siapa, yang jelas dia mempunyai kewenangan untuk membentuk undang-undang, kalau hanya dibuat untuk kepentingan sesaat, uji ke MK gagal terus bahkan muncul perppu, undang-undang 7 tahun 2017 ini juga banyak yang gagal. Artinya, kita ini mempertaruhkan negara ini selama 5 tahun kepada anggota DPR untuk membuat UU, tidak bisa diganti oleh pembentuknya, sekarang bisa dicabut oleh mahkamah konstitusi. Jadi, pemilih anggota DPR, kedua pemilih anggota DPD, apa sesungguhnya yang diperlakukan uang pajak ini oleh DPR, DPD," terangnya.

Baca Juga: KPU Sebut Jika Sosialisasi Politik Sudah Bisa Dilakukan Sejak Juni Tahun Lalu

Kepentingan rakyat menjadi pilihan nomor satu, rakyat harus bisa menentukan bagaimana kepemimpinan yang baik. Bisa dilihat melalui beberapa sudut pandang, pemilihan umum harus bisa menjadi sarana rakyat atau tempat untuk memilih siapa yang cocok menjadi pemimpin. Baiknya, seluruh kedaulatan kepemimpinan ini ditujukan dengan menggunakan mekanisme yang rasional.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

"Karena ini adalah rakyatlah yang keluar dan harus menentukan bagaimana kepemimpinan kita ditentukan, rakyat tidak melihat level pendidikannya apa, tidak melihat itu, sebagai rakyat, pemilihan umum menjadi sarana rakyat untuk memilih pemimpinnya, tetapi kita menyerahkan kepemimpinan ini kepada mekanisme rasional. Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak-hak politik untuk memilih dan dipilih, kita melihat ada dua, kalau itu DPR, DPRD adalah partai politik, presiden dicalonkan oleh partai politik. Kalau partai politiknya tidak punya integritas, modalnya hanya memperoleh kekuasaan, tidak akan bisa membentuk negara yang bisa menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Harus terus kita kritisi, harus terus kita awali, berikutnya adalah penyelenggaraan pemilu, menyebutkan bahwa pertama itu KPU, kemudian pengawasnya adalah Bawaslu, penyelenggara pemilu, secara sistem sudah bagus diatas kertas, diuji oleh negara manapun karena kita menyiapkan segalanya itu bagus. Seringkali dalam pelaksanaan kurangnya kesadaran yang tinggi, civil societynya kuat, para penyelenggara tidak berani macam-macam, selesai sudah," jelasnya.

Hesti mengungkapkan, Pemilu tahun 2024 dapat dikatakan berhasil jika dilihat dari faktor partisipasi pemilih, bukan karena faktor uang ataupun faktor pengganjal lainnya.

"Dalam pemilu atau pesta demokrasi itu berfokus pada pemilu, keberhasilan pemilu itu ditentukan oleh tingkat partisipasi pemilih, semakin besar, semakin baik sistem demokrasi itu, tetapi kalau kemudian apatis, kalau menyebabkan NPWP (Nomer Piro Wani Piro) itu berjalan, disaat pemilu satu pertunjukkan suatu mainan yang membuat kalian enggan untuk datang ke TPS, secara terukur itu terlihat, jam sekian ini yang sedang berselancar di dunia maya itu berapa banyak. Jadi, melihat apatisme atau tidak menggunakan hak pilih. Kalau ini tidak digunakan ya kualitas pemilunya yang bersedia untuk wani piro, nomer piro, sementara para pemilih yang digiring untuk tidak melakukan hak pilihnya, itu sebagian mahasiswa. Itu adalah sesuatu yang menghambat ketika partisipasinya dikuatkan, maka sosialisasi ini tidak dilakukan oleh Bawaslu karena menjadi satu pilihan untuk menentukan," ujarnya.

Baca Juga: DPR Tegur Keras KPU Terkait Larangan Sosialisasi Caleg dan Capres

Dirinya menambahkan, sistem Pemilu masih menunggu secara pasti, apakah menggunakan sistem Proporsional Tertutup atau menggunakan sistem Proporsional Terbuka.

"Ini sudah, bahwa lagi-lagi ada informasi yang kemudian disampaikan, masih nunggu lagi ini, ini kita nunggu, kalau jadi tertutup nanti saya akan deal minta nomor satu, nah itu mereka juga menunggu, kalau itu sistemnya tertutup. Kalau terbuka tidak apa-apa, dapat nomor berapapun, pemilu itu memilih anggota DPD perseorangan, kita tidak ada kritik karena fokusnya sudah presiden, energi kita seolah-olah dibawah pada satu titik yang sama. Sesungguhnya pemilu tidak hanya tentang presiden tetapi juga memilih anggota DPR, DPD, dan lainnya," tegasnya.

Partai Politik berhak mencalonkan Presiden beserta anggota DPR dan DPD, haruslah bersikap tegas. Bersaing secara sehat dan mengerti mana yang harus dipertaruhkan mana yang harus ditinggalkan jika memang itu merupakan sebuah kepentingan pribadi.

"Akhirnya, kita tidak mengenal siapa yang akan kita pilih, apa lagi sekarang sudah 18, jadi 18 itu berarti bahwa suaranya makin banyak lagi, tetapi ini menjadi tanggungjawab kita semua, suksesnya pemilu adalah menghantarkan kita menjadi pemimpin negara. Kita ini tidak bertanggungjawab atas apa yang terjadi, begitu sekarang sudah terwujud semuanya kita hanya disuruh untuk memegang untuk menentukan pemimpin kita. Jangan berantem tidak karuan, ini yang harus kita lakukan. Semua orang punya hak yang sama, penyandang disabilitas, mereka harus diberikan fasilitas untuk bisa akses dalam penyelenggaraan pemilihan umum, karena mereka adalah mempunyai hak yang sama, tuna rungu, tuna daksa, semua harus dipikirkan untuk mendapatkan akses dalam penggunaan hak pilihnya. Menurut saya, pemilu ini akan berhasil ketika tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa itu dilakukan, artinya harus ada literasi, pendidikan kita, mengajak generasi muda, tidak usah bicara yang muluk-muluk, ayo kita mengawaskan secara partisipatif, dari satu TV ke TV yang lain. Tetapi kita tidak peduli, literasi, kesadaran politik menjadi tanggungjawab bersama, semua kita harus bergerak untuk bersama Bawaslu menyukseskan Pemilu 2024," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU