Optika.id - Sehari setelah FIFA membatalkan Piala Dunia U20 di Indonesia menyusul penolakan terhadap tim Israel, tentara Israel menyerbu stadion internasional Faisal Al Husseini, yang mempertandingkan Jabal Al Mukkabber melawan Balata FC, 30 Maret 2023.
Baca Juga: Kelaparan Mengancam Gaza: Toko Roti Tutup Akibat Kekurangan Pasokan
Sebagaimana dilansir melalui insideworldfootball.com, petugas Israel menembakkan gas air mata dalam pertandingan final Piala Abu Ammar yang diselenggarakan Asosiasi Sepak Bola Palestina. Pertandingan akhirnya dihentikan karena petugas medis harus merawat penonton yang terluka, termasuk wanita dan anak-anak.
Eby Hara, doktor ilmu hubungan internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jember di Kabupaten Jember, mengatakan, tindakan seperti itu seharusnya sudah cukup membuat FIFA menjatuhkan sanksi kepada Israel. Terlihat brutalnya Israel. Itu sudah nyata di Palestina. Kenapa tidak diberi sanksi? katanya, Sabtu (1/4/2023).
Eby melihat FIFA sudah terlalu jauh berpolitik dan dikendalikan sekelompok orang yang berkepentingan membela Israel. Negara-negara lain tak bisa berbuat banyak dan hanya bisa memprotes, karena FIFA memegang monopoli organisasi sepak bola internasional. FIFA bermain politik. Tidak boleh ada negara yang memprotes Israel. Dia bisa menentukan segala hal. Ada semacam kekuatan hegemonik di FIFA yang bisa mendikte, katanya.
Dengan tindakan FIFA yang tak adil, menurut Eby, tak heran jika kemudian masyarakat Indonesia menolak Israel. Masyarakat Indonesia konsisten dari dulu. Kalau dulu pada zaman Bung Karno, orang sepakat melawan kolonialisme dan imperialisme. Sekarang kita banyak dicampuri macam-macam, sehingga sikap masyarakat pun terpecah, katanya.
Baca Juga: Hizbullah Deklarasikan 'Kemenangan Besar' atas Israel
Opini di media massa pun terbelah. Ada yang menganggap seolah-olah politik dan olahraga tidak bisa dicampuradukkan, kata Eby.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kendati gagal membuat Israel dijatuhi sanksi oleh FIFA, menurut Eby, suara penolakan harus senantiasa dilakukan. Pesan (penolakan) itu selalu diperlukan. Dalam jangka pendek, dampaknya belum tentu ada perubahan. Tapi kalau itu terus disuarakan, orang akan tetap sadar bahwa ada penindasan di Palestina. Jangan Anda lupakan, katanya.
Sekarang kan sepertinya kalau Israel melakukan sesuatu seakan-akan sah. Kalau bukan Israel, tidak boleh. Kondisi seperti itu yang terjadi. Kalau tidak kuat melawan, orang akan tunduk dan akhirnya menoleransi, menerima eksploitasi pembunuhan. Jadi suara (penolakan) seperti itu harus tetap disuarakan, walau ada risiko, kata Eby.
Baca Juga: Paus Fransiskus Desak Penyelidikan Genosida Israel di Gaza, Ini Tanggapan Muhammadiyah
Menurut Eby, kebijakan FIFA yang lebih membela Israel sebenarnya berkonfrontasi dengan masyarakat Indonesia. Yang protes adalah masyarakat Indonesia, bukan PSSI, katanya.
Eby berharap ada restrukturisasi di tubuh FIFA. Harus ada standar yang sama dan jangan ada standar ganda. Sekarang kan standar ganda sebagaimana umumnya negara Barat. Kemanusiaan semestinya diletakkan paling tinggi. Dia ngomong fair play, tapi dia tidak fair. Dalam manajemen pengelolaan di lapangan, mereka tidak pernah fair. Itu yang harus dilawan, katanya, berharap negara-negara Arab mau bersuara lebih vokal dari dalam organisasi.
Editor : Pahlevi