Optika.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai semakin rajin cawe-cawe dalam kontestasi Pemilihan Presiden 2024. Mulai dari memberikan kode-kode Capres yang didukung, hadir dalam deklarasi Capres, sampai melakukan pertemuan dengan Capres dari partai politik tertentu.
Baca Juga: Aneh! Jelang Lengser Kepuasan Terhadap Jokowi Tinggi, tapi Negara Bakal Ambruk
Ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Universitas Indonesia (UI) Melki Sedek mengatakan, beberapa waktu belakangan banyak hal-hal salah yang terus saja dilakukan Jokowi dengan bangga. Ia merasa itu jadi perlu dikritisi secara tajam.
Antara lain, kehadiran Jokowi dalam deklarasi Ganjar Pranowo sebagai Capres yang diusung PDIP. Baik sebagai Presiden RI maupun kader PDIP, ia merasa Jokowi memiliki kewajiban menjaga independensi.
Ada hal-hal bernama independensi yang rela dikorbankan Presiden Jokowi dengan hadir di tempat itu dan menunjukkan stigma pada publik, presiden selanjutnya dari partai ini, dan presiden selanjutnya idealnya beliau, kata Melki pada Optika.id, Jumat (5/5/2023).
Dia juga mengkritik Jokowi yang belakangan semakin rajin cawe-cawe Pilpres 2024. Sebab, sesuai konstitusi, kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
Termasuk, ketika memilih presiden dan wakil presiden yang merupakan orang-orang yang dicalonkan parpol atau gabungan parpol. Jadi, bukan calon yang disarankan, direkomendasikan apalagi distigma sebagai anjuran.
Melki menekankan, menjadi kesalahan jika Jokowi ikut bermain dalam kontestasi yang seharusnya memposisikan diri sebagai wasit. Artinya, ada kewajiban bagi Jokowi mampu bersifat netral dan independen.
Hal ini dapat dilihat pula dari semakin seringnya Jokowi dalam menggelar pertemuan dengan ketua-ketua umum partai politik. Selain itu, ia mengkritisi kedekatan Jokowi dengan Capres-capres tertentu.
Sepertinya tidak elok bagi seorang pemimpin negara untuk mengorbankan independensinya untuk hadir dalam forum-forum politik, yang seharusnya beliau adalah penyelenggara, ujar Melki.
Dia menyarankan Jokowi untuk mengakhiri kepemimpinan dengan baik melalui bekerja secara baik dan mengawal Pemilu 2024 agar berjalan dengan baik. Jokowi bisa mengawal pelaksanaan pemilu, bukan mengawal peserta pemilu.
Melki mengingatkan, Indonesia merupakan negara demokratis, bukan negara feodal. Artinya, masyarakat ketika memilih pemimpin sekalipun didasari kedaulatan rakyat yang diejawantahkan melalui pemilu, termasuk 2024.
Kita bukan memilih pemimpin yang hanya anjuran dari pemimpin sebelumnya, atau kita tidak memilih pemimpin yang hanya melanjutkan program-program, walaupun itu penting, kata Melki.
Jokowi Bertindak di Luar Kewenangan
Hal senada dikatakan pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga. Dia menilai Jokowi telah bertindak di luar kewenangannya sebagai presiden.
Menurut Jamiluddin, sikap Jokowi yang terlalu terlibat aktif dalam urusan pencapresan dapat menghilangkan muruah Istana dan menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
"Pak Jokowi sebagai presiden itu kan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, karena itu seharusnya Pak Jokowi tidak cawe-cawe tentang capres. Karena itu bukan porsinya," kata Jamiluddin, Jumat (5/5/2023).
Dia pun membandingkan sikap Jokowi dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di akhir pemerintahannya. Ia berpendapat SBY dapat menjaga jarak dengan pasangan calon yang ada.
"Pak SBY memasang jarak yang sama baik kepada kubu Prabowo maupun Jokowi saat itu. Di situ terlihat bahwa Pak SBY tidak menunjukkan keberpihakannya di depan umum kepada pasangan capres. Di sini, Pak Jokowi bukan memposisikan diri sebagai presiden tetapi sebagai politisi. Itu kan berbahaya," katanya.
Tindakan Jokowi Kurang Etis
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah juga memperhatikan tindakan Jokowi kurang etis. Menurutnya, seorang perangkat negara tidak berhak terlibat aktif dalam penyelenggaraan pemilu saat masih menjabat.
Dia khawatir kerja pejabat penyelenggara pemilu bisa terpengaruh dengan kepentingan Jokowi.
"Situasi ini mengkhawatirkan, karena perangkat negara yang terlibat langsung pada penyelenggaraan pemilu dapat terpengaruh dengan cara menjalankan kinerja menyesuaikan kepentingan Jokowi. Untuk itu, aktivitas Jokowi terkait keputusan politik praktis ini harus dikritik keras," kata Dedi, Jumat (5/5/2023).
Baca Juga: Dosa-dosa Jokowi
Dedi pun mengkritik parpol yang justru diam saja melihat praktik tersebut. Menurut dia, elite parpol semestinya tersinggung dengan cawe-cawe Jokowi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Karena satu sisi presiden kehilangan wibawa sebagai kepala negara. Dan sebaliknya, ketua umum partai pun kehilangan wibawa di hadapan Presiden. Untuk itu, partai di luar PDIP dan PPP, sudah seharusnya mengambil sikap sendiri," ujarnya.
Dedi mengatakan ada potensi penyalahgunaan wewenang jika Jokowi terus cawe-cawe dalam urusan Pipres 2024. Dia menilai bukan tidak mungkin kepercayaan publik atas terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil bisa hilang.
"Publik akan menilai jika presiden terlibat langsung dalam proses politik praktis, bukan tidak mungkin ada potensi presiden gunakan kekuasaan untuk mengkondisikan penyelenggara pemilu, dan ini mengkhawatirkan, kepercayaan publik atas Pemilu yang jujur adil bisa lenyap," ucapnya
Bertentangan Prinsip Pemilu
Sementara itu, pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, juga mengkritisi sikap Jokowi yang mendukung Ganjar, mencadangkan Prabowo Subianto, dan menolak Anies Baswedan. Dia merasa, sikap itu bertentangan prinsip-prinsip pemilu.
Presiden Jokowi bergeser dari wasit yang bersifat imparsial menjadi wasit yang ikut bermain, menjadi pemain ke-13, kata Denny dalam keterangannya, Jumat (5/5/2023).
Baginya, Jokowi secara pribadi tentu sah memiliki hak pilih atau datang ke tempat pencoblosan memberikan suaranya. Tetapi, tidak boleh seorang presiden sudah mendukung, memberi pengaruh, apalagi menjegal. Ini yang tidak boleh karena presiden harus jadi wasit yang netral, tukasnya.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai terlalu ikut campur alias cawe-cawe dalam urusan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Pada Selasa (2/5/2023) malam, Jokowi mengumpulkan enam ketua umum parpol di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta.
Para ketua umum parpol yang hadir yaitu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Plt Ketua Umum PPP M Mardiono. Sementara itu, Ketua Umum NasDem Surya Paloh, yang sebetulnya juga merupakan bagian dari koalisi pemerintahan tak diundang.
Alasan NasDem tak diundang diduga bertalian dengan sikap parpol tersebut yang telah mengusung Anies Baswedan sebagai calon presiden mereka.
Baca Juga: Kunjungi Jatim, Jokowi Resmikan Flyover Djuanda dan RS Kemenkes Surabaya
Pernyataan Jokowi
Jokowi mengakui memangtidak mengundang Surya Paloh dalam pertemuan dengan parpol koalisinya. Jokowi pun mengungkap alasannya.
"Ya memang tidak diundang," kata Jokowi di Sarinah, Jakarta Pusat, Kamis (4/5/2023).
Jokowi mengatakan NasDem saat ini sudah memiliki koalisi sendiri untuk Pilpres 2024. Sementara, lanjut dia, parpol yang kemarin diundangnya ingin membangun kerja sama politik bersama.
"Loh, NasDem itu ya kita harus bicara apa adanya ya. Kan sudah memiliki koalisi sendiri dan ini gabungan partai yang kemarin kumpul kan juga ingin membangun kerja sama politik yang lain. Mestinya ini kan memiliki strategi besarnya apa. Ya masak yang di sini tahu strateginya, kan mestinya nggak seperti itu," tuturnya.
Menurut Jokowi, hal seperti demikian wajar adanya. Dia pun menegaskan bahwa dirinya sebagai pejabat politik juga diperbolehkan untuk membahas mengenai politik.
"Dalam politik itu wajar-wajar saja. Biasa. Dan saya itu adalah pejabat publik sekaligus pejabat politik. Jadi biasa, kalau saya bicara politik ya boleh dong. Ya kan. Saya bicara soal pelayanan publik juga bisa dong. Itu tugas seorang Presiden. Hanya memang nanti kalau sudah ada ketetapan KPU, saya," kata Jokowi sembari tangannya menunjukkan gestur tanda diam.
Adapun usai pertemuan dengan Jokowi pada Selasa malam itu, Prabowo mengaku mendapatkan titipan besar terkait Pilpres 2024.
Selain itu, pada akhir April, Jokowi sempat memanggil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno ke Istana. Sandi mengaku mendapat sejumlah wejangan soal politik dari Jokowi.
Sebelum Sandiaga, Jokowi juga mengundang Prabowo, Zulhas, hingga Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo ke Istana Negara usai Ganjar Pranowo resmi dideklarasikan sebagai capres PDIP.
Bahkan, jauh sebelum ada deklarasi Ganjar sebagai capres, Jokowi pun kerap melemparkan sinyal mendukung calon tertentu dengan melakukan kegiatan bersama mereka. Misalnya, Jokowi mengajak Ganjar dan Prabowo menghadiri panen raya padi di Kebumen pada awal Maret lalu.
Editor : Pahlevi