Optika.id - CEO Personal Growth, Ratih Ibrahim mengamati pola pikir generasi milenial dan generasi z dalam mencari pekerjaan. Dia menilai bahwa mereka lebih cenderung mencari pekerjaan yang enak dengan beban kerja yang sedikit.
Baca Juga: Gen Z Enggan Terima Panggilan Telepon, Benarkah Kena Telephobia?
Kalau perlu tidak usah kerja, bisa gabut, tetapi gaji besar. Fasilitas lengkap, masih bisa sambil main, tidak usah mikir. Itu sifat yang alamiah pada setiap orang, ucap Ratih dalam keterangannya, Kamis (18/5/2023).
Menurutnya, pola pikir tersebut sudah ada sejak generasi x yang merupakan kelompok demografi sebelum generasi milenial dan generasi z. Kelompok milenial terus menggembar-gemborkan mengenai work life balance karena generasi baby boomer harus kerja luar biasa untuk bisa bertahan hidup di tengah situasi perang. Sebesar apapun gajinya, baby boomer harus bersyukur dan bisa tetap bekerja.
Keadaan kemudian sudah membaik ketika masuk generasi berikutnya. Perang sudah berakhir, kehidupan menjadi lebih makmur, dan muncul berbagai macam inovasi yang memudahkan hidup dan dibantu dengan teknologi.
Pada akhirnya, pola pikir generasi-generasi sebelumnya tersebut diturunkan kepada generasi z. Hal ini diperparah karena generasi z rentan terpapar dengan tayangan atau konten di media sosial dan televisi yang menimbulkan delusi. Tayangan tersebut kerap menunjukkan kenikmatan hidup, keseimbangan hidup, foya-foya dimanjakan dengan berbagai kemewahan dan kemudahan.
Padahal, untuk mewujudkan semua cita-cita yang ideal seperti keinginan mereka harus ada harga yang dibayar. Menurut Ratih, pekerjaan yang diidamkan pun belum tentu cocok dengan persyaratan dan kemampuan yang mereka miliki.
Misalnya Ratih memberi contoh, profesi konten kreator. Ratih menjelaskan bahwa apa yang ditunjukkan oleh konten creator yang telah sukses dan berhasil menggaet engagement yang tinggi harus melalui berbagai fase. Belajar, berlatih, dan meningkatkan kualitas diri agar cerdas, ditunjang literasi yang bagus, sehingga menghasilkan konten yang menarik perhatian.
Orang mikirnya gampang saja, dapat duitnya banyak, yang bagian berdarahnya tidak ditampilkan. Semua fatamorgana, tegasnya.
Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa saat ini generasi muda cenderung enggan berusaha secara maksimal dalam tiap pekerjaan yang dilakoninya. Tidak sedikit dari mereka lebih memilih menjadi pengangguran karena bermental instan dan pengemis serta menuntut segala sesuatunya tersedia di muka.
Generasi yang malas bekerja dan menginginkan segalanya dengan mudah ini menurut Ratih bisa menjadi kutukan demografi alih-alih bonus demografi seperti bayangan pemerintah. Usia generasi z yang muda dan produktif tersebut sangat disayangkan apabila tidak pintar, malas, delusional dan tidak berpendidikan sehingga mereka tidak memiliki skill yang cukup untuk meningkatkan kualitas hidup mereka atau sekadar mengangkat finansial mereka.
Itu jadi beban kita yang kerja dan bayar pajak. Apalagi suruh negara yangnanggung. Enggak adil buat yang lain, singgungnya.
Baca Juga: Benarkah Kinerja Gen Z Buruk di Kantor?
Maka dari itu, kemalasan generasi muda ini perlu diberantas. Upaya tersebut harus dilakukan oleh semua pihak yang menjalin kerja sama untuk mengusahakannya. Salah satunya yakni memberikan literasi kepada mereka bahwa pekerjaan adalah hal yang penting untuk kehidupan mereka di masa mendatang. Entah menjadi pekerja lepas, bekerja di kantor, atau menjadi wirausahawan. Ratih pun meminta agar para generasi muda yang terlalu dimanjakan oleh fasilitas dan kemudahan ini tidak mudah diimingi oleh konten yang menunjukkan kemewahan dan delusi lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
No pain no gain. Kalau enggak kerja, enggak dapat penghasilan. Enggak usah dengan kebaikan hati, kita kasihani, jangan diladeni, tegasnya.
Di sisi lain, orang tua juga perlu berperan dalam mengatur generasi muda ini agar tidak menjadi beban di kemudian hari dan terus menjadi benalu yang harus disuapi oleh para orang tua mereka. Para orang tua wajib mengimbau anaknya agar hidup mandiri dan bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya.
Di sisi lain, Ratih mengatakan bahwa ada beberapa cara untuk menghentikan laju generasi yang tidak produktif tersebut. Salah satunya yakni mengatur laju pernikahan dini karena anak-anak muda secara psikologis masih belum siap menjadi orang tua.
Anak-anak muda yang menikah di usia dini, khusus nya karena insiden kenakalan remaja cenderung abai sehingga menelantarkan anak-anak mereka. Hasilnya, anak yang ditelantarkan dan diabaikan tersebut hanya asal rawat, tidak sehat baik segi fisik maupun emosional, maupun gizi dan kemampuan otaknya yang tidak bisa berkembang secara optimal. Menikah di usia muda juga belum siap dari segi lahir, batin, mental, sosial, spiritual maupun finansial.
Upaya lain untuk menghalau laju generasi yang tidak produktif yakni dengan cara pengendalian kelahiran. Para orang tua diimbau agar tidak memiliki banyak anak. Tujuannya yakni agar pengasuhan anak bisa berjalan secara maksimal dan terpenuhi lahir batinnya. Yang ketiga yakni tidak asal kawin cerai.
Baca Juga: Generasi Z Bicara Soal Pernikahan, Dianggap Tidak Penting?
Hal ini dilakukan karena menurut Ratih mereka yang dengan mudah memutuskan kawin-cerai mengindikasikan bahwa mereka tidak siap untuk bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri maupun hidup keluarga mereka.
Cara lainnya yakni dengan disiplin. Ratih menegaskan bahwa mendidik anak ini sama seperti dengan mendidik diri sendiri. Diperlukan kedisiplinan orang tua agar menjadi teladan yang baik bagi anak-anak mereka. Selanjutnya yakni tidak bermalas-malasan. Pasalnya, Ratih melihat saat ini anak cenderung malas karena tidak dilibatkan dalam tugas rumah tangga oleh para orang tua.
Anak perempuan pintar tidak, cakep tidak, mengurus rumah tangga diri sendiri enggak bisa. Anak laki-laki yang sok jagoan. Belajar tidak, mau jadi apa? tanya Ratih.
Maka dari itu, ketika semuanya tidak berjalan sesuai dengan keinginan maka si anak akan mulai menyalahkan orang tuanya. Apabila orang tuanya tidak memenuhi keinginan mereka dan terus menerus memanjakan mereka maka anak-anak tersebut akan melebarkan aksinya hingga tingkat kriminalitas. Oleh sebab itu, Ratih meminta kepada para orang tua agar memberi contoh kepada anaknya agar bekerja keras, tidak bermalas-malasan, dan tidak mudah patah semangat.
Dengan begitu kutukan dari bonus demografi bisa dihindari karena anak mudanya berkualitas, pungkasnya.
Editor : Pahlevi