Para Pendidik Harus Melihat Kecerdasan Buatan Sebagai Peluang dan Kesempatan

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Minggu, 21 Mei 2023 12:08 WIB

Para Pendidik Harus Melihat Kecerdasan Buatan Sebagai Peluang dan Kesempatan

Optika.id - Salah satu perkembangan teknologi yang berinovasi saat ini takni hadirnya kecerdasan buatan artificial intelligence (AI). Kehadiran AI dianggap oleh orang-orang sebagai ancaman bagi banyak jenis pekerjaan karena tergantikan oleh mesin maupun AI yang dianggap lebih cepat, efektif, maupun murah karena tidak mengeluarkan upah per bulannya.

Baca Juga: Google Rilis AI Canggih untuk Mencegah Pencurian Handphone

Dalam kajian terbarunya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan ada potensi sebantak 23 juta orang yang terancam kehilangan pekerjaan pada tahun 2030 sebagai dampak dari AI dan perkembangan teknologi serta digitalisasi itu.

Dia menilai jika karakteristik pekerjaan yang terancam oleh kehadiran AI tersebut merupakan pekerjaan yang terstandarisasi yang memiliki tingkat risiko kecelakaan kerja tinggi, pekerjaan dengan bantuan teknologi, serta pekerjaan yang kurang fleksibel.

"Ada kekhawatiran, pada suatu saat nanti kecerdasan buatan akan menggantikan peran guru atau dosen, ujar Dekan Sekolah STEM Universitas Prasetiya Mulya, Stevanus Wisnu Wijaya dalam keterangan yang dikutip Optika.id, Sabtu (20/5/2023).

Kekhawatiran tersebut dinilai oleh Wisnu bisa disikapi secara positif. dia mengklaim kehadiran AI merupakan sebuah kesempatan untuk mendukung proses pendidikan dan tidak dilihat dari segi ancaman saja. Wisnu mengklaim salah satu manfaat dari kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan yakni seperti memanfaatkan AI sebagai sumber pengetahuan untuk membangun inovasi anyar.

"Dengan kemampuan kecerdasan buatan yang terus berkembang, para guru bisa menggunakan hasil analisis tersebut untuk membuat pemetaan minat dan bakat para siswa, hingga merancang model pembelajaran yang lebih menarik dan menyenangkan," tuturnya.

Dengan memanfaatkan AI dan teknologi lainnya, dia menilai para siswa akan makin kreatif dan berpacu dalam perkembangan arus teknologi itu sendiri. Misalnya menjadi innovator teknologi baru dan co-creator dalam bidang terkait.

Baca Juga: Akar Masalah Struktural Hingga Kultural Perundungan Anak di Sekolah

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Sebagai informasi, Pusat Studi Kebangsaan Indonesia Universitas Prasetiya Mulya mengungkapkan hasil surveinya terkait cara belajar siswa dan bagaimana mereka mendapatkan pengetahuan. Sebanyak 1.600 siswa dari seluruh Indonesia terlibat di dalam survei tersebut.

Hasilnya menunjukkan bahwa para siswa lebih banyak belajar melalui media sosial dan internet. Sebanyak 26% menjawab dari kelas sedangkan 16% lainnya belajar melalui media konvensional seperti buku. Hasil survei tersebut juga menunjukkan adanya tren baru yang bermata dua. Yakni sebagai tantangan sekaligus peluang bagi pendidik karena dalam survei tersebut menunjukkan juga para anak didik Indonesia ingin sebuah proses belajar mengajar yang jauh lebih interaktif dibandingkan konvensional.

"Oleh karena itu, guru perlu mengembangkan metode baru dalam pembelajaran yang lebih interaktif, tanpa mengurangi kualitas muatan ilmu yang disampaikan," ujar Noer Hassan Wirajuda selaku Dekan Sekolah Hukum dan Studi Internasional Prasmul dalam keterangan yang sama.

Baca Juga: Beberapa Catatan Untuk Kurikulum Merdeka Sebelum Resmi Jadi Kurikulum Nasional

Dia mencontohkan, inovasi tersebut bisa dimanfaatkan oleh para pendidik dengan memanfaatkan media sosial, teknologi metaverse, hingga kecerdasan buatan untuk memberikan materi pendidikan secara multimedia, sehingga proses belajar para siswa dimudahkan, interaktif, dan menarik.

Senada dengan Noer Hassan, Ketua Yayasan Guru Belajar, Bukik Setiawan juga menekankan pentingnya penguatan pengembangan kemampuan dan keahlian guru agar tidak gagap teknologi. Idealnya, revisi atau penyesuaian kurikulum harus dilakukan setiap tahunnya untuk mengimbangi pesatnya perkembangan teknologi. Dia juga menyoroti bahwa institusi pendidikan setidaknya harus menyiapkan minimal 20% anggarannya untuk kebutuhan pengembangan guru.

"Perubahan kurikulum per lima tahun saja sudah terasa terlalu cepat, karena pengembangan kapasitas gurunya yang juga berjalan lamban. Salah satu solusi yang bisa dilakukan dengan menambah anggaran dan memprioritaskan program pengembangan kapasitas dan kemampuan guru," ucap Bukik.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU