Optika.id - Mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Anas Urbaningrum, turut mengomentari kabar sudah diputuskannya sistem untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mahkamah Konstitusi (MK) dikabarkan sudah memutuskan menggunakan sistem proporsional tertutup.
Baca Juga: Anas Urbaningrum Dicabut Hak Politiknya Selama 5 Tahun, PKN Sebut Anas Tetap Boleh Jadi Ketum Partai
Anas mengatakan, kembali kepada sistem proporsional tertutup merupakan kemunduran yang nyata. Ia menilai, kembalinya sistem itu menunjukkan telah terjadi arus balik dari perjalanan demokrasi bangsa Indonesia.
Artinya, elite-elite politik kembali diistimewakan, sedangkan pemilih kembali sebagai obyek politik. Anas menekankan, itu sama saja dengan mengembalikan pemilih hanya sebagai ornamen-ornamen dari demokrasi.
"Jika benar sistem proporsional tertutup yang diputuskan oleh MK, sungguh itu arus balik dalam demokrasi kita, langkah mundur yang nyata," kata Anas seperti dikutip Optika.id dari akun Twitter pribadinya, @anasurbaningrum, Senin (29/5/2023).
Terkait sistem pemilu yang akan digunakan di 2024, ia menuturkan, sistem proporsional tertutup nyata-nyata telah terbukti gagal. Sedangkan, untuk proporsional terbuka baru sekadar mengandung kekurangan dalam praktek.
Artinya, sistem proporsional terbuka yang diterapkan di Indonesia belum tentu gagal. Bahkan, Anas menekankan, sistem ini sangat bisa diperbaiki lewat mekanisme internal partai politik dan penguatan kesadaran pemilih.
Anas sendiri mengaku sebagai salah satu yang tidak setuju jika elite-elite partai politik diberikan hak istimewa khusus untuk menentukan siapa yang duduk di legislatif. Yang mana, diakomodir sistem proporsional tertutup.
"Cukup elite-elite partai berwenang melakukan seleksi yang baik dan menawarkan caleg-caleg yang bermutu kepada pemilih. Biarkan pemilih yang menentukan," ujar Anas.
Selain kemunduran, ia mengingatkan, sistem proporsional tertutup akan memindahkan lokasi biaya politik dari area pemilih ke area elit partai. Tidak ada jaminan proporsional tertutup mengoreksi politik biaya tinggi.
Sistem proporsional tertutup akan pula membuat konflik internal yang keras karena berebut nomor urut. Sebab, Anas menambahkan, dalam kesaktian nomor urut itulah nasib caleg-caleg akan ditentukan.
"Pemilih kembali diposisikan sekadar sebagai asesoris demokrasi, cuma pemanis dalam pemilu. Suara pemilih tidak menentukan siapa yang akan menjadi wakilnya karena ditentukan perundingan di tingkat elit partai," kata Anas.
Golkar Minta Proporsional Terbuka
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia meminta pelaksanaan pemilu 2024 tetap dengan sistem proporsional terbuka. Sebab, kata Doli, jika ada perubahan menjadi sistem proporsional tertutup, hanya akan menguras energi.
"Ya kalau Golkar kan sebetulnya posisinya sudah jelas, kami meminta kepada sembilan hakim konstitusi itu bersama dengan 7 parpol yang lainnya ya," katanya, Minggu (28/5/2023).
Golkar, kata Doli Kurnia, telah menegaskan sikap ini sejak awal. Apalagi separuh tahapan pemilu sudah berjalan.
"Kan kita sudah memulai tahapan itu pada 14 Juni. Dan sekarang kan tahapan itu semakin maju, semua orang sudah mendaftarkan bakal calegnya. Semua tingkatan," ucapnya.
Doli berharap sembilan hakim MK konsisten dengan keputusan yang diambil pada 2008. "Yang memang menegaskan bahwa sistem yang kita gunakan adalah sistem sistem proporsional terbuka," ujar dia.
Menurut Doli jika MK ingin melakukan perubahhan pelaksaan sistem pemilu dari terbuka menjadi tertutup, dapat dilaksanakan sebelum tahapan pemilu. "Jadi menurut saya jika ditetapkan berbeda dari yang sekarang, atau yang selama ini sudah berlaku, ini akan menguras energi lagi," katanya.
Terlebih lagi partai politik telah melalui tahapan pendaftaran bacaleg. "Ini akan menguras energi lagi. Ini kan artinya semua partai yang mengusung bacaleg kan udah berarti wasting time gitu loh," katanya.
PBB Setuju Proporsional Tertutup
Sementara itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, pelaksanaan sistem proporsional terbuka dalam pemilu yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, itu bertentangan dengan UUD 1945.
Baca Juga: Lewat Munaslub, PKN Akan Tetapkan Anas Urbaningrum Sebagai Ketum
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Hal itu ia katakan saat membacakan argumentasi yuridis dalam sidang lanjutan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam hal ini terdaftar sebagai pihak terkait dalam perkara nomor 114/PUU-XX/2022 itu.
"Menyangkut penerapan sistem proporsional terbuka bertentangan dengan UUD 1945 karena melemahkan, mereduksi fungsi partai politik, melemahkan kualitas pemilih dan menurunkan kualitas pemilu," kata Yusril di Gedung MK, Rabu (8/3/2023).
Dia menyebut, partai politik (parpol) merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara demokrasi. Namun, dengan adanya sistem tersebut, peran parpol malah terkesan dipinggirkan.
"Eksistensi peran sentral dari parpol menjadi ciri dari negara modern yang kuat. Pentingnya posisi parpol sebagai wadah untuk mengisi keberlanjutan roda pemerintahan. Parpol sudah menjadi ciri dari negara hukum sekarang ini. Melalui partai politik masyarakat menyampaikan gagasan dan perubahan," ujarnya.
Menurut dia, sistem proporsional terbuka yang awalnya bertujuan memisahkan jarak pemilih antara pemilih dan kandidat wakil rakyat, malah melemahkan partai politik.
"Parpol tidak lagi fokus mengejar fungsi sebagai sarana penyalur, pendidikan, partisipasi politik yang benar. Parpol tidak lagi berupaya meningkatkan kualitas programnya yang mencerminkan ideologi partai, melainkan sekadar fokus mencari kandidat suara terbanyak. Di sini letak pelemahan partai politik terjadi secara struktural," tukasnya.
"Partai tidak lagi fokus membina kader-kader muda secara serius untuk kepentingan jangka panjang ideologi partai, melainkan mencari jalan pintas mencari calon populer dan figur terkenal yang nyatanya belum tentu bisa bekerja dengan baik," sambungnya.
Gugatan Uji Materi UU No 17/2017
Sebagai informasi, bergulirnya isu sistem proporsional tertutup untuk diterapkan pada Pemilu 2024 bermula dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke MK.
Gugatan ini telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022.
Baca Juga: Setelah Bebas Murni, Anas Urbaningrum akan Kembali ke Dunia Politik
Para pemohon mengajukan gugatan atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Dalam sidang yang digelar pada Kamis (26/1/2023) lalu, Pemerintah menyatakan bahwa sistem proporsional terbuka merupakan mekanisme terbaik dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia.
Hal ini disampaikan Dirjen Politik dan PUM Kemendagri Bahtiar yang mewakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menkumham Yasonna Laoly sekaligus Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Pleno Pengujian Materil Undang-Undang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi.
Sementara, Anggota DPR RI Fraksi PDIP Arteria Dahlan menyatakan pihaknya mendukung penerapan sistem proporsional tertutup.
Fraksi Partai Demokrasi Indonesia lebih memilih sistem proporsional tertutup. Sikap ini berbeda dengan sikap 8 fraksi partai di DPR RI, kata Arteria Dahlan di hadapan Hakim MK.
Sementara Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Golkar, Supriansa membacakan pandangan 8 Fraksi partai politik di DPR RI, yang menolak penerapan sistem proporsional tertutup dalam Pemilu.
Kami menolak sistem proporsional tertutup. Sistem Proporsional tertutup merupakan kemunduran demokrasi kita, kata Supriansa di hadapan Hakim Konstitusi.
Supriansa menjelaskan sejumlah argumentasi lain, di antaranya bahwa sistem proporsional terbuka yang diterapkan sejak era reformasi ini sudah tepat dilakukan.
Sehingga ia berharap Mahkamah Konstitusi tetap mempertahankan sistem ini di Pemilu 2024 mendatang.
Editor : Pahlevi