Penggunaan Jamu dalam Dunia Medis, Etnomedisin Berbalut Tradisi?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Kamis, 01 Jun 2023 13:32 WIB

Penggunaan Jamu dalam Dunia Medis, Etnomedisin Berbalut Tradisi?

Optika.id - Jamu merupakan salah satu dari sekian banyaknya ilmu pengobatan tradisional yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang bangsa Indonesia.

Baca Juga: Kesehatan dan Alkohol: Apa yang Harus Anda Ketahui?

Jauh sebelum pengobatan medis saat ini berkembang, metode pengobatan tradisional ini sudah tercatat dalam berbagai naskah kuno. Akan tetapi, keberadaan jamu sebagai salah satu sarana obat tradisional atau herbal ini masih belum sepenuhnya dimanfaatkan atau diintegrasikan ke dalam ilmu pengobatan modern.

Di sisi lain, jamu sebagai bentuk kearifan lokal ini posisinya juga terancam oleh dominasi industri kesehatan modern. Bahkan, apabila tidak dilestarikan atau diajarkan maka khazanah literature dari jamu ini mungkin bakal dilupakan oleh generasi pewaris nantinya.

Terkait isu medis khususnya pengobatan tradisional, dalam ilmu antropologi digolongkan menjadi salah satu kajian yang disebut sebagai etnomedisin. Ringkasnya, etnomedisin merupakan salah satu bidang kajian etnobotani yang membahas perihal pengetahuan lokal berbagai etnis dalam menjaga kesehatan masyarakatnya, salah satunya adalah jamu.

Melansir dari hasil penelitian Balitbankes bertajuk Jamu dan Kesehatan edisi II, dikutip Optika.id, Kamis (1/6/2023) menyebut bahwa ada sekitar 30,4% rumah tangga di Indonesia yang memanfaatkan layanan kesehatan tradisional. Yang mana ada 77,8% rumah tangga yang memanfaatkan jenis pelayanan kesehatan tradisional keterampilan tanpa alat, dan 49,0% rumah tangga yang memanfaatkan ramuan untuk mengatasi keluhan penyakitnya.

Data dari Riskesdas pun menunjukkan sebanyak 60% penduduk dengan usia di atas 15 tahun tercatat pernah mengonsumsi jamu sejak dini, sedangkan 90% di antaranya mengakui adanya manfaat setelah meminum jamu.

Data-data tersebut diperkuat dengan hasil riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menrinci adanya 30.000 jenis spesies tanaman obat yang tumbuh di Indonesia dari total 40.000 spesies yang ada di seluruh dunia.

Hal ini tentu menarik perhatian lantaran medis internasional mulai melirik pengobatan tradisional ini sebagai alternative. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), pihaknya telah sepakat untuk memajukan pemanfaatan pengobatan tradisional yakni sebagai complementary medicine atau pelengkap medis bagi kesehatan masyarakat modern.

Adapun istilah yang dipakai oleh WHO dalam merujuk jamu atau obat tradisional ini yakni traditional medicine,complementary and alternative medicine,integrative medicine,medical herbalism, phytotherapy,natural medicine, dan lain sebagainya. Dalam kerangka itulah, WHO mendorong pemanfaatan, keamanan dan khasiat pengobatan tradisional untuk dapat ditata melalui kerangka regulasi.

Sementara itu, merujuk pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Indonesia juga turut mendorong proses revitalisasi pengobatan tradisional. Regulasi ini menjadi payung hukum perihal penyelenggaraan kesehatan nasional sekaligus mengadopsi spirit revitalisasi obat-obatan tradisional tersebut.

Baca Juga: Kenali Penyebab Kesemutan pada Wajah dan Waktu yang Tepat untuk Konsultasi

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kebijakan revitalisasi ini telah tertera pada Pasal 1 ayat (4), (9) dan (16) serta dibahas pula dalam sebuah bab tersendiri yaitu Bagian Ketiga perihal Layanan Kesehatan Tradisional, dari Pasal 59 61.

Sementara itu, pemerintah juga diberi mandate untuk selalu menjaga kelestarian obat tradisional hingga memastikan ketersediaan bahan bakunya. Ini didasarkan pada Pasal 100 dan 101 UU 36 Tahun 2019 tersebut. Di samping itu, masyarakat diberikan kesempatan untuk mengolah, memproduksi, mengembangkan, mengedarkan dan menggunakan obat tradisional secara bertanggung jawab agar terjamin manfaat dan keamananya.

Sumber obat tradisional yang sudah terbukti berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan, pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan kesehatan tetap dijaga kelestariannya, bunyi Pasal 100 ayat (1) UU No 36 tahun 2009 itu. Dikutip Optika.id, Kamis (1/6/2023).

Pasal tersebut menandakan bahwa walaupun jamu-jamu yang dijadikan masyarakat sebagai obat herbal dan tradisional, namun peredarannya tidak serta merta dilarang begitu saja. Sebaliknya, pemerintah wajib untuk memberikan perlindungan agar kearifan lokal nusantara itu tetap terjaga.

Meskipun katakanlah tidak dilarang dalam proses penyebarannya, demikian status klaim khasiat jamu belumlah divalidasi secara ilmiah. Di sini basis legitimasi jamu yakni berbasis penerimaan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat, namun bukan berbasis validasi ilmiah secara rasional.

Baca Juga: 5 Perubahan Warna Lidah yang Mengungkap Kondisi Kesehatan Anda

Hal ini dijelaskan dalam Pasal 104 ayat (2) yang mengatur tentang ketentuan tata kelola obat tradisional. Dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa pemanfaatan dan tata kelola obat tradisional tersebut harus dilakukan secara rasional.

Artinya, obat tradisional alias jamu tadi sebelum dipatenkan dan menjadi produk fitofarmaka. Artinya, produk tersebut harus melalui serangkaian proses uji pre-klinik dan uji klinik. Ditambah dalam prosesnya haruslah terpaku pada standarisasi penggunaan bahan baku dan dibuat menggunakan fasilitas produksi yang memenuhi standar CPOTB (Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik).

Ketat dan rumitnya serangkaian persyaratan jamu menjadi produk kategori fitofarmaka ini bukan tanpa sebab lantaran apabila obat jamu tersebut dipatenkan, maka kedudukannya akan setara dengan obat sintetis modern lainnya (pil, kapsul, dan lain sebagainya).

Oleh karena itu, pemanfaatan jamu secara klinis ini bisa diresepkan oleh dokter atau pihak yang berwenang suatu saat nanti. Akan tetapi, dari dulu hingga sekarang, jumlah produk jamu yang tergolong dalam status fitofarmaka di Indonesia masih terbilang sedikit sekali.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU