Benarkah Penjajahan Jepang Sebiadab Itu?

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 23 Jun 2023 14:17 WIB

Benarkah Penjajahan Jepang Sebiadab Itu?

Optika.id - Periode penjajahan Jepang selalu digambarkan kekejaman tanpa keceriaan sedikit pun, apakah Jepang sebiadab itu?

Baca Juga: Buya Hamka dan Kapal Van Der Wijck

Masa pendudukan selalu diidentikkan dengan kekejaman. Penindasan, pemerkosaan dan perampasan menjadi kata kunci dalam memaknai kengerian penjajahan Jepang. Pria berseragam tentara, berkulit Asia, mengacungkan senapan dan melempar bom seolah-olah datang dari neraka yang disebut Jepang.

Kuasa dan kontrol membakar keringat serta darah dalam keterpaksaan. Perang, pemberontakan dan penguburan massal tertambat dalam memori kolektif. Tiada kebahagiaan, tiada kegembiraan, yang ada hanya luka, nestapa dan derita. Begitulah gambaran umum periode paling kelam dalam sejarah Indonesia?

Menurut Aiko Kurosawa dalam Kuasa Jepang di Jawa :Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945, kebijakan politik Jepang di Indonesia mengarah pada upaya menghimpun kekuatan militer serta menunjang kebutuhan perang. Sehingga kepentingan Jepang berkutat pada penyediaan logistik dengan mengusahakan transformasi pertanian dan ekploitasi tenaga kerja (Romusha). Selain itu, Jepang menghimpun kekuatan militer melalui propaganda, indoktrinasi kiai pedesaan dan mobilisasi massa serta yang terpenting membangun wadah aktualisasi berbasis militer.

Demi mewujudkan ambisi Jepang, masyarakat pribumi harus menelan pengalaman pahit Romusha yang menyulap pekerja sehat menjadi penyandang gizi buruk dengan tubuh kurus kering kerontang.

Sementara Harry J. Benda dalam Bulan Sabit dan Matahari Terbit : Islam Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang menggambarkan masa pendudukan Jepang sebagai babakan baru sejarah Indonesia yang bernuansa politik dan militer. Islam dimanfaatkan Jepang untuk mengambil simpati masyarakat sehingga melancarkan agenda-agenda yang mendukung kepentingan perang.

Baca Juga: Maulid Nabi Ternyata Bukan Syiah yang Mengawalinya

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Yang tidak kalah seram Anna Mariana dalam Perbudakan Seksual : Perbandingan Antara Masa Fasisme Jepang dan Neofasisme Orde Baru menggambarkan masa pendudukan Jepang yang merepresentasikan kekerasan seksual, pemerkosaan dan perbudakaan seks. Kisah Jugun Ianfu beserta aib sosial yang menebar teror dan trauma bagi korban-korbannya.

Akan tetapi, seyogyanya kehidupan bukanlah surga atau neraka yang secara radikal merepresentasikan kenikmatan dan kebiadaban. Oleh karena itu, tentu terdapat kisah bahagia kaum pribumi dibalik narasi besar kekejaman.

Koran Het Volksdagblad: dagblad voor Nederland, edisi 22 Maret 1939 menulis ketika tentara Jepang mendarat ke Surabaya, wilayah Ketabang dengan enam gedung perkumpulan, sebuah lapangan tenis dan kolam renang di ambil alih untuk dijadikan markas militer. Pada tahun 1939, Jepang membangun sekolah umum yang ditujukan untuk sekitar 150 anak-anak untuk kepentingan propaganda.

Baca Juga: Di Jepang, Prabowo Unggul dari Anies dan Ganjar

Anak-anak Jawa dari keluarga menengah ke atas dapat berpartisipasi dalam olahraga lari dan senam Taishou yang menyelipkan unsur-unsur pendidikan kedisiplinan militer.

Dalam Zutphensche Courant edisi 2 Maret 1942 menggambarkan pada peringatan Kekaisaran Jepang ke-26, Kota Surabaya begitu meriah. Anak-anak nampak riang gembira sewaktu bermain tarik tambang. Setelah Indonesia merdeka, perayaan beralih dari tanggal 2 Maret sebagai peringatan ulang tahun Kekaisaran Jepang diganti ke tanggal proklamasi kemerdekaan 17 Agustus.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU