Pekerja Gig Economy, Diminati Namun Rentan Eksploitasi

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Jumat, 21 Jul 2023 13:26 WIB

Pekerja Gig Economy, Diminati Namun Rentan Eksploitasi

Optika.id - Geliat industri kreatif kini marak digemari oleh kawula muda. Industri kreatif dinilai lebih fleksibel dan sesuai dengan ritme kerja anak muda saat ini.

Artha mengaku sudah menjalani pekerjaan sebagai desain grafis lepas bidang digital selama dua tahun. Perempuan lulusan Universitas Mercu Buana ini mengaku lebih nyaman bekerja secara independen dibandingkan menjadi karyawan kantoran.

Menurutnya, tekanan kerja kantoran lebih berat namun penghasilannya tidak seberapa dengan apa yang dia lakukan sekarang. Dia mengaku jika bisa meraup penghasilan paling tidak sebesar Rp6 juta dalam seminggu kala menekuni pekerja lepasnya ini.

Kendati demikian, menjadi pekerja independen tak selamanya manis. Artha menjelaskan jika pekerja lepas seperti dirinya rentan dari perlindungan jaminan sosial. Alhasil, ketika situasi darurat, para pekerja independen ini luput dari sentuhan pemerintah.

Saat pandemi parah-parahnya bulan Juni lalu, saya benar-benar tidak mendapatjob, sama sekali tidak punya penghasilan, katanya kepada Optika.id, Kamis (20/7/2023).

Lebih lanjut, Artha mengatakan sering mengalami penundaan pembayaran honorarium padahal konten yang dipesan sudah dipakai oleh pemesan. Menurutnya hal tersebut terjadi lantaran tidak ada hitam di atas putih dan tidak ada perjanjian tertulis yang mengikat.

Pekerja independen memang rentan mendapatkan perlindungan. Hal ini karena mereka masuk ke dalam sistem gig economy atau ekonomi gig. Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Telisa Aulia Falianty dalam tulisannya berjudul FenomenaGig Economy, Informalitas dan Prekariat di Pasar Kerja, danPancemic Economy menjelaskan jika gig economy adalah sistem kerja yang umumnya lembaga atau perusahaan lebih memilih untuk merekurt pekerja independen atau kontrak jangka pendek ketimbang jangka panjang.

Sementara itu, dalalm buku Menyoal Kerja Layak dan Adil dalam Ekonomi Gig di Indonesia, Yeremias T. Keban, Ari Hernawan dan Arif Novianto menyebut jika pekerja gig ini tumbuh di tengah perkembangan teknologi digital yang pesat.

Tren ekonomi gig iniberkembang di negara-negara maju. Inggris, misalnya. diperkirakan di Inggris ada sebanyak 1,1 juta orang yang bekerja dalam pusaran ekonomi gig sedangkan di Amerika Serikat sekitar 16% warga dengan rentang usia 18 29 tahun merupakan pekerja gig.

Sementara itu di Indonesia sendiri ada sekitar 4.55ri total tenaga kerja produktif atau sekitar 5,89 juta orang yang bekerja sebagai pekerja gig.

Jumlah tersebut menurut mereka akan bertambah dari tahun ke tahun. Di sisi lain, mereka menyebut jika media, akademisi dan politisi menilai jika ekonomi gig merupakan bentuk ekonomi masa depan di tengah perkembangan teknologi dan informasi yang kian pesat.

Sementara itu, Koordinator Divisi Advokasi Sindikasi, Bimo Aria Fundrika menganggap jika menjamurnya tren pekerja gig ini lantaran adanya tekanan ekonomi karena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) imbas dari pandemi Covid-19. Selain itu, banyak karyawan beralih menjadi pekerja lepas karena ingin lebih bebas mengatur waktu dan upah lebih besar.

Namun, di balik nilai positif tadi, Bimo menyebut ada kerentanan kerja berlebihan dan lambannya honorarium yang sering menghantui para pekerja independen lantaran fleksibilitas kerjanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mereka yang kerja fleksibel, dituntut bisa kerja di mana saja dan kapan saja. Banyak dari mereka diminta revisi (pekerjaan) di tengah malam, ucap Bimo kepada Optika.id, Kamis (20/7/2023).

Masalah yang muncul menurut Bimo diduga karena banyak pekerja lepas yang tidak menggunakan kontrak kerjanya lebih dahulu sebelum menerima tawaran dari klien. Pada tahun 2022 lalu Bimo mengaku jika Sindikasi pernah melakukan riset terhadap hal tersebut dan hasilnya sebanyak 60ri pekerja lepas tidak memiliki kontrak kerja yang mengikat.

Alhasil, konsekuensinya mereka tidak memiliki jam kerja yang jelas, jam kerja lebih panjang, bahkan tanpa biaya lembur.

Padahal dalam Pasal 77 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disitu sudah disebutkan bahwa pengusaha wajib melaksanakan ketentuan jam kerja dalam dua sistem, tutur Bimo.

Yang pertama adalah tujuh jam dalam sehari atau setara 40 jam dalam seminggu untuk enam hari kerja dalam 7 hari. Yang kedua, delapan jam dalam sehari, setara dengan 40 jam seminggu untuk lima hari kerja dalam seminggu.

Sementara itu, pekerja independen yang masih menganggap remeh kontrak kerja juga mengakibatkan klien semena-mena dengan mengulur waktunya membayar honor sesuai dengan waktu yang ditentukan.

"Bahkan banyak juga yang mengaku ke kami, mereka tidak dibayar setiap pekerjaannya selesai," imbuh Bimo.

Di sisi lain, profesi pekerja lepas yang tidak bernauh di bawah satu lembaga perusahaan menurut Bimo masih luput dari jaminan sosial pemerintah. Akhirnya, mereka tidak memiliki BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

Oleh sebab itu, Bimo mendesak agar pemerintah lebih perhatian terhadap pekerja independen yang jumlahnya kian bertambah. Hal tersebut tentunya harus diiringi dengan perlindungan pekerja lantaran masih banyak pekerja yang rentan dan mudah terjebak pada hubungan kerja yang tak sehat.

Dari kami, harus ada aturan hukum yang jelas soalfreelancer. Saat ini, UU Ketenagakerjaan masih belum terlalu jelas (mengatur pekerja lepas), tuturnya.

Lebih lanjut, Sindikasi juga sudah menyusun pedoman kontrak kerja bagi pekerja gig ini agar terlindung secara hukum dan win-win solution ketika menghadapi klien. Tujuannya agar problem-problem tersebut teratasi.

"Untuk lebih menguatkan teman-teman juga. Kalau ada masalah, sudah ada kekuatannya," pungkasnya.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU