Politik Indonesia Masih Terlalu Maskulin Untuk Perempuan

author Uswatun Hasanah

- Pewarta

Senin, 14 Agu 2023 14:19 WIB

Politik Indonesia Masih Terlalu Maskulin Untuk Perempuan

Optika.id - Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) sekaligus aktivis perempun, Dian Septi Trisnanti angkat bicara perihal para pemilih perempuan yang suaranya direbutkan jelang pemilu serta kegamangan yang mereka alami pada tahun politik. Menurut Dian, ada dua penyebab yang melatarbelakanginya yakni watak politik Indonesia yang masih maskulin dan yang kedua adalah kepentingan perempuan di parlemen tidak terwakili sama sekali.

Baca Juga: Berikut Ini Sejumlah Nama Baru yang Punya Potensi Lolos ke DPRD Kota Surabaya Dapil II

Apa yang disebut watak maskulin? Itu adalah yang tidak berpihak kepada perempuan, agresif, tidak kolaboratif, tidak mencerminkan atau tidak merepresentasikan problem-problem perempuan, ucap Dian kepada Optika.id, Senin (14/8/2023).

Dijelaskan oleh Dian, watak maskulin yang dimaksud bisa dilihat dari dominasi laki-laki di dunia politik dan berapa kuota perempuan untuk duduk di kursi perpolitikan. Di sisi lain, tokoh politik dari kalangan perempuan juga kerap melanggengkan watak maskulinitasnya. Misalnya adalah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dengan kebijakan-kebijakannya yang dianggap tidak berpihak kepada perempuan.

Dian menjelaskan contoh lainnya adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2003 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Dalam regulasi itu, imbuh Dian, industri padat karya diizinkan memotong upah buruh sebesar 25%.

Itu kan sangat tidak perempuan karena perempuan yang paling tahu bagaimana kebutuhan hidup sehari-hari di dapur. Ketika perempuan bekerja, perempuan yang paling tahu bahwa upahnya tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari, jelas Dian.

Dian pun menegaskan bahwa kinerja partai politik di DPR turut serta memengaruhi sikap pemilih perempuan. Pasalnya, saat ini banyak regulasi dan kebijakan yang dianggap pro kaum perempuan mengalami kemandekan di parlemen bahkan lamban untuk sekadar disahkan. Misalnya, RUU TPKS yang baru disahkan. Keberhasilan UU TPKS tersebut menurut Dian tidak bisa dilepaskan dari gerakan masyarakat sipil.

Lebih lanjut, watak patriarkal partai politik tercermin dari kebijakan pemberian nomor urut untuk bacaleg. Perempuan yang ingin menjadi wakil rakyat kerap diberikan nomor urut yang tidak potensial. Alhasil, Dian menilai jika perempuan hanya terkesan dikejar-kejar menjadi caleg hanya utnuk memenuhi syarat kuota 30% saja.

Baca Juga: Ahmad Labib, Wajah Baru Golkar yang Lolos ke Senayan dari Dapil Jatim X

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Di tengah situasi politik perempuan yang merepresentasikan perempuan masih minim, kebayang kan betapa sulitnya untuk memunculkan politik independensi perempuan. Jadi, pemilih muda perempuan kenapa tidak memilih karena enggak ada harapan, merasa enggak relate. Suaranya enggak sampai, kata Dian.

Senada, menurut Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menegaskan bahwa saat ini perempuan tidak bisa dipandang sebagai entitas tunggal di ranah politik. Dalam perempuan, sambungnya, tersemat identitas liyan seperti etnis, agama, dan latar belakang organisasinya.

Identitas tersebut menurut Nisa turut serta disematkan sehingga memengaruhi ke manapun pilihan pemilih perempuan. Selian itu, banyaknya pemilih perempuan urung menentukan pilihan bisa jadi lantaran parpolnya belum tegas menentukan gagasan apa yang dibawa untuk kepentingan perempuan.

Baca Juga: Empat Caleg DPD RI Jatim yang Berpeluang Lolos ke Senayan: Ponakan Khofifah Berpotensi Gusur Kondang

Bukan cuma kebijakan yang spesifik perempuan, misalnya perkawinan, kesehatan reproduksi, dan lain sebagainya, tapi juga isu lain yang berdampak pada perempuan, seperti kesehatan dan ekonomi. Itu kan isu umum, tapi dampaknya ke perempuan, ucap Nisa kepada Optika.id, Senin (14/8/2023).

Nisa memandang wajar apabila keberpihakan parpol terhadap kaum perempuan dipersoalkan apabila basisnya kinerja kader di parlemen. Dia mencontohkan adanya RUU TPKS yang baru-baru ini disahkan hanya setelah didorong dari berbagai kelompok perempuan dan masyarkat sipil di luar parlemen, serta masih mandeknya RUU PPRT tanpa kejelasan apapun.

Jadi, ya, itu tadi kenapa kemudian dari sisi perempuan belum menentukan mau pilih yang mana. Itu karena gagasan-gagasan dari partai politik ini belum ada yang terlihar secara spesifik mau memperjuangkan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap perempuan, pungkas Nisa.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU