Melegalkan Praktek Politik Uang = Pendidikan Politik Yang Buruk

author Dani

- Pewarta

Kamis, 16 Mei 2024 19:12 WIB

Melegalkan Praktek Politik Uang = Pendidikan Politik Yang Buruk

Oleh: Cak Ahmad Cholis Hamzah

Baca Juga: Di Tempat Saya Satu Bungkus Nasi Rp 5.000,-

Surabaya (optika.id) - Ketika saya membuka tayangan video FNN nya mas Hersubeno tentang ada anggota parlemen yang terhormat mengusulkan agar politik uang atau money politics dalam pemilu itu dilegalkan saja. Mungkin saya salah satu diantara banyak orang yang terkejut tentang usulan melegalkan politik uang karena itu merupakan bad political education atau pendidikan politik yang jelek bagi masyarakat.

Seperti diketahui anggota Komisi II DPR Fraksi PDI-P Hugua mengusulkan agar praktik politik uang atau money politics dalam kontestasi pemilu dilegalkan. Hugua mengatakan, money politics seharusnya dibolehkan, namun tetap diatur batasannya dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Hal tersebut Hugua sampaikan dalam rapat bersama KPU, Bawaslu, Mendagri, dan Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024). Hadir dalam rapat tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy'ari, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Menurut Hugua, money politics kini merupakan keniscayaan ini. Dia menyebut, jika tak memberikan uang sebagai bentuk politik uang, maka tidak akan ada rakyat yang memilih. "Jadi kalau PKPU ini istilah money politics dengan cost politics ini coba dipertegas dan bahasanya dilegalkan saja batas berapa, sehingga Bawaslu juga tahu bahwa kalau money politics batas ini harus disemprit," jelas Hugua.

Saya lalu browsing semua pendapat tentang money politics di dunia maya terutama jurnal internasional dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, semua pendapat akademis dalam jurnal itu menyatakan bahwa money politics itu merupakan hal yang buruk dalam negara demokrasi dan merupakan tindak pidana yang sudah diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dibagi dalam 3 kategori yakni pada saat kampanye, masa tenang dan saat pemungutan suara. Karena money politik termasuk perbuatan pidana yang ancaman hukumanya tidak main main. Dalam Undang-undang pemilu pasal 280, juga ditegaskan bahwa peserta dan tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu.

International Institute for Democracy and Electoral Assistance didirikan pada tahun 1995, yang merupakan sebuah organisasi antar pemerintah yang beranggotakan negara-negara dari semua benua lebih jauh mengelaborasi tentang isu politik uang dalam demokrasi. “For democracies to function properly and meet the needs of citizens, they need to be adequately resourced. It is therefore unavoidable to talk about money when discussing the conduct of elections, running a government, drafting laws and running public services.” (“Agar demokrasi berfungsi dengan baik dan memenuhi kebutuhan warga negara, mereka perlu sumber daya yang memadai. Oleh karena itu tidak dapat dihindari untuk berbicara tentang uang ketika membahas pelaksanaan pemilihan, menjalankan pemerintahan, menyusun undang-undang dan menjalankan layanan publik.

Baca Juga: Komunikasi Politik Yang Menyentuh Perasaan

Selanjutnya dijelaskan bahwa praktek money politics itu rentan terjadi abuse of power. “Abuse of money in politics can undermine the running of a democratic system. Through corruption, money can be used to influence democracy actors and institutions to favour certain groups and their interests. Unbridled use of funds by candidates and political parties can make the playing field for elections uneven. Illicit funds by organized crime can lead to inefficient or disrupted public services.” (penyalah gunaan uang dalam politik dapat merusak jalannya sistem demokrasi. Melalui korupsi, uang dapat digunakan untuk mempengaruhi aktor dan institusi demokrasi untuk mendukung kelompok tertentu dan kepentingan mereka. Penggunaan dana yang tidak terkendali oleh kandidat dan partai politik dapat membuat lapangan bermain untuk pemilihan tidak merata. Dana gelap oleh kejahatan terorganisir dapat menyebabkan layanan publik tidak efisien atau terganggu. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Memang saat ini masyarakat mengetahui fakta dilapangan bahwa seorang kandidat parlemen, kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah selalu memberikan (= menyogok) pemilih dengan menggunakan iming-iming uang. Kalau tidak yang bersangkutan tidak akan terpilih – begitu yang diucapkan anggota DPR itu.

Mas Hersubeno dalam tayangan videonya mengatakan bahwa praktek seperti itulah yang menyebabkan seorang calon bila terpilih untuk melakukan korupsi agar bisa mengganti atau kompensasi uang yang sudah dikeluarkan. Memang uang yang keluar tidak tanggung-tanggung – menjadi kepala daerah itu ada yang mengatakan butuh dana Rp 20-30 milyar untuk dana kampanye termasuk didalamnya untuk melakukan praktek politik uang. Selanjutnya mas Hersu – begitu saya memanggilnya – mengatakan masyarakat juga korup karena tidak akan menerima jumlah money politik yang sedikit dan akan memilih calon lain karena tawaran money politicsnya lebih banyak.

Baca Juga: Pelajaran dari Kejadian di Kenya

Menurut saya sejatinya masyarakat tidak korup, namun “terdidik” untuk menjadi pragmatis. Kita bisa membayangkan bila ada pemilih yang miskin, yang kalau mau makan saja harus rela berdiri lama di antrian pembagian beras, lalu diiming-imingi uang yang tidak seberapa -tapi bagi dirinya sangat berarti – maka yang bersangkutan akan tergoda untuk menerima uang sogokan itu. Ajaran agama yang mengajarkan bahwa orang yang nyogok/menyuap dan orang-orang yang menerima uang sama-sama dilaknat Rasulullah – itu tidak dihiraukan karena kondisi yang kepepet tadi.

Karena itu usulan sogokan uang atau politik uang agar dilegalkan saja sejatinya adalah upaya untuk mendidik orang untuk keluar dari ajaran agama dan moral untuk mau menerima uang sogokan itu.

Itu juga merupakan pendidikan politik yang buruk bagi demokrasi.

Editor : Pahlevi

BERITA TERBARU