San Fransisco, Davis, California yang Sensasional

Reporter : optikaid
San Fransisco, Davis, California yang Sensasional

[caption id="attachment_12100" align="alignnone" width="136"] Oleh Dr Sirikit Syah. Jurnalis dan Sastrawan Senior Surabaya[/caption]

Negara asing pertama yang kukunjungi dalam hidupku adalah Jepang (1986 dan 1988). Negara kedua Perancis (1993), dan ketiga yang Amerika Serikat (1994-1995, kelak tahun 2004 dan 2008 saya ke Amerika lagi). 

Baca juga: Ambang Kehancuran Meksiko

Di AS, aku pertamakali mendarat di bandara San Fransisco. Sampai sekarang masih terasa sensasinya. Kalau di Jepang melihat orang-orang berperawakan pendek-pendek berkepala hitam-hitam (kayak semut keluar dari sarangnya bila dilihat dari seberang stasiun Shinjuku pada jam awal kerja atau usai makan siang), di bandara San Fransisco yang besar ini kemana-mana aku menoleh, kelihatan orang bule-bule, tinggi-tinggi, berambut pirang. Suasana airport hiruk pikuk. Agak grogi juga karena ini pengalaman pertama menginjakkan kaki di bumi Amerika, dan aku harus cari-cari gate ke pesawat domestik, sendirian, di negara dan suasana yang sangat asing.

Untung papan penunjuk pakai bahasa Inggris, mudah bagiku untuk menemukan jalan (waktu di Jepang dulu semua pakai huruf kanji, aku sering get lost. Tapi sekarang mungkin sudah ada bahasa Inggrisnya ya?). Dari sini aku harus pindah pesawat yang lebih kecil, pesawat domestik (semacam Susi Air di wilayah-wilayah terpencil Indonesia). Tujuannya ke ibu kota California, kota tua dan kecil bernama Sacramento (ya, ibukota California bukan San Fransisco atau LA, melainkan Sacramento). Tiba di bandara kecil ini, panitia dari UCLA (University of California Los Angeles) sudah menjemput dengan kendaraan semacam pick-up. Dia ternyata menjemput satu orang lagi yang sama-sama akan menuju kota lebih kecil lagi bernama Davis. Jadi, kampus tempatku menuju adalah kampus UCLA, Davis. 

Waktu itu aku mendapatkan fellowship Humphrey yang sangat prestisius (biasanya untuk kalangan professional), untuk berkuliah satu tahun di bidang yang sesuai profesi (aku sebagai wartawan SCTV-RCTI), mengikuti berbagai seminar dan konferensi, serta magang di lembaga media. Setiap tahun Indonesia hanya menseleksi 2 atau 3 kandidat saja. Kalau tidak salah, zaman saya itu (1994-1995) ada satu fellow dari Jakarta dan satu dari Papua. Karena kampus dimulai bulan September dan aku sudah tiba di bulan Agustus, aku diikutkan Summer Program (Summer Course) yang temanya American Culture and Media, sangat cocok denganku. Ini hanya program pemanasan, karena studiku yang 1 tahun (atau 10 bulan) nantinya di Syracuse University, Syracuse, New York. Sungguh dua wilayah AS yang sangat berbeda. Satunya banyak sinar matahari, satunya bersalju. Aku beruntung.

Kami tiba di kampus UCLA Davis dan diterima secara formal oleh pengelola Summer Program, lalu diperkenalkan dengan host/ibu kos kami selama di kota Davis. Host (atau hostess ya karena dia perempuan) bernama Janet Saunders, sedikit lebih tua dari aku, seusia kakakku, agak gemuk, wajah tidak terlalu ramah. Dari kampus kami menuju ke rumahnya, dia menyetir sendiri mobilnya. Di mobil kami bercakap-cakap, dan tampaknya dia mulai kelihatan lega karena bahasa Inggrisku lancar sehingga percakapan berjalan baik (kelak kuketahui, dia juga ada anak kos lain dari Brazil yang gak bisa bahasa Inggris sama sekali, jadi mereka gak pernah omong-omongan).

Kami tiba di rumahnya. Dia tinggal sendiri. Anak lelakinya dinas di luar kota. Suaminya .. Hmm aku tidak bertanya dan dia tidak menjelaskan.  Dia menunjukkan kamarku, dapur, kamar mandi, dan ruang-ruang lain di rumahnya, kemudian membiarkanku sendirian. Aku istirahat sampai tertidur cukup lama. Ketika bangun, dia mengkomunikasikan perihal makanan.

Kamu biasanya makan apa? Ikan? Daging? Sayur?

Baca juga: Meraih Kemerdekaan dan Kedigdayaan: Amerika Serikat Melompat Jauh ke Depan

Saya makan apa saja: ikan, daging, ayam, sayur, buah, nasi ..

Dia kelihatan shock. Wow, kau makan apa saja? Maaf ya, saya vegan. Di kulkas hanya ada sayur dan keju. Kalau kau mau makan daging atau ayam, kau beli saja ya.

Aku yang jadinya shock. Ingat ibu di rumah, kalau ada temanku datang atau menginap, gak akan pakai bayar, berapa lamapun dia menginap, dan disediakan aneka makanan. Di sini, aku harus membayar sekian ratus dolar dan makanan hanya ada sayur, roti, dan keju. Sedih juga aku. Ternyata dia Yahudi, mungkin dia juga makan makanan kosher (halal), lalu daripada ribet cari daging kosher di kota kecil semacam Davis, dia menjadi vegan/vegetarian.

Hari pertama di AS, di sebuah kota kecil Davis, di rumah seorang perempuan Yahudi, dengan seekor anjingnya, anak kos satunya belum tampak batang hidungnya, aku sangat kelaparan, perjalanan dari Indonesia sangat panjang. Aku hanya makan setangkup roti berisi selada dan irisan keju. Seketika aku rindu kampung halaman, membayangkan makan malam soto ayam atau bakmi Yogya.

Baca juga: The Sage of Monticello, Kisah Anak Ajaib dari Perkebunan Virginia

Kehidupan di Davis selama 1 bulan cukup menarik kujalani. Antara lain menjemur baju bajunya jadi kering kaku gak bisa dilipat, saking panasnya cuaca summer di Davis, diminta bantuan angon anjing ibu kos alias ajak anjing jalan-jalan keliling taman, berdiskusi tentang perkawinan dengan teman dan tetangga ibu kos yang kebanyakan feminis, dinamika di kelas musim panas bertajuk American Culture and Communication, dll. Kusambung pada tulisan berikutnya ya.

Sirikit Syah, 23 Januari 2022

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Kamis, 12 Sep 2024 00:47 WIB
Berita Terbaru