Persahabatan di kota Davis, California

Reporter : optikaid
foto Davis, California

[caption id="attachment_12100" align="alignnone" width="178"] Oleh Dr Sirikit Syah. Jurnalis dan Sastrawan Senior Surabaya[/caption]

Universiy of California, Davis, adalah tempat aku belajar tentang American Culture and Communication pada musim panas tahun 1994 itu. Summer program ini persiapan sebelum aku masuk kampus di Syracuse, di Negara Bagian (State) New York dan mengikuti berbagai kegiatan profesional yang berkaian dengan dunia jurnalistik-media. Aku beruntung menjadi satu dari 3 orang Indonesia yang memeroleh fellowship prestisius ini. Humphrey fellowship.

Baca juga: Ambang Kehancuran Meksiko

Davis adalah sebuah kota kecil di California. Penduduknya mungkin cuma 50 ribu orang, dan jumlah sepeda lebih banyak dari orangnya. Semua orang bersepeda kemana-mana. Ini pertama kalinya aku mengayuh sepeda, lalu salah jalan. 

Di AS, kau jalan di kanan jalan. Di Inggris seperti Indonesia, kiri jalan. Sepeda disediakan oleh ibu kos, namanya Janet Saunders. Di musim panas itu aku kuliah pakai celana panjang dan blus simple lengan panjang. Ibu kos heran lihat aku, lalu komentar: Sirikit, kamu gak sumuk tah pake baju gitu. Ini summer. Orang-orang pada pakai hot pants dan blus you can see. Kamu jadi aneh.

Aku gak peduli, pakai celana panjang katun sudah sangat casual menurut ukuranku untuk berkuliah. Tapi benar, sampai di kelas, semua siswa, bahkan dosennya lelaki maupun perempuan, pakai hotpants (celana pendek) dan blus you can see (tanpa lengan) atau kaos oblong. Gegar budayaku yang pertama. Aku jadi seperti alien, rapi banget bajunya, celana katun hijau yg stylish, blus putih lengan panjang, pakai kalung manik-manik Indonesia warna hijau. Kayak orang mau ke pesta.

Di akhir pekan, aku diajak ibu kos ke Farmers Market, itu pasar dadakan yang penjual sayurnya adalah para petaninya sendiri. Menyenangkan melihat aneka sayur dan makanan segar. Lalu ada perunjukan musik di bawah pohon di ujung pasar, kayak pengamen tapi keren. Kami membeli sesuatu untuk dimakan sambil duduk menonton musik.

Di Summer Class, mayoritas siswanya anak-anak muda Jepang yang imut-imut, yang kalau shopping barang bermerk selalu bilang, Di sini murah sekali, Sirikit. Di Jepang mahal. Hmm dolar murah dibanding yen, dan uang saku mereka berlimpah. Aku gak bisa beli apa-apa, sabar menunggu dana beasiswa masuk rekening. 

Selain anak-anak Jepang yang menikmati kelimpahan uangnya, ada seorang pria India yang pintar tapi sangat menyebalkan sikapnya, suka merendahkan kawan, tidak etis, kata-kata dan perilakunya kurang sopan. Ada seorang perempuan muda dari Austria, ikut Summer Program daripada nganggur, dia sedang mendampingi suaminya yang ambil master di UCLA. Dia menjadi sahabatku.

Baca juga: Meraih Kemerdekaan dan Kedigdayaan: Amerika Serikat Melompat Jauh ke Depan

Dari perempuan ini aku belajar hal-hal baru. Bahwa orang Eropah tak suka bau garlic/bawang putih yang berlebihan (dia menolak camilan/crackers yang bau bawang putih), dan bahwa tidak semua orang Eropah praktikkan seks bebas. Perempuan ini pacaran sama suaminya sejak SMP, lalu menikah. 

Kami tidak pernah sama orang lain, hanya kami saja. Aku sangat terkesan karena itu memecah/membongkar stereotype. Pasangan setia. Dia juga mengajari aku tentang standar kebersihan. Ketika dia memasak untukku dan kami makan di rumahnya, rumahnya sangat bersih. Ketika dia makan di rumah kosku, kumasakkan bakmi goreng, dia tampak risih melihat dapur dan ruang makan yang kotor menurut ukurannya, lalu dia lap-lap meja makan sebelum makan dimulai.

Pecahnya stereotype juga kualami dengan seorang teman sekelas usia 40 tahunan, perempuan Brazil yang amat sexy. Rambutnya coklat keriting sebahu, kulitnya coklat, tubuh semampai, bajunya serba terbuka sampai murah hati mempertontonkan separuh dada, perut, pusar, lengan, dll. Tapi, dia sangat sopan, terpelajar, dan tidak pernah berhubungan dengan lelaki lain selain dengan suaminya yang berdarah Jepang. 

Di Brazil memang banyak keturunan Jepang. Benar-benar tak sama sampul dan isinya. Aku akrab juga dengannya, bertukar cerita tentang perkawinan, kehidupan di negaranya, dan lain lainnya.

Baca juga: The Sage of Monticello, Kisah Anak Ajaib dari Perkebunan Virginia

Beberapa kawan dekat, mungkin 3-4 orang, kerap bersepeda bersama ke luar masuk toko barang bekas (kami beda dengan anak-anak Jepang yang belanja barang baru branded), dan menikmati apple pie di café. 

Ini pertamakalinya aku menikmati cara orang Amerika makan apple pie. Apple pie yang panas/hangat, yg melimpah saus apelnya sampai ke luar dari pastrynya, atasnya disiram es krim vanilla dingin. Lezaatt. Sampai sekarang, di Surabaya, aku suka makan apple pie disiran es krim vanilla. Sambil mengudap penganan ala Amerika itu, kami mengobrol tentang kehidupan dan orang-orang Amerika. Kami semua sepakat, guru-guru kami di Summer Program baik-baik. 

Sirikit Syah, 30 Januari 202

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Kamis, 12 Sep 2024 00:47 WIB
Berita Terbaru