Sekilas sejarah perang Aceh 1873-1904

Reporter : optikaid
Perang Aceh

[caption id="attachment_14301" align="alignnone" width="150"] Ruby Kay[/caption]

Untuk memahami jihad tak perlu juga mesti mengacu pada sirah nabawiyah. Mau membaca the real jihad ala nusantara? Total war sampai titik darah penghabisan? Lebih baik mati ketimbang dijajah? Belajar semangat pantang menyerah? Baca saja sejarah Perang Aceh.

Baca juga: Tiga Pahlawan Aceh jadi Nama Ruangan Rumah Sakit di Palestina

Yup. Aceh menjadi satu-satunya daerah dikepulauan nusantara yang paling sulit ditaklukkan oleh Belanda. Perang Aceh yang terjadi selama 31 tahun dari 1873 hingga 1904 menjadi bukti bahwa menguasai Aceh bukan perkara mudah bagi Belanda.

Determinasi rakyat Aceh kepada Belanda yang sedemikian tinggi itu dikarenakan syariat Islam pernah benar-benar diamalkan dan menjadi nafas kehidupan orang Aceh. Belanda yang ujug-ujug datang dengan pongah ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah, memantik kebencian yang begitu mendalam dimata orang Aceh.

Semboyan pantang dijajah kapeh ulanda (kafir Belanda) menggaung seantero negeri serambi Mekkah. Politik devide et impera hanya bisa diterapkan Belanda di Jawa, Sulawesi dan Maluku, tapi cara licik itu sama sekali tidak berjalan di Aceh. Bangsawan maupun rakyat jelata Aceh kompak bersatu padu. Semangat jihad dikobarkan untuk melawan tirani bangsa kulit putih.

Perlawanan rakyat Aceh tidak akan terjadi jika Belanda taat pada Traktat London 1824. Dalam kesepakatan internasional itu, Belanda harus mengakui kedaulatan kesultanan Aceh atas wilayahnya. Silahkan kuasai selat Malaka, tapi jangan coba-coba mengusik teritorial Aceh.

Namun bangsa kulit putih memang suka berkhianat. Tahun 1858, Belanda mencaplok Deli, Langkat, Asahan dan Serdang yang saat itu masuk dalam wilayah kesultanan Aceh. Hal inilah yang memantik perlawanan total orang Aceh. Ulama, cendekiawan dan para bangsawan langsung memekikkan takbir untuk menggelorakan semangat jihad.

Perang Aceh 1873-1904 terbagi menjadi empat periode:

Periode pertama, rakyat Aceh dipimpin oleh panglima Polim dan sultan Mahmud Syah. Sementara Belanda dipimpin oleh jenderal Kohler dengan kekuatan 3000 pasukan. Perang periode pertama ini dimenangkan oleh rakyat Aceh setelah jenderal Kohler tewas ditikam rencong.

Periode kedua terjadi tahun 1874-1880. Rakyat Aceh dipimpin oleh Tuanku Muhammad Dawood. Dalam perang ini Belanda berhasil menguasai istana kesultanan Aceh. Ibrahim Lamnga suami Cut Nyak Dien tewas dalam pertempuran di Gle Tarum. Hal ini membuat Cut Nyak Dien semakin murka. Sudahlah Masjid Baiturrahman dibakar Belanda, suaminya tewas terbunuh pula.

Merasa iba, pemuda bernama Teuku Umar menyampaikan hasrat ingin melamar janda sahabatnya yang mati syahid saat melawan Belanda. Cut Nyak Dien sempat menolak. Namun pada akhirnya ia menerima lamaran Teuku Umar dengan syarat diperbolehkan ikut berperang. Tahun 1880, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien resmi menjadi pasangan suami istri.

Periode ketiga perang Aceh terjadi pada tahun 1881-1899. Yang menjadi pemimpin rakyat Aceh adalah Teuku Umar dengan menjalankan taktik perang gerilya dan tipu muslihat. Yup, Teuku Umar sempat berpura-pura pro kepada Belanda. Ia bersama pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke benteng Belanda di Kutaraja lalu menyatakan ingin bergabung dengan pasukan Belanda. Tentu hal ini membuat Belanda girang. Tanpa disadari, Teuku Umar mempelajari strategi perang Belanda, menganalisa kekuatan dan kelemahan Belanda. Beberapa bulan kemudian, Teuku Umar minta ijin kepada Belanda untuk memerangi orang Aceh. Dengan amunisi dan peralatan perang dari Belanda, pasukan Teuku Umar keluar dari benteng pertahanan Belanda dan tak pernah kembali lagi. Ratusan senjata laras panjang, ribuan amunisi dan meriam malah dipergunakan Teuku Umar untuk menggempur pos-pos tentara Belanda.

Bisa dibayangkan betapa sakit hatinya Belanda. Mereka tak menduga bisa dikadali oleh Teuku Umar. Peristiwa itu disebut Belanda sebagai het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

Belanda lalu melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Sayembara disebar dengan hadiah uang berjumlah fantastis. Namun tak digubris oleh rakyat Aceh.

Jenderal Van Swieten yang ditipu oleh Teuku Umar dicopot lalu diganti dengan jenderal Johanes Jacobus Hebertus. Namun Jenderal baru ini tak becus. Belum lama menjadi panglima pasukan Belanda, tempurung kepalanya bolong tertembak peluru dalam pertempuran di Meulaboh.

Belanda stress, pusing tujuh keliling. Mereka tak menyangka menghadapi perlawanan yang begitu sengit. Banyak jenderalnya telah terbunuh, tapi Aceh belum juga bisa dikuasai. Namun selalu ada orang yang bisa disuap dengan sejumlah uang. Seorang pribumi munafikun memberi tahu keberadaan Teuku Umar kepada tentara Belanda. 11 februari 1899, Teuku Umar tewas ditembak dalam sebuah penyergapan.

Baca juga: Menelusuri Aktivitas Judi dari Masa ke Masa

Cut Gambang menangis sedu sedan saat mendengar kematian ayah tirinya. Namun Cut Nyak Dien seketika menampar muka Cut Gambang lalu memeluknya. Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata kepada orang yang telah mati syahid dijalan Allah. Kuatlah wahai anakku, lanjutkan perjuangan!

Periode keempat terjadi pada tahun 1899-1904. Perlawanan rakyat Aceh tidak lagi terkoordinir secara rapi, namun dilakukan secara sporadis. Sejumlah pasukan dipimpin oleh Cut Nyak Dien, adapula pasukan yang dibawah komando sultan Alaudin Muhammad Daud Syah dan panglima Polim.

Diperiode keempat inilah Belanda mengutus Snouck Hurgronje kepedalaman Aceh. Tugasnya untuk menyamar, berpura-pura menjadi mualaf dan mempelajari kultur dan kehidupan sosial masyarakat Aceh. Dua tahun Hurgronje menyamar, hidup ditengah komunitas rakyat Aceh. Hingga pada akhirnya ia membuat kesimpulan sebagai berikut:

Untuk dapat menguasai Aceh, Belanda harus bisa mengambil hati rakyat dengan membangun sarana dan prasarana seperti jalan raya, masjid, pasar dan sebagainya. Saran dari Hurgronje ini diikuti oleh Belanda. Lambat laun perlawanan rakyat Aceh pun memudar. Apalagi ketika Cut Nyak Dien berhasil ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Sumedang. Tahun 1903, sultan Alaudin dan panglima Polim pun menyerah setelah menghadapi tekanan sosial dan politik yang luar biasa.

Dalam perjanjian penyerahan diri itu, seluruh wilayah Aceh dikuasai Hindia Belanda dan Kesultanan Aceh dibubarkan.

Ada beberapa hal yang menjadi catatan khusus dalam perang Aceh 1873-1904:

1. Kesultanan Aceh tak mendapat bantuan dari kesultanan Ottoman Turki dikarenakan kekuatan Turki Ustmani sendiri kala itu sedang melemah dan menghadapi pemberontakan dari wilayah Balkan. Terbukti tak lama setelah Aceh menyerah kepada Belanda ditahun 1904, tahun 1924 menyusul kekhalifahan Turki Ustmani akhirnya menghilang berganti dengan rezim Turki sekuler dibawah kepemimpinan Kemal Pasha Attaturk yang disokong negara barat.

Hal ini berbeda saat kesultanan Aceh berperang melawan Portugis diabad ke-16. Kekhalifahan Turki Ustmani yang kala itu sedang jaya-jayanya mengirim armada kapal perang, artileri dan persenjataan berat lainnya ke Aceh. Alfonso de Albuerquerque boleh jadi menguasai selat Malaka, tapi angkatan laut Portugis tak pernah bisa menguasai pelabuhan Aceh. Justru dalam sebuah peperangan laut, ratusan pasukan Portugis diselamatkan oleh orang Aceh saat kapal yang mereka tumpangi karam. Nah, orang-orang Portugis itu kemudian dibawa ke Aceh untuk dijadikan tawanan perang. Karena diperlakukan dengan baik, mereka malah jatuh cinta dengan Islam dan budaya Aceh. Akhirnya pasukan Portugis tadi menetap dan menikah denan perempuan Aceh.

Baca juga: Mengenal Zionisme dan Hubungan Erat dengan Israel

Asimilasi terjadi secara natural, berislam tanpa paksaan. Dan jejak genetis bangsa Portugis itu masih eksis hingga sekarang. Orang Aceh bermata biru adalah hasil asimilasi 4 abad yang lalu.

2. Aceh sulit ditaklukkan karena kesenjangan sosial antara bangsawan dan rakyat biasa tak terlalu kentara. Justru kaum bangsawan Aceh menjadi motor penggerak perlawanan. Mereka ikut berperang digaris depan memimpin rakyat melawan pasukan Belanda.

Hal ini sangat berbeda dengan di Jawa dimana bangsawan malah banyak yang bekerjasama dengan Belanda. Priyayi yang tak mau tunduk pada kompeni bisa dihitung dengan jari. Salah satunya pangeran Diponegoro yang tak mau diiming-imingi dengan materi atau kekuasaan menjadi bupati.

Begitulah sekilas sejarah perang Aceh. Total war yang akan selalu dicatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Salah besar kalau mengatakan orang Aceh itu tidak nasionalis, tidak cinta tanah air. Yang berkata seperti itu sudah pasti buta sejarah. Faktanya, ketika wilayah lain di nusantara sudah ditaklukkan oleh Belanda, Aceh masih sibuk berperang melawan kolonialisme hingga titik darah penghabisan.

Mau belajar hakikat cinta agama dan tanah air? Belajarlah dari orang Aceh. Karena keberanian mereka melawan kompeni tak perlu diragukan lagi.

Ruby Kay

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Sabtu, 14 Sep 2024 18:18 WIB
Jumat, 13 Sep 2024 08:24 WIB
Senin, 16 Sep 2024 11:12 WIB
Berita Terbaru