Optika.id - Rencana pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua dinilai oleh Peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas menonjol sebab alasan politis.
Menurut Cahyo, pemekaran Papua tidak melalui proses kultural dengan melakukan konsultasi publik ke masyarakat di tujuh wilayah adat.
Baca juga: 16 Provinsi di Indonesia Terklasifikasi sebagai Daerah Miskin di 2024, Termasuk Jatim dan Jateng
"Sehingga secara proses saya kira ini tidak melalui proses kultural, tidak melalui proses komunikasi yang luas," ujar Cahyo, Jumat (1/7/2022).
Pemekaran Papua kali ini, tutur Cahyo, berasal dari inisiatif DPR dan Pemerintah pusat, maka dari itu sifatnya topdown. Sedangkan pejabat bupati yang memiliki sejawat dengan jajarannya yang berkuasa, elit-elit orang asli, anggota DPRD Papua, dan kepala suku yang dekat dengan pemerintah lah yang dilibatkan sehingga mendukung rencana pemekaran.
Melihat hal tersebut, Cahyo merasa gamang dan tak bisa menjelaskan apakah mayoritas akar rumput mendukung pemekaran atau sebaliknya. Sebab, sampai saat ini tidak ada survei yang dilakukan kepada masyarakat Papua terkait dengan rencana DOB ini.
Di sisi lain, muncul gelombang arus penolakan pemekaran yang cukup besar di akar rumput. Misalnya dari Majelis Rakyat Papua (MRP), Dewan Adat Papua (DAP), serta Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua (MRP) yang mendeklarasikan penolakannya di Kaimana beberapa waktu yang lalu.
Namun, Cahyo masih merasa ragu apakah arus penolakan ini berasal dari mayoritas ataukah tidak.
"Jadi saya melihat di grass root ada arus penolakan yang besar tapi saya tidak tahu itu mayoritas atau bukan," ucap dia.
Selain kubu yang menolak, ada pula kubu yang mendukung seperti masyarakat pendatang, Barisan Merah Putih dan Laskar Merah Putih. Kelompok-kelompok ini diketahui dimobilisasi dan dekat dengan Pemerintah. Oleh sebab itu, terlihat jelas telah terjadi polarisasi di Papua antara kubu yang menolak dan kubu yang mendukung adanya pemekaran.
Baca juga: Fadli Zon: Siaga Tempur di Papua Perlu Kesatuan Sikap dari Pemerintah
Cahyo menjelaskan, salah satu momen yang membuktikan jika pemekaran Papua bersifat politis ialah penetapan ibu kota provinsi baru oleh Komisi II DPR dan pemerintah yang menempatkan ibu kota Provinsi Papua Tengah di Kabupaten Nabire, berubah dari rencana awal di Kabupaten Mimika.
Sedangkan, sambung Cahyo, sebagian besar masyarakat asli Nabire masih menganggap mereka masuk dalam wilayah budaya Saereri yang satu kesatuan dengan Kabupaten Biak Numfor, Supiori, Waropen, Kepulauan Yapen, di Provinsi Papua.
Sedangkan secara geografis, Kabupaten Nabire memang masuk Papua Tengah.
Pun demikian dengan Kabupaten Mimika. Menurut Cahyo, Mimika adalah rumah bagi orang-orang Kamoro. Dan secara kultural Mimika masuk ke dalam wilayah adat Bomberai bersama dengan Kaimana, Teluk Bintuni serta Fakfak.
"Jadi ibu kotanya ya gimana ya harus kalau memang benar-benar sesuai dengan wilayah adat mungkin ya bisa di tempat lain, di Enarotali, atau di mana ya, karena itu problematik," kata dia.
Oleh sebab itu, Cahyo menyarankan agar penetapan ibukota harus melibatkan MRP, DAP serta tokoh-tokoh agama yang paham betul dengan batas-batas kultural. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu menggandeng akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik serta jurusan Antropologi Universitas Cendrawasih bersama dengan lembaga-lembaga terkait lainnya.
Baca juga: Presiden Jokowi Akhirnya Teken Perppu Pemilu, Bagaimana Nasib DOB Papua?
Sebab, menurut Cahyo perdebatan tentang penetapan ibu kota provinsi pada akhirnya akan bermuara pada perdebatan serta tindakan-tindakan yang politis, bukan kultural.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi