Optika.id - Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDEM) Iwan Sumule mengatakan aksi massa yang terjadi di Sri Lanka hingga membuat Presiden Gotabaya Rajapaksa kabur dari singgasananya harus dipetik pelajaran bagi pemimpin negeri ini. "Jangan sampai mereka salah urus hingga akhirnya negara bangkrut dan rakyat yang menderita mengamuk," kata Iwan dalam keterangannya, Senin (11/7/2022).
Dia mengatakan, kondisi di Indonesia saat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami Sri Lanka.
Baca juga: Rocky Gerung Jelaskan Ilustrasi Determinan Soal People Power
"Ciri-ciri negara mulai bangkrut tercermin dari beban APBN dalam membiayai target infrastruktur pemerintah. Indonesia membutuhkan dana sebanyak Rp 6.500 triliun untuk membangun infrastruktur hingga tahun 2024. Sementara APBN hanya bisa membiayai 42 persennya saja. Utang negara pun sudah capai Rp 6.000 trilliun. Kondisi ekonomi Indonesia juga sedang buruk, akan bangkrut, terangnya.
Iwan menilai pemerintah hanya mencoba untuk menahan laju harga-harga kebutuhan pokok agar kejadian Sri Langka tidak terjadi.
Langkah ini memang terbilang menolong. Sebab, setidaknya pemerintah bisa sementara waktu mencegah gejolak sosial atau amuk massa.
Karena daya tahan rakyat di tingkat bawah sudah sangat lemah, tak punya daya beli lagi, tegasnya.
"Tapi, sampai kapan pemerintah bisa menahan harga-harga agar tidak naik? Krisis energi dan pangan akibat perang Rusia vs Ukraina juga akan memicu kenaikan harga-harga, sambungnya.
Iwan hanya bisa berharap agar kejadian di Sri Lanka tidak menjalar ke Indonesia, sekalipun potensinya juga besar terjadi.
Hal yang sama dikatakan Direktur Gerakan Perubahan, Muslim Arbi. Dia menilai peristiwa di Sri Lanka bisa saja merembet ke Indonesia. Sebab, gejala yang dialami terbilang sama. Di mana pemerintah terkesan gagal urus negara, utang menumpuk, dan tidak sedikit proyek pemerintah memberatkan keuangan negara.
"Jadi Jokowi bisa saja bernasib seperi Rajapaksa di Sri Lanka. Jika dia juga gagal urus negara. Apalagi jika utang terus menumpuk dan negara bangkrut, ujarnya seperti dilansir rmol, Senin (11/7/2022).
Ingat, Rajapaksa itu kabur didemo rakyat. Gara-garanya bikin negara bangkrut, negara banyak utang, dan gagal urus negara," imbuhnya.
Dia mewanti-wanti bahwa utang negara saat ini sudah mencapai Rp 7 ribu triliun lebih. Di satu sisi, pemerintah terus membangun proyek yang mahal dan tidak sedikit proyek yang sudah jadi dijual untuk membayar utang.
"Ini adalah tanda-tanda kebangkrutan negara. Tidak dapat dielakkan jika negara bangkrut dan gagal bayar utang karena gagal urus negara, Jokowi bisa bernasib seperti Rajapaksa Sri Lanka," kata Muslim.
Seharusnya, sambung Koordinator Indonesia Bersatu ini, kasus di Sri Lanka dijadikan pembelajaran oleh Jokowi bahwa adanya kegagalan kepemimpinan dan mengurus negara.
"Besaran utang saat ini dan gagal bayar utang akan menghancurkan negara. Rakyat akan ngamuk seperti Sri Lanka. Jokowi harus segera sadar," tandasnya.
Wariskan Utang
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengatakan, penerus Presiden Joko Widodo di tahun 2024 mendatang punya beban berat menanggung utang negara yang menumpuk. Posisi utang Indonesia bisa dikategorikan mengkhawatirkan.
Menurut Dedi, kondisi mengkhawatirkan Indonesia saat ini adalah beban utang yang membesar. Ia mengaku khawatir meski pemerintahan Joko Widodo memiliki dalih bahwa kemampuan negara dalam menanggung utang masih kuat.
"Beban ini sekaligus menjadi momok penerus Jokowi, seolah Jokowi tidak miliki persoalan, padahal masalah itu akan muncul di kemudian hari," kata Dedi dalam keterangannya, Senin (11/7/2022).
Baca juga: Apakah Indonesia Akan Menyusul Sri Lanka? Ini Analisa Rizal Ramli
"Mengacu data APBN kita, per Juni posisi uang Indonesia hingga bulan Mei 2022 tercatat berada di kisaran Rp 7.002, 24 triliun. Rinciannya, utang pemerintah berupa surat berharga negara (SBN) menyentuh angka Rp 6.175,83 triliun. Sementara itu, untuk pinjaman sebesar Rp 825 triliun lebih dan pinjaman dalam negeri di angka Rp 14,72 triliun. Tak hanya itu, untuk utang luar negerinya sebesar Rp 811,67 triliun," imbuhnya.
Beda dengan Sri Lanka
Berbeda dengan Presiden Sri lanka Gotabaya Rajapaksa, kata Dedi, Presiden Joko Widodo tidak akan mengundurkan diri dan menghadapi gerakan aksi massa seperti di Sri Lanka.
Menurut Dedi, Jokowi dari sisi politik akan aman. Sebab, dukungan politik pada kader PDI Perjuangan itu cukup kuat, baik dari sisi elit kekuasaan maupun dari sisi sebagian publik yang pro pemerintah.
Ia mencontohkan, saat Jokowi banyak mengalami persoalan, termasuk permah diputus bersalah dipengadilan salah satunya karena kasus pemblokiran internet di Papua. Meski demikian, masalah yang mendera dirinya tidak menggoyahkan posisi politiknya hingga saat ini.
"Tetapi ini tak membuat Jokowi goyah, apalagi jika persoalan yang menimpa tidak sampai melibatkan pengadilan, Jokowi tetapi kuat, meskipun di sisi kelam adanya buzzer politik, tapi itu soal lain," jelasnya.
Menurut Dedi, yang mengkhawatirkan saat ini adalah posisi Indonesia. Artinya, apakah memang Indonesia akan tetap bertahan menghadapi beban hutang yang kian membesar, meskipun dalih pemerintah masih kuat.
Dedi menganalisa, kekhawatiran Indonesia dengan Sri Lanka berbeda.
"Tentu berbeda dengan Srilanka yang sebagian besar publiknya masih bersatu, tidak terpecah sentimen politik sebagaimana di Indonesia," tukasnya.
Tak Berdampak Kejatuhan Rezim
Baca juga: Jika Tak Ingin Ada Konflik, Pemimpin Indonesia Harus Penuhi Kebutuhan Rakyat
Hal senada dikatakan, Direktur Eksekutif Lanskap Politik Indonesia, Andi Yusran. Menurutnya kemungkinan Presiden Jokowi jatuh seperti Presiden Sri lanka Gotabaya Rajapaksa bisa dikatakan susah meski utang Indonesia saat ini sudah mencapai lebih dari Rp 7 ribu triliun.
Menurut Andi, angka utang Indonesia yang tinggi tidak akan berdampak pada peluang kejatuhan rezim. Alasannya, pemerintah punya argumentasi masih dalam batas toleransi jika dibandingkan dengan cadangan devisa.
"Artinya peluang jatuhnya Jokowi sebagai imbas dari utang yang kemudian berdampak kepada people power adalah relatif kecil," kata Andi dalam keterangannya, Senin (11/7/2022).
Justru kata Doktor Politik Universitas Padjajaran ini, persoalan yang berpeluang menjatuhkan rezim Jokowi dari kekuasaan adalah imbas dari krisis harga kebutuhan pokok ddan energi yang akhir-akhir ini merangkak naik.
Analisa Dosen Universitas Nasional ini, ketidakpercayaan publik terhadap rezim makin menguat jika pemerintah tidak segera menstabilkan harga-harga kebutuhan pokok dan energi (BBM dan listrik).
"Pemerintah (Jokowi) harusnya berkaca kepada rezim orde baru tumbang diawali dengan kenaikan harga kebutuhan pokok terutama energi waktu itu," pungkasnya.
Reporter: Pahlevi
Editor: Aribowo
Editor : Pahlevi