Optika.id - Sampah sisa makanan saat ini telah menjadi masalah dan limbah serius yang belum terpecahkan di tengah ancaman krisis pangan. Pada tahun 2021 silam, Indonesia menempati posisi pertama sebagai negara penghasil sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara.
Padahal, sampah sisa makanan yang tergolong sampah organic merupakan jenis sampah yang bisa menimbulkan berbagai masalah lingkungan seperti cairan leachate yang bisa mengurangi kualitas tanah dan air serta berbahaya bagi lingkungan.
Baca juga: Krisis Pangan Dibalik Hubungan Diplomasi Indonesia-India
Di sisi lain, penumpukan sampah organic dapat menyebabkan penyebaran berbagai penyakit melalui perantara hewan seperti tikus, nyamuk, dan lalat.
Mengutip dalam laman Waste4Change, Senin (17/10/2022), sampah organic, termasuk sampah sisa makanan tidak hanya berasal dari rumah tangga saja, melainkan banyak bersumber dari penjual serta pelaku usaha kuliner yang menjamur dimana-mana. Umumnya, makanan yang terbuang merupakan makanan yang tidak laku terjual atau makanan sisa yang tidak dihabiskan oleh konsumen. Sisa makanan ini tidak diolah dan biasanya akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA) seperti yang terjadi di Bantar Gebang.
Kondisi mubadzir pangan di Indonesia ini tentu berbanding terbalik dengan angka kemiskinan dan kelaparan dalam negeri yang masih di atas rata-rata. Hal tersebut tentu menimbulkan kesenjangan tersendiri. Berangkat dari kesadaran mubadzir pangan tersebut lah di Indonesia saat ini mulai muncul layanan yang bisa membantu para pelaku usaha makanan untuk menjual atau membagikan makanan yang tak terjual, sekaligus membantu masyarakat yang membutuhkan.
Oleh karena itu, melansir dari berbagai sumber Optika.id merangkum beberapa startup yang memiliki misi untuk membantu mengurangi food waste atau mubadzir pangan.
Surplus
Surplus adalah aplikasi karya anak bangsa yang bisa menghubungkan konsumen dengan para pelaku usaha kuliner.
Cara kerja aplikasi ini ialah bekerja sama dengan restoran yang sudah tutup jam operasionalnya dan memiliki makanan yang belum terjual, atau tidak dapat dikonsumsi di kemudian hari, bisa menjual produknya dengan harga diskon melalui aplikasi ini. Hal ini bertujuan agar tidak ada makanan yang terbuang sia-sia dan konsumen dengan budget tipis bisa memesan di restoran incarannya
Garda Pangan
Garda Pangan didirikan dengan tujuan mengumpulkan sisa makanan yang berlebih dari restoran, hotel, catering, berbagai event yang digelar, donasi, serta lahan pertanian. Sebelumnya, makanan tersebut akan dilakukan uji kelayakan terlebih dahulu kemudian disalurkan kepada masyarakat pra-sejahtera di Surabaya.
Baca juga: DLHK Sidoarjo Belum Datang, Pasukan Semut "YPM" Bersihkan Sampah Berserakan di Harlah 1 Abad NU
Hingga bulan Oktober 2022 saat ini, Garda Pangan telah menyelamatkan total 113 ton potensi makanan yang akan terbuang, 16.264 penerima manfaat, serta 425.016 porsi makanan. Untuk menjamin kelayakan makanan, mereka telah menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) yang ketat dan telit.
DamoGo
Pada tahun 2017, Muhammad Farras dan Lin Hwang membentuk DamoGo di Seoul, Korea Selatan. Selanjutnya, pada tahun 2020 startup ini memulai operasinya di Yogyakarta, Jawa Tengah.
DamoGo bekerja dengan membantu bisnis yang bergerak di industri pangan untuk mengefisiensikan dapur mereka agar tidak ada bahan pangan yang sia-sia terbuang begitu saja.
Aplikasi DamoGo yang berbasis mobile dan web ini membantu para supplier serta pihak restoran untuk melakukan pembelian bahan baku makanan dalam satu aplikasi agar lebih tertata rapi. Hal tersebut juga diklaim membuat restoran lebih mudah dalam mengatur kebutuhan bahan pangan agar tidak berlebihan.
Baca juga: Persoalan Sampah Elektronik yang Belum Dilirik
Itulah beberapa aplikasi yang bisa membantu pelaku usaha untuk menghabiskan serta mengelola sisa makanan tak terjual.
Jika sisa makanan sudah tidak layak, baik pelaku usaha atau pun rumah tangga disarankan untuk mengelola sampah organik untuk dijadikan kompos. Kompos ini akan membantu menyuburkan tanah dan menghindari dampak kerusakan lingkungan serta ancaman penyakit.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi