Optika.id - Melalui pembentukan empat daerah otonomi baru (DOB), pemekaran wilayah Papua dianggap bukanlah langkah yang tepat untuk menjawab persoalan Bumi Cendrawasih tersebut. Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, langkah pembentukan empat provinsi baru Papua, yakni Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Selatan dan Papua Barat Daya hanya berupa jalan pintas dan tidak menjamin mampu meredam konflik di Papua.
Menurut Armand, Papua membutuhkan rasa percaya (trust) dengan seluruh level pemerintahan hingga pada tingkat pusat. Hal tersebut disebabkan bahwa akar masalah Papua menurut KPPOD yakni bermuara dari rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, begitu pula sebaliknya. Dia menjelaskan, dengan memekarkan wilayah Papua, maka sama saja dengan memperlebar ketidakpercayaan antara masyarakat terhadap birokrasi pemerintahan atau bahkan memperuncing kecurigaan antar kedua belah pihak.
Baca juga: 16 Provinsi di Indonesia Terklasifikasi sebagai Daerah Miskin di 2024, Termasuk Jatim dan Jateng
Persoalan konflik Papua bukan pada alokasi dana otsus (otonomi khusus) yang misalnya sekarang, naik menjadi 2,25 persen, tetapi lebih kepada seberapa besar trust antara masyarakat Papua dengan pemerintah, atau antara pemerintah dengan masyarakat Papua. Itu yang kami lihat menjadi salah satu persoalan terkait dengan konflik di Papua, kata Armand, kepada Optika.id, Jumat (25/11/2022).
Tak hanya itu, Armand mengaku ragu jika pemekaran wilayah Papua juga akan meningkatkan kesejahteraan sekaligus menuntaskan konflik di Papua seperti yang dikatakan oleh pemerintah. Apalagi, sampai saat ini belum ada data atau evaluasi yang menyeluruh terhadap kinerja sejumlah DOB di Indonesia selama ini. Utamanya, terhadap indikator fiscal pada daerah otonom baru itu.
Dalam konteks ini pemekaran beberapa provinsi baru di Papua itu tidak memberikan jaminan bahwa dengan pemekaran itu masyarakat atau persoalan kesejahteraan di Papua bisa teratasi, ujarnya.
Sejak 2014, ujar nya mengingatkan, pemerintah telah menerapkan sejumlah moratorium DOB. Hal tersebut berdasarkan pada data di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang sedikitnya terdapat 329 usulan dari DOB. Kendati revisi UU Otsus Papua membuka celah pemekaran, akan tetapi KPPOD menilai bahwa pemekaran wilayah Papua tidak selaras dengan moratorium sebab belum kunjung ada data evaluasi kinerja DOB.
Kemudian, dia menyebut tentang UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengamanatkan desain besar-besaran penataan daerah melalui peraturan pemerintah (PP) yang ironisnya hingga kini tak kunjung diterbitkan. Sehingga, hal tersebut memicu publik yang tidak memiliki gambaran atas kebijakan penataan daerahnya ke depan. Termasuk, mengenai jumlah provinsi atau DOB. Misalnya untuk memastikan pada 2045, atau 100 tahun usia Republik, berapa jumlah provinsi Indonesia.
Tak hanya itu, Armand juga menyinggung tentang ketentuan UU Pemda yang mengatur perihal masa persiapan tiga tahun untuk pembentukan daerah sebelum menjadi daerah definitive. Sedangkan, pembentukan empat DOB Papua tidak mengenal masa persiapan tersebut. Disebutkan dalam masing-masing UU pembentukan empat provinsi Papua tersebut, Penjabat (Pj) Gubernur dilantik setelah tiga bulan dan diharuskan untuk membentuk organisasi perangkat daerah (OPD). Armand mengaku khawatir jika proses ini bakal mengalami kendala, maupun jalan buntu yang bisa menjadi tantangan bagi para Pj Gubernur wilayah tersebut nantinya.
Pasti banyak masalahnya, kata Armand.
Baca juga: Fadli Zon: Siaga Tempur di Papua Perlu Kesatuan Sikap dari Pemerintah
Maka dari itu, dia menyarankan agar pemerintah pusat, khususnya Kemendagri dan Kemenkeu makin gencar melakukan pengawasan guna memastikan proses perencanaan penganggaran, serta pembentukan kebijakan dan kelembagaan Papua.
Bisa mulai dari pembentukan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), pembentukan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), tahapan pembahasan peraturan daerah (perda), dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), ucapnya.
Adapun bagian lain yang jadi sorotan Armand yakni mekanisme pengawasan publik terhadap implementasi dana otsus yang diatur dalam UU Otsus, menurutnya, hal tersebut lebih menitikberatkan pengawasan pada pemerintah, bukan kolaborasi berbagai pihak.
Misalnya, dia mencontohkan, soal memberi fasilitas kepada warga lokal dalam proses pengawasan terkait dengan tata kelola pembangunan, bukan hanya terhadap DOB saja. Melainkan juga harus mencakup berbagai provinsi induk baik Papua maupun Papua Barat.
Baca juga: Presiden Jokowi Akhirnya Teken Perppu Pemilu, Bagaimana Nasib DOB Papua?
Sejak awal sebenarnya kami di KPPOD sedikit menentang proses pemekaran di Papua karena memang kita masih dalam proses atau masih dalam kebijakan moratorium itu, tuturnya.
Reporter: Uswatun Hasanah
Editor: Pahlevi
Editor : Pahlevi