Politik Uang dan Rekrutmen Kader Parpol yang Serampangan

Reporter : Uswatun Hasanah

Optika.id - Rekrutmen partai politik (parpol) yang penuh intrik saat ini dinilai belum menghasilkan kader yang berkualitas. Hal ini yang menyebabkan parpol saat ini masih cenderung pragmatis demi keuntungan elektoral semata.

Baca juga: Meski Tak Ikut Kontestasi Pilgub, Pengamat Prediksi Karier Anies Tak Meredup!

Hal tersebut dikatakan oleh pengamat politik Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Kamaruddin yang menilai jika pola-pola tersebut masih akan dipraktikkan dalam menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dampaknya, Ujang menyebut jika kontestasi akan diwarnai oleh transaksi politik uang (money politic) serta menihilkan peluang dalam memunculkan kader berkualitas melalui seleksi ketat dan transparan.

"Parpol kita tuh semuanya tidak transparan soal rekrutmen partai politik. Parpol itu merekrut orang-orang yang punya uang, orang-orang yang punya kekuatan oligarki, politik dinasti. Itu yang dilakukan oleh parpol, jadi bisa dilihat jika rekrutmen parpol enggak jelas, transparan apalagi, sangat pragmatis. Jadinya, kader parpol pun datang dari kalangan elite yang tentunya tidak berlandaskan pada kebijakan ideologis, namun kebijakan pragmatis saja" ungkapnya kepada Optika.id, Kamis (29/12/2022).

Saat ini, sambung Ujang, para parpol hanya menggunakan langkah instan berupa mengejar keuntungan elektoral semata.

Sebabnya, perekrutan kader dilakukan secara serampangan dan mengutamakan figure yang kuat secara finansial untuk mendomplang dana parpol dan massa sehingga calon legislative (caleg) atau calon kepala daerah yang diusung hanya berasal dari kalangan tertentu saja.

Baca juga: Pengamat Politik Sebut Pilkada Bukan Pesta Rakyat, tapi Pesta Elite Parpol

"Parpol hanya cari yang kaya, punya kekuatan finansial lalu digaet dan dijadikan caleg atau kepala daerah. Sebabnya, pemilu banyak yang mengeluarkan uang, politik uang istilahnya. Makanya, parpol sangat pragmatis dalam merekrut pada kadernya yang rerata enggak begitu berkualitas. Itu kan yang terjadi sekarang? Jadi jangan berharap orang-orang miskin atau orang biasa menjadi caleg, jelas dia.

Dalam pengamatan Ujang, dari sekian prosesi pemilu baik pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislative (Pileg) hingga kepala daerah, pertarungan selalu diwarnai dengan adu kekuatan finansial bukannya ideologis, program, maupun gagasan strategis.

Dampaknya, kesempatan untuk menang akhirnya selalu berpihak kepada golongan yang kuat modal dan mampu mengerahkan massa.

Baca juga: Analis Sebut Wajar PDIP Tak Bersama Anies, Bukan Elektoral Penentu Utama

"Siapa yang banyak kekuatan finansial, punya tim yang bagus, ya, dia punya kesempatan untuk menang," katanya.

Dampak lainnya, pemilu akan sarat kecurangan. Pangkalnya, politik uang yang terjadi kemungkinan dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM).

Editor : Pahlevi

Politik
Trending Minggu Ini
Berita Terbaru